22.Pindah rumah

302 13 0
                                    

Budayakan vote sebelum membaca⭐

Happy reading📓

°

°

Di pagi hari yang cerah ini, tepatnya di meja makan Gera mengumumkan suatu hal yang membuat kedua pupil mataku membesar. Kaget, syok dengan apa yang Gera ucapkan di depan kedua orang tuanya.

"Ayah, Bunda, El sudah memutuskan bahwa El ingin hidup mandiri." Ungkapnya dengan sorot mata yang begitu meyakinkan kedua orang tuanya. "El dan Fio akan pindah ke rumah yang sudah El siapkan, nanti sore." Tegas dan penuh penekanan seolah dia tidak ingin ada bantahan atas keputusannya.

Aku menegus ludah kasar. Pindah rumah katanya. Itu artinya mulai nanti sore kita hanya akan hidup berdua saja dalam satu atap? Please ini gak lucu.

Aku bergeser melihat bunda yang kelihatan kaget dan ayah yang terlihat biasa saja seolah sudah tahu keputusan putranya.

"Kamu yakin mau bawa Fio pindah?" Bunda menatap putranya memelas, seolah berharap Gera mau mengurungkan niatnya. Tapi Gera tetaplah Gera, dia memegang teguh keputusannya.

Gera mengangguk mantap.

"Yah terus... Nanti bunda gak ada temannya lagi dong." Bunda menghela napas berat. Gak tega, aku berpindah tempat duduk ke samping bunda. Bunda langsung menghadapku, meraih tanganku lalu menggenggamnya lembut.

"Biarkan saja mereka hidup mandiri. Cepat atau lambat mereka memang harus belajar hidup berjauhan dengan orang tua'kan?" Ayah melemparkan tatapan lembutnya pada bunda.
Bunda yang digituin, tapi aku malah ikutan merasakan ketulusannya.

Andai aja sikap Gera kayak ayahnya. Baik, murah senyum, walaupun suka gak mau dibantah juga sih.

Eh... Kenapa aku malah berharap kayak gini?

"Hahh~ baiklah, jika itu keputusan kalian bunda tidak bisa melarang bukan? Tapi ingat," bunda menatapku dengan seulas senyum hangatnya. "Harus sering-sering datang ke sini, karena bunda pasti akan sangat merindukan putri bunda yang cantik ini." Bunda menoel hidungku dengan kekehannya. Aku mengerucutkan bibirku.

Tapi yang duduk di seberang sana kayaknya gak terima dengan kemesraan antara aku dan bunda.

"Ck, kalau dia putri bunda lalu aku apa?" Gera merajuk. Gera menatap ayahnya meminta bantuan, tapi malah berakhir diabaikan. Gera semakin terlihat kesal karena tidak mendapat dukungan.

Aku tertawa pelan melihatnya, bunda juga ikutan tertawa. Tapi ayah tidak, yeah ayah memang kurang suka dengan candaan.

"Lihatlah, anak itu bertingkah jauh berbeda dengan usianya." Tawa bunda pecah sesaat setelah melontarkan kalimat ledekan untuk Gera.

📓

"Rindu~" aku merengek manja begitu wajah Koko terpampang jelas memenuhi layar ponselku. Koko mengulas senyum manisnya disertai dengan kedipan nakal.

"Sama, aku juga rindu banget sama si manja yang satu ini. Pengen cepat-cepat lulus kuliah deh, biar bisa cepat pulang ke sana, cari kerja, setelah itu..." Koko menggantung ucapannya dengan senyum tertahan.

Aku menautkan kedua alisku bingung. "Setelah itu?"

"Kita menikah dan hidup bahagia selamanya." Koko tersenyum lebar dengan binar mata yang terlihat begitu menawan.

Tapi tidak denganku. Aku terdiam kaku ketika kalimat itu terlontar dari bibir tipisnya. Sekali lagi aku merasa amat bersalah karena telah membohongi Koko sampai sejauh ini, tapi berkata jujur pun rasanya aku belum siap.

Headmaster is my HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang