Tentang kenyataan bahwa aku yang tak biasa mendapatkan kasih sayang dari orang tua, jarang mendapatkan senyuman apalagi pujian. Aku juga terbiasa dengan hal itu.
Setiap hari aku ditemani sepi, sendiri di rumah yang terbuat dari beton dengan nuansa putih. Seperti permintaan ibuku yang menginginkan rumah sama seperti tempatnya bekerja--rumah sakit.
Semenjak aku berhenti kuliah tahun lalu, mereka kian tak senang melihatku yang hanya duduk di rumah. Sebenarnya, aku pun tak tinggal diam. Aku mencari pekerjaan melalui media online. Ya, walaupun hingga kini aku hanya stuck jadi penulis platform yang hanya memiliki secuil penggemar.
"Kamu pikir aku peduli!?"
Terdengar bunyi benda dilemparkan. Aku membuang napas kasar tanpa ada niat keluar kamar. Itu bukan hal baru, hampir setiap hari mereka berperang. Menghancurkan barang-barang, mungkin sampai nanti semua isi rumah hancur.
Aku mengambil handset dari atas tempat tidur dan menyambungkan ke ponsel. Tak lupa memutar lagu kesayangan hingga bunyi di luar tak lagi terdengar. Satu-satunya tujuanku kini adalah mulai menggerakkan jari, menulis di platform untuk mendapatkan uang. Lumayan, untuk belanja online.
Aku membuat cerita berlatar anak kuliah, membuatku teringat pada kenangan setahun lalu. Masa di mana aku baru keluar dari zona nyaman, mencari dan mendapatkan teman se-frekuensi. Aku mengambil jurusan ekonomi manajemen, tingkat ketiga aku dikeluarkan karena memukul teman lelaki yang ingin melecehkanku.
Apa aku salah melindungi diri? Harusnya tidak, tetapi keadilan masa kini telah kalah oleh uang. Daripada aku harus menjilat, mengemis pada mereka aku memilih dikeluarkan dari kampus.
Setelah kejadian itu, orang tuaku yang memang dari dulu suka bertengkar kian banyak problematika. Apa-apa mereka permasalahkan.
Tring!
Ponselku menyala, pesan WhatsApp masuk. Aku tak langsung membukanya, paling juga dari grup literasi yang kuikuti. Hingga beberapa kali ponselku berdenting, barulah kuambil benda pipih berwarna merah muda itu.
Sebuah pesan dari nomor baru.
[Hai, ini Salsa, ya?]
Aku mengernyitkan dahi dan melihat info kontak tersebut. Tak ada grup yang sama, perkiraanku dia bukan anak literasi. Mungkin. Aku pun membalasnya.
[Iya, ini siapa?]
Tak berselang lama, centang dua berubah biru. Tampak juga mengetik.
[Boleh kenalan? Aku Putra, dapat nomor kamu dari grup Facebook.]
"Grup Facebook?" Aku menimbang-nimbang kalimatnya dan mengingat grup Facebook mana yang dikatakan. Seingatku memang ada gabung ke beberapa grup, tapi aku tidak pernah berbagi nomor WhatsApp di sana.
[Boleh kita berteman?]
Aku tak membalas pesan itu, kuletakkan kembali ponsel itu di atas tempat tidur dan melanjutkan tulisanku kembali. Sepuluh menit berlalu, ponselku kembali berdenting. Kali ini membuatku kesal karena bukan sekali dua kali, tetapi pesan beruntun.
Aku tak peduli itu dari siapa, langsung saja aku non-aktifkan ponsel dan fokus ke laptop.
Jika berurusan dengan tulis menulis, aku bisa tahan sampai petang tanpa henti. Namun, hari ini aku cukup lelah setelah menulis tiga ribu kata untuk update ceritaku. Aku merebahkan badan dan memejamkan mata.
***
"Salsa!""Salsa!"
Aku membuka mata secara perlahan, aku kaget saat melihat sekeliling yang gelap. Buru-buru kuhidupkan lampu, tampaklah kamar yang sangat berantakan. Terdengar lagi teriakan dari depan pintu, ibu pasti sudah naik pitam dari tadi.
Dengan gerakan tergesa-gesa aku membuka pintu dan melihat ibu yang masih menggunakan baju kerjanya. Ia seolah akan menerkam, matanya hampir jatuh karena melotot.
"Bu, aku-"
"Kamu itu manusia atau bukan, ha!? Seharian di kamar tidur, kamu punya otak nggak!" Ibu berteriak di depanku.
Mati aku! Rasanya jantungku hampir copot gara-gara kemarahan ibu. Hari ini salahku terlalu besar, seharian aku tak keluar dari kamar. Tak makan ataupun lainnya. Ibu berbalik dan melenggang pergi dengan bibir yang tak berhenti mengomel. Aku hanya diam dan mengikut langkahnya dari belakang.
Ruang tengah berantakan, banyak barang yang berserakan di lantai. Itu mungkin akibat pertengkaran mereka pagi tadi.
"Kamu lihat ini? Kayak kandang kambing."
"Kan, yang buat juga ibu dan ayah. Kenapa selalu aku, sih, yang salah." Aku gerah atas segala kesalahan yang dilimpahkan. Mereka yang berulah aku yang terludah.
"Berani kamu menyahut, ya!"
Satu jambakan sukses menimpa rambutku yang sebahu, aku tak menepis karena kalau kupaksa akan semakin sakit rasanya. Setelah puas menjambak barulah ibu melepas dan melenggang pergi ke kamarnya.
Aku membuang napas kasar dan menatap ruangan itu. Sungguh aku tak ada niat untuk membereskannya. Akhirnya, kupilih kembali ke kamar--mengunci diri.
Aku memainkan ponselku, pesan dari nomor baru tadi begitu banyak. Emot dan stiker dikirimkan beruntutan, entah untuk apa. Aku pun memilih membalasnya, mungkin juga bisa dijadikan pelepas kekesalan hari ini.
[Kamu mau nggak jadi temanku?]
Aku balas pesan itu.
[Boleh. Siapa tadi namanya, biar kusimpan?]
[Putra.]
Aku langsung menyimpan nomor itu, percakapan kami berlanjut hingga larut malam. Banyak hal yang dibahas, aku merasa nyaman. Sampai-sampai aku ingin menceritakan kehidupanku, tetapi tertahan karena setelah dipikir lagi 'belum saatnya'.
Kebetulan sekali kami sama-sama masih sendiri, aku yang memang anaknya mudah terbawa suasana langsung bersemu saat ia mengatakan aku cewek paling asyik yang pernah berkomunikasi dengannya. Daerah kami juga ternyata tak terlalu jauh, paling hanya setengah jam kalau naik motor.
Sudah lama sejak putus kuliah, aku tidak lagi menjalin hubungan asmara. Aku jadi merindukan masa-masa indah dulu, saat punya kekasih yang bisa saling menyayangi.
[Kapan-kapan kita jumpa, ya.]
Dadaku bergemuruh membaca pesan itu. Bukan karena isinya, tetapi ada sebuah emot love terselip di sana yang membuatku melayang. Benar, 'kan, aku benar-benar mudah terbawa suasana.
[Oke, nanti kabari aja kalau mau ke sini.]
Setelah mengirimkan pesan itu, aku menelungkupkan wajah di balik bantal. Rasanya panas, padahal AC menyala. Terdengar dentingan lagi, aku langsung membukanya.
[Gimana kalau kamu aja datang ke sini? Ya, kalau nggak sibuk, sih. Biar sekalian refreshing juga, di sini ada tempat indah banget. Kamu pasti suka.]
Aku terdiam sesaat membaca pesan itu. Tidak buruk. Lagian sudah lama aku tidak keluar, sekali-kali perlu jalan-jalan juga untuk menenangkan pikiran dan hati. Belum sempat aku mengetikkan balasan, sebuah pesan lagi masuk.
[Nanti aku kirimkan alamatnya kalau kamu mau ke sini.]
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kubalas pesan itu.
[Baiklah. Nanti aku kabari kalau mau ke sana.]
Setelah itu komunikasi kami tak lagi berlanjut, mungkin dia sudah tidur. Aku pun sudah menguap. Jam di ponsel telah menampilkan pukul 02.10, begitu lama kami berkirim pesan ternyata.
Sebelum mematikan lampu kamar, terlebih dulu aku ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sudah jadi rutinitas bagiku untuk membersihkan wajah sebelum tidur. Aku tak mendengar suara-suara dari ruang tengah, mungkin ayah dan ibu pun telah istirahat.
Setelah kembali dari kamar mandi, aku melihat ponselku lagi. Ada pesan dari Putra, isinya hanya emot love. Senyumku lagi-lagi mengembang. Gila!
***
To be continue ...
Benarkah di benakmu hanya diriku? Eaaa ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomanceRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...