Aku terbangun saat mendengar keributan. Aku tak tahu berapa lama aku sudah tertidur di halte ini. Dengan cepat aku bergegas meninggalkan tempat itu. Langit mulai terang, kendaraan sudah banyak yang berlewatan. Beberapa kali sopir menawarkan aku ikut, aku hanya menggelengkan kepala. Aku benar-benar bingung harus ke mana saat ini.
Langkahku terhenti saat mencium aroma yang membuat perutku keroncongan. Aku mencari-cari dari mana asal aroma itu. Tak jauh dari tempatku berdiri, tampak seorang bapak tengah menggoreng di kedainya. Aku pun mendekat dan melihat.
"Silakan duduk, Nak. Mau sarapan apa, ada nasi goreng, lontong, bubur ...." Ia berbicara banyak, tatapanku fokus pada nasi goreng yang tengah diaduk.
"Nasi goreng pakai petai, Pak." Aku tersenyum saat ia menganggukkan kepala.
Tak lama kemudian, semua telah terang benderang. Jalanan ramai, kedai tempatku duduk pun telah diserbu orang-orang. Mereka berebutan kursi.
"Harap sabar, ya." Bapak itu menyodorkan sepiring nasi goreng padaku. Dengan senang hati aku menerimanya dan hendak menyantap.
"Hei, berikan padaku!" Dua lelaki besar berdiri di hadapanku.
Aku menunjuk pada diri sendiri. "A-aku?"
"Ya iyalah, siapa lagi? Sini!" Salah satu dari mereka merampas piring berisi nasi goreng milikku. Pelanggan lain saling berbisik dan satu persatu bergerak menjauh, keluar dari kedai itu.
"Pak, bagaimana bisa kamu mengambil makananku. Aku sedang hamil." Aku menghampiri mereka.
"Hei!"
Aku terlonjak kaget mendengar teriakannya. Namun, entah keberanian dari mana aku tak mau pergi. Tetap berdiri di samping keduanya hingga mereka menghabiskan makanannya.
"Kenapa masih berdiri, ha? Mau mati?" Salah satu di antara mereka mengangkat tangan. Aku menundukkan kepala dan menutup mata. Namun, tak ada tanda-tanda ia menampar, aku pun membuka mata dan melihat mereka telah pergi.
"Ke-kemana mereka, Pak?" tanyaku pada pemilik kedai. Ia tak menggubris, pergi begitu saja ke dapurnya.
"Pak, saya belum makan dari kemarin. Bolehkah saya minta sepiring lagi? Saya akan bayar, bapak nggak usah khawatir." Aku memasang wajah memelas.
"Kamu mau bayar pakai apa? Anak atau dirimu? Pergi sana!"
Kalimatnya membuatku tak tahan, aku langsung berbalik hendak mengambil tas. Tak ada. Mataku terasa panas. "Ke mana tasku?"
Terdengar tawa meledek. "Kamu mau pergi sendiri atau kuseret? Tasnya dibawa preman pun dia nggak tahu. Bodoh atau gimana, sih. Pergi sana!"
Aku menyeka kedua sudut mataku. Sekarang uang yang tak seberapa itu pun lenyap. Aku tak tahu harus bagaimana. Kakiku melangkah dengan getaran, mataku sudah sangat berat. Perut keroncongan, minta diberikan jatah pagi. Aku menekannya dengan keras, berharap cacing-cacing itu berhenti membuat onar di perutku.
Matahari mulai meninggi, aku berjalan menuju tempat sepi. Di mana aku bisa melepaskan lelah. Saat melewati jalanan kecil, aku melihat sebuah gubuk. Buru-buru aku berjalan agar bisa cepat istirahat. Namun, belum sampai aku di sana terdengar seseorang memanggil. Aku menoleh, lalu semua gelap.
***
Dua pria besar mondar-mandir di depanku. Aku hanya membuka sedikit mata dan menajamkan pendengaran. Aku tak yakin, seperti mimpi. Aku duduk di kursi dengan tangan diikat ke belakang. Mulutku tertutup dengan lakban hitam, sedangkan kakiku diikat dengan rantai.
"Lama sekali bos, ya? Aku udah capek ini, cuma jagain perempuan yang nggak sadar-sadar."
Sayup-sayup aku mendengar pembicaraan mereka, lalu keduanya beranjak pergi dan menutup pintu. Aku membuka mata dan mengedarkan pandangan, seisi tempat itu banyak sekali karung yang isinya entah apa. Dugaanku tempat ini gudang penyimpanan.
Lama kian lama mereka tak kunjung kembali. Aku juga menyerah untuk mencoba melepaskan diri. Aku berharap agar ada seseorang yang membantuku keluar.
Derap kaki membuat jantungku berdegup kencang. Aku memejamkan mata lagi, pura-pura tidur agar aku bisa mendengar apa yang dibicarakan nanti. Lama tak ada suara, aku membuka mata.
Napasku tercekat, sebuah tatapan tajam mengarah padaku. Seseorang yang menggunakan masker dan topi duduk tepat di depanku. Hanya berjarak sepuluh sentimeter.
Ia melepaskan penutup mulutku. Akhirnya napasku bisa terembus lebih baik. Tatapan itu tak kunjung terlepas, bahkan setelah aku meminta agar dia melepaskanku.
"Apa maumu sebenarnya? Lepaskan aku, tolong!" Aku berteriak.
"Kurang ajar!" Ia kembali membungkam mulutku. "Tidak bisa, kau harus tetap di sini." Lalu ia bangkit, meninggalkanku sendirian lagi.
"Hei, apakah semua manusia di dunia ini jahat? Kenapa nggak ada orang yang peduli padaku, kenapa nggak ada yang mengasihi wanita hamil sepertiku." Aku berteriak dalam hati, mataku benar-benar tak bisa lagi kuajak berdamai. Cairan bening mengalir begitu saja.
Ia berhenti sesaat, menoleh dan kembali pergi. Entah apa tujuannya.
Aku kembali tersentak saat pintu dibuka dengan kasar. Orang yang pergi beberapa saat lalu, kini muncul kembali dengan seorang perempuan di sampingnya. Cantik dan anggun.
"Dia?" Perempuan itu menatapku dengan sinis. "Nggak, Sayang. Aku nggak mau anak dia, coba kamu lihat ... dia dekil ...."
"Sayang ... kamu tau, aku susah payah menemukannya. Jadi, tolong hargai usahaku. Oke?"
Perempuan itu tersenyum, lalu mengangguk kepala. "Baiklah, ini demi kamu. Tapi kalau nanti anaknya jelek, aku nggak mau." Ia lalu berbalik dan pergi.
Pria itu tak langsung mengikutinya. Ia malah duduk di hadapanku. Tatapannya tajam, tetapi aku bisa melihat kesedihan dan kehampaan di sana. Aku menggerakkan kepala, mengeluarkan suara yang terpotong-potong. Ia hanya menatap tanpa ada ekspresi.
"Kau tahu, aku benar-benar frustrasi sekarang. Jadi, tolong bantu aku. Aku akan berikan uang berapa pun kau mau, asal berikan anakmu padaku."
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat agar ia sadar, tak akan kusetujui. Ia membuka penutup mulutku. Aku membuang napas kasar dan langsung berteriak, "Aku tidak akan pernah memberikan anakku pada penjahat seperti kalian!" Aku meludah di hadapannya.
Ia terkekeh, seperti orang gila. Bulu kudukku berdiri, ketakutan lagi-lagi menghampiri. "A-ap-a yang sedang kau la-lakukan?"
"Kau tahu, aku sangat suka menyisir rambut istriku." Ia melangkah ke belakangku, aku bisa merasakan aura mengerikan dari dalam dirinya.
"Aku mencintainya, sangat."
Aku merasakan gerakan tangannya ada di rambutku. "Aww!" Aku berteriak kesakitan. Ia menarik rambutku dengan sangat kasar. Rasanya rambutku telah habis, botak dibuatnya.
Tak sampai di situ ternyata, ia duduk lagi di hadapanku. "Kenapa aku harus repot-repot mencari perempuan yang hamil tanpa ayah? Sederhana saja, karena aku ingin tak ada penyesalan nantinya."
"Mana ada ibu yang mau menjual anaknya, apalagi sama orang jahat sepertimu!" Aku berteriak di hadapannya.
Ia membuka topi dan maskernya, sehingga aku bisa melihat wajahnya secara langsung. Ia pria yang tampan, memiliki tahi lalat di pipi kanannya. "Wanita yang rela menyakiti atau menjual anaknya tidak akan pernah pantas disebut seorang ibu. Apa kau mengerti?" Mataku lagi-lagi memburam dan semuanya gelap.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomanceRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...