Beberapa hari setelah menolak perjodohan yang tak masuk akal, aku masih terdiam di kamar dengan kondisi kurang sehat. Badanku terasa berat, mual, pusing dan muntah selalu menghiasi hari-hariku. Kata dokter yang memeriksa, hal itu wajar bagi seorang wanita hamil muda. Namun, ini benar-benar membuatku semakin membenci kenyataan.
Pintu kamar terbuka, ibu muncul dengan nampan berisi makanan. Aku membuang muka ke arah samping, acuh pada tindakan-tindakan aneh ibu beberapa hari ini. Tiba-tiba saja ia berubah menjadi perhatian dan rajin melihatku. Entah ada niat terselubung atau memang sudah sadar. Di pikiranku ada beberapa hal yang muncul, yang paling sering adalah ibu baik agar aku menerima perjodohan dengan lelaki tua bernama Widoyo itu.
"Kamu makan dulu, ya. Biar sehat, cucu ibu juga-"
"Bu," potongku cepat. Aku menolak tangan yang hendak mengelus perutku. Sama sekali tak nyaman.
"Kamu mau ibu suap? Baiklah." Ibu mengambil mangkok berisi bubur dari atas nampan. Ia mengambil sesendok dan meniup pelan. Beberapa saat kemudian, ibu pun menyodorkan padaku sembari memberikan instruksi.
"Aaak ... buka mulutnya, Sayang."
Aku mengikuti instruksi ibu, membuka mulut dan menelan bubur yang rasanya manis. Baru sesendok masuk, rasanya perutku kembali diguncang. Aku berlari ke kamar mandi, mengeluarkan yang baru saja masuk. Aku mencuci mulut dan muka, lalu membuang napas panjang. Selalu seperti ini.
"Kamu gak apa-apa?" tanya ibu sembari menyentuh tengkukku. Aku menggelengkan kepala cepat dan berbalik ke tempat tidur. Aku duduk dengan mata berair dan napas memburu.
"Aku nggak mau makan, Bu, keluarlah." Aku benar-benar tak ingin diganggu saat ini.
Ibu bergeming, tatapannya tampak bertahan padaku. Agak lama, hingga ia duduk di lantai-tepat di bawah kakiku.
"Ibu ngapain?" tanyaku sembari menarik kaki.
Sontak ibu memeluk kakiku dan tersedu-sedu. Aku yang bingung langsung turun hingga kami sejajar. Walaupun ia sering memarahiku, tak patut membiarkan seseorang yang telah melahirkanku berada di sana.
"Ibu, jangan nangis." Aku memeluk dan mengusap punggungnya lembut.
"Maafin ibu."
Ibu kian mengencangkan tangisnya di pelukanku. Aku jadi ikutan berderai air mata. "Nggak apa-apa, Bu. Jangan nangis." Kupikir ibu kini telah berubah.
"Ibu mohon, menikahlah dengan Pak Widoyo."
Tangisku seketika berhenti, kulepas pelukan itu secara paksa. Aku berdiri dan mengusap cairan yang masih mengalir di pipi. "Keluar! Keluarrr!"
Ibu turut berdiri, ia mencoba meraih tanganku. Namun, emosi telah memenuhi, tak ada tersisa rasa iba dalam hatiku kini. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan kakek itu? Lagi-lagi batinku tertunjang oleh sikap dan sifat ibu.
"Dia sudah kasih ibu banyak uang. Ibu-"
Aku mengangkat tangan. "Kembalikan saja uangnya, Bu. Selesai. Jangan jadikan aku tumbal untuk kemewahan kalian. Aku ini manusia, punya rasa bukan cuma raga yang bisa diperlakukan semena-mena. Selama ini kalian perlakukan aku sesuka kalian, aku diam aja. Tapi bukan berarti ak-ak-" Kepalaku terasa pening, pandangan memburam. Lagi-lagi aku tak sadarkan diri.
***
Aku memijat kepalaku yang manis terasa sakit. Pandanganku mengedar ke sekeliling, tepat pada jam dinding. Sudah pukul 23.10, sudah tengah malam. Aku keluar kamar, tak ada lagi suara televisi. Mungkin orang tuaku sudah istirahat.Aku mengambil koper berukuran sedang dari atas lemari dan mengisinya dengan beberapa pasang pakaian. Tak lupa pula aku memasukkan dompet yang isinya tak seberapa.
Aku menatap meja tempat biasa aku menulis, aku melangkahkan kaki secara perlahan. Aku menimbang-nimbang, apakah laptop itu akan menemaniku nanti? Tidak. Aku menggelengkan kepala dan meletakkannya kembali di atas meja.
Setelah merasa cukup aku menyeret koper keluar dari kamar secara hati-hati. Di tangga aku mengangkatnya agar tak menimbulkan bunyi. Pelan-pelan kubuka pintu depan dan celingukan, takut ada tetangga yang masih berkeliaran. Aman, aku pun meninggalkan pekarangan rumah.
Aku berjalan cepat menuju jalan raya. Masih banyak kendaraan yang lalu-lalang. Aku memberhentikan sebuah taxi, dan masuk ke dalamnya.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya sopir.
Aku tak langsung menjawab, benar-benar bingung mau ke mana.
"Mbak, mau ke mana?" Sekali lagi pertanyaan itu.
"Bapak mau ke mana?" tanyaku balik.
Sopir itu tampak mengerutkan dahi. "Lah, malah tanya saya. Saya mah kalau nggak ada penumpang lagi langsung pulang ke rumah, Mbak. Ada istri dan anak saya yang nungguin."
"Oh. Kita cari penginapan termurah aja, Pak." Akhirnya aku memutuskan untuk mencari tempat menginap.
"Oke, Mbak, kita jalan, ya."
Taxi pun mulai melaju ke arah barat. Aku membuka ponsel dan mencari nama penginapan termurah di google. Harganya membuatku elus dada, rata-rata ratusan ribu per malam. Jika aku menginap malam ini, besok bagaimana uangku? Pikiranku kembali terkacau.
"Mbak, di depan ada penginapan murah. Mau lihat dulu?" Pertanyaan sopir itu menyentakku. Aku menundukkan kepala agar bisa melihat arah depan.
"Budget berapaan biasanya, Pak?" tanyaku jaga-jaga dengan isi dompet.
"Paling seratus lima puluh atau dua ratus, Mbak."
Aku menelan ludah. "Em, mahal banget, Pak. Cari yang lebih murah lagi, ya."
"Oke, kita cari yang lain, Mbak."
Mobil kembali melaju, meninggalkan tempat yang hampir kami berhenti. Selang beberapa menit, pak sopir kembali menawarkan penginapan yang katanya terjamin berkualitas. Namun, pastinya aku menolak. Ini hanya caraku mengulur-ulur waktu agar tertidur dalam mobil.
"Mbak, kita udah keliling ini loh. Mbak nggak ada tujuan sama sekali ya? Nggak ada satu pun yang cocok sama Mbak. Ini udah larut saya harus pulang, istri dan anak saya masih banyak keperluan. Mbak saya tinggal di halte aja, ya."
"Ha? I-iya, Pak," balasku tergagap.
Taxi itu pun berhenti di depan halte yang dimaksud. Aku keluar sambil menurunkan koper. Aku mendekat ke arah sopir. "Berapa, Pak?"
"Seratus ribu, Mbak."
"Mahal amat, Pak? Kan-"
"Mbak, saya sudah keliling ke sana kemari. Nyari penginapan ini itu, masa Mbak nggak kasian sama saya. Lagian ini taxi, Mbak, bukan angkot. Gimana, sih?" Suara sopir itu tak enak didengar, mungkin ia kesal.
"Tapi, uang saya cuma segini, Pak." Aku menyodorkan lima puluh ribuan satu lembar.
"Lah, Mbak-mbak. Kalau nggak punya uang harusnya mikir, jangan bikin repot aja. Masa mau nginap uang nggak ada, pakai naik taxi segala. Untung juga saya turunkan Mbak di sini."
"Maaf, Pak." Aku menyodorkan uang lima puluh ribuan. "Ini gimana, Pak?"
Sopir itu mengambilnya dan menyimpan dalam saku. "Ya udahlah, daripada saya nggak dapat apa-apa." Mobilnya dilajukan dengan kencang setelah itu.
Aku berbalik, melihat halte yang sepi. Aku mulai memikirkan bagaimana cara istirahat malam ini. Apakah keputusan ini sudah tepat? Kuharap iya. Aku tak ingin kembali ke rumah yang tak ada kehidupan itu. Aku ingin memulai kehidupan baru, sendirian.
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomansaRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...