Bab 11. Keguguran

95 14 0
                                    

"Lalu apa kau pantas disebut seorang ibu, sedangkan kau tak punya pasangan?" Ia tersenyum lebar dan kembali mengenakan masker.

Aku benar-benar mati kutu sesaat, tak sanggup mengeluarkan suara atau bergerak. Apa aku pantas? Segera kutepis pikiran itu dan mengangkat wajah. "Kenapa aku nggak pantas dan kata siapa aku nggak punya pasangan?"

Ia hanya terkekeh dan menganggukkan kepala, lalu berkata, "Bersiaplah, kau akan ikut ke rumah. Apa kau tak lapar?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan itu hingga ia melenggang pergi ke arah pintu keluar. Aku menggerakkan tangan dan kaki, berharap bisa melepaskan segala yang membelenggu pada raga ini. Sekuat tenaga, kakiku terasa perih akibat ikatan rantai yang kencang.

"Apa maksudnya tadi?" tanyaku pelan.

Tak lama setelah kepergian lelaki itu, dua pria berbadan besar datang menghampiri. Keduanya bergerak melepaskan ikatan yang ada padaku. Saat itu terbesit keinginan untuk melarikan diri, sayang sekali tangan mereka bahkan tak bisa kutepis meski kugunakan seluruh kekuatan.

Aku dibawa keluar dari tempat itu. Di depan sebuah mobil mewah telah menanti, mereka mendorongku masuk dan ikut duduk di samping.

Aku terdiam selama perjalanan sembari berpikir bagaimana cara untuk melarikan diri. Kanan kiriku dijaga ketat, otakku serasa beku dan tak kunjung mendapatkan ide.

Hampir lima belas menit lamanya, mobil pun berhenti di depan gedung tiga tingkat yang bercat kuning dan beberapa titik berwarna cokelat muda. Mereka menarikku turun dan membawa masuk ke rumah.

Di sana tak ada orang, hanya terdengar bunyi televisi yang menayangkan film kartun.

"Silakan duduk!" Mereka memintaku duduk di sofa. Aku hanya mengikuti kata-kata itu. Salah satu dari mereka pergi menaiki tangga, sedangkan satu lagi berdiri di sampingku.

Aku mengetuk-ngetuk jari di sofa, terdengar ponsel si pria berdering. Ia berjalan menjauh dan menerima panggilan. Kesempatan! Aku berlari sekencang-kencangnya, keluar dari rumah itu. Terdengar pula teriakan memanggil, aku tak peduli. Kakiku terus melangkah cepat meski terasa sangat perih.

"Aaaaa!" Bisa kulihat sebuah sedan melaju kencang dari arah depan, jaraknya hanya beberapa langkah. Yang kurasakan sakit pada bagian perut, tubuhku terpelanting. Aku masih sempat mendengar seseorang berteriak sambil mengguncang tubuhku, tetapi mataku terpejam dan akhirnya tak sadarkan diri.

***

Mataku menyipit saat cahaya lampu begitu silau. Aku meringis kecil dan menyentuh perutku yang dibalut selimut tipis. Sontak aku membuka mata lebar-lebar dan meraba perutku yang rata. Apa aku bermimpi? Saat aku hendak duduk, seseorang membuka pintu.

"Eh, Mbak. Hati-hati." Ia menuntunku duduk. Kenapa rasanya badanku sakit semua.

"Bagaimana anakku?" tanyaku tanpa basa-basi.

Ia tak langsung menyahut, tarikan napasnya terdengar sangat berat. Aku menatapnya tajam, menuntut agar segera diberitahukan.

"Maaf, Mbak, kesalahan saya. Mbak keguguran."

Bagai disambar petir, tubuhku langsung lemas tak berdaya. Bahkan tanganku bergetar hebat. Ia menggenggam tanganku kuat, seperti mencoba menguatkan. Air mata dan isakan kecil mulai keluar. "Kenapa? Kenapa!?" tanyaku sembari menghempaskan tangannya.

Ia tampak mengucapkan kata maaf beberapa kali. Pintu ruangan terbuka, beberapa orang datang dan membuat keributan. Namun, aku tak peduli. Tangisku menderu, aku menutup telingaku, menolak semua penjelasan yang dikatakan. Aku bisa menduga, dialah orang yang telah menabrakku.

"Bawa dia pulang!" Suara itu bagaikan tak asing di telingaku. Aku menoleh dan benar, pria itu lagi.

Beberapa pria besar langsung bergerak, salah satunya menggendongku dari brankar. Tangisku belum berhenti, tetapi juga aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak punya apa-apa dan siapa-siapa saat ini. Aku harus ke mana pun aku tak tahu. Beberapa orang yang melihat kami tampak kebingungan. Tapi sepertinya orang yang membawaku tak punya rasa simpati atau apa pun. Mereka bahkan sanggup membawa paksa seorang wanita yang baru saja keguguran.

Aku dimasukkan ke mobil, duduk di samping pria yang hingga kini tak kukenal, tak kutahu siapa namanya. Aku duduk menatap luar kaca dengan infus yang masih melekat. Kulihat juga orang yang menabrak ikut masuk dalam mobil.

Mobil itu melaju kembali ke rumah mewah tadi. Suasana sudah mulai gelap, aku digendong oleh pria besar ke rumah. Di ruang tamu beberapa orang duduk sembari berbincang. Semua berdiri saat kami masuk, seperti kaget dan bingung.

"Bawa dia ke kamar atas. Bi, tolong bantu!" Lelaki itu memerintahkan suruhannya dan ikut dari belakang.

Aku diletakkan di tempat tidur empuk, mereka memberikan selimut tipis yang lembut. Aku tak berekspresi dan tak berkata-kata. Lelaki itu duduk di sampingku setelah para pesuruh keluar. Aku memiringkan badan ke kanan.

"Maaf." Kata pertama yang terlontar dari bibirnya. Aku masih diam di posisi.

"Aku akan menikahimu setelah pulih." Lalu terdengar langkah kaki keluar dari kamar tersebut.

Aku menutup mata, cairan bening lagi-lagi mengalir. Kenapa? Pertanyaan yang selalu memenuhi pikiranku. Dengan mudahnya ia berkata, tak tahukah kalau aku menderita atas semua yang terjadi?

Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Namun, baru beberapa menit aku menutup mata, pintu dibuka secara kasar. Aku menoleh dan kaget saat rambutku langsung dijambak oleh seorang wanita yang pernah kulihat di tempat penyekapan.

"Berani-beraninya kau menggoda suamiku!" teriaknya sambil mengencangkan tarikan pada rambutku.

Aku tak menyahut, hanya terisak dengan air mata yang tergenang. Belum kering satu luka kini ditambah luka baru lagi.

"Dasar jalangan!"

"Raisa!" Terdengar teriakan dari ambang pintu, wanita itu langsung melepaskan tangan. Ia mundur beberapa langkah dan menangis sejadi-jadinya.

"Kenapa kamu mau nikah sama dia, Mas? Apa kurangnya aku? Apa!?" Ia mengguncang tubuh lelaki itu.

Aku hanya menatap mereka dengan mata yang masih berair. Lelaki itu juga menatapku.

"Kenapa? Bukankah kita udah janji untuk tidak melakukan ini? Kita hanya mengambil anaknya bukan ibunya? Kenapa Mas Fahri? Kenapa!?" Wanita itu berteriak histeris, tetapi orang yang di sampingnya tak menyahut sama sekali.

Wanita itu berjalan ke arah meja rias, ia menghancurkan semua barang-barang yang ada di sana. Pecahan benda begitu membuat telinga sakit, aku menutup mata dan telingaku.

"Penjaga! Bawa nyonya keluar!" teriak pria itu.

Terdengar langkah kaki besar datang, aku membuka mata melihat cara mereka menarik dan membawa wanita itu keluar dari kamar. Wanita itu terus berteriak histeris dan menangis.

"Istirahatlah! Nanti akan diantarkan makan malam untukmu." Setelah mengucapkan itu, pria itu keluar.

Aku hanya diam menatap kepergian mereka. Pintu masih terbuka lebar, tak ada suara lagi terdengar. Entah ke mana mereka, entah apa yang terjadi. Aku juga tak bisa keluar untuk melihat, badanku terasa remuk. Dengan perlahan aku menyentuh kepala, mengusap pelan. Aku bisa merasakan perih di atas sana, aku menekan pelan dan melihat telapak tanganku. Ada darah yang melekat, pantas saja begitu sakit. Ternyata dijambak sampai berdarah.

Aku juga menatap ke bawah, banyak benda yang berjatuhan. Aku membuang napas berat dan lagi kusentuh perutku yang kini telah rata. Aku tak tahu nasib apa yang kini tengah kuhadapi.

"Anakmu sudah tidak ada." Kalimat itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Kupejamkan mata dan kucoba lupakan segala yang terjadi hari ini.

***
To be continue ...

Hirap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang