Aku memeluk lutut di samping tempat tidur dengan balutan selimut di sekujur badan. Kejadian tadi malam benar-benar merusak segalanya bagiku. Pria itu telah pergi setelah selesai menghancurkanku.
Beratus kali aku telah menghubungi Putra, tetapi tak sedikit pun ada tanda-tanda kehidupan lelaki itu. Aku yakin, nomorku telah diblokir. Aku menghubungi semua sosial medianya, tak satu pun petunjuk yang memberiku pencerahan. Aku meremas ponselku dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Suara pintu terbuka, aku langsung menoleh, takut pria tadi kembali lagi. Namun, yang muncul adalah seorang wanita mendorong meja berisi makanan.
"Pergi!" teriakku sambil menatapnya tajam.
Dia tampak kaget. "Maaf, Nona, tapi tuan meminta saya mengantarkan makanan ini."
Aku mengambil vas bunga yang ada di atas nakas dan melemparkannya ke arah wanita itu. Dia ketakutan dan keluar tanpa membawa kembali makanan yang dibawa. Aku berjalan ke arah pintu, menatap makanan itu dan menghancurkannya secara keseluruhan. "Aaaaaa!"
***
"Ke mana saja kamu!? Semua uang ibu hilang, apa kamu yang mengambilnya?" Suara ibu pertama kudengar saat baru tiba di rumah. Orang tuaku tampak menantikan kepulanganku, tetapi bukan karena khawatir. Hanya untuk mengintimidasi atas hilangnya uang mereka.
Aku tak menyahut, melewati mereka begitu saja.
"Berhenti kamu anak kurang ajar!"
Aku menghentikan langkah, kudengar derap kaki mendekat. Tubuhku diputar secara paksa dan tamparan keras mendarat di kedua pipiku secara beruntutan.
"Kamu pikir kamu hebat, ha? Kembalikan semua uangku!"
Aku tak menyahut. Aku membalikkan badan lagi dan mencoba melangkahkan kaki. Namun, lagi-lagi kakiku terhenti saat sebuah benda menimpa punggungku. Sebuah vas bunga jatuh ke lantai setelah mengenaiku.
Aku berbalik, menatapnya nyalang. Jika saja dia bukan ibuku, tentu aku telah mencabik-cabiknya. Aku tersenyum ke arahnya. "Apa uang lebih berharga daripada anakmu!? Oh, iya, atau aku adalah anak yang kamu beli dengan uangmu? Sehingga kalian bisa dengan rendahnya memandangku, bahkan aku merasa lebih rendah dari kotoran binatang. Apa kalian pernah menganggap aku manusia!?"
"Ini bukan masalah manusia dan binatangnya, tapi aku perlu uangku. Di mana semua uangku!?"
Aku berdecak mendengar kalimat ibu. "Aku tidak tahu dan tidak pernah mau mengurus uangmu itu!" Aku menekan setiap kata yang kukeluarkan. Keduanya terdiam, aku beranjak pergi.
Aku menutup pintu kamar dengan kasar. Aku menatap diri di depan cermin, menghancurkan semua alat rias yang ada di sana. "Mati aja kalian semua!" Aku berteriak seperti orang gila. Aku mengacaukan kamar yang baru kemarin kutata rapi.
"Hei, apa kau gila!?" Suara ibu terdengar, aku menjatuhkan diri di lantai dan tak sadarkan diri.
***
Aku terbangun saat mendengar suara pintu diketuk berkali-kali. Namun, aku masih membeku di tempat-di lantai. Sama sekali tak ada niat untuk menyahut apalagi membukakannya.
"Salsa, kamu nggak lapar?"
Pertanyaan yang jarang terdengar di rumah ini. Itu bukan suara milik ibu atau ayah, tak tahu itu milik siapa. Aku memilih kembali memejamkan mata dan menutup telinga rapat-rapat.
Setelah merasa suara itu menghilang aku membuka mata dan duduk. Sekujur tubuhku terasa sakit dan berat. Aku berdiri dan menghampiri meja tempat biasa aku menulis. Aku menghidupkan laptop dan mulai mengetik huruf demi huruf tanpa tujuan. Aku hanya menulis beberapa kalimat yang menjelaskan isi hatiku.
Hidup ini begitu buruk
Banyak sekali hal membuat tersiksa
Banyak kejahatan yang merajalela
Orang-orang terlihat cantik dengan senyuman
Tampan dengan perhatian
Tetapi di balik itu semua
Banyak hal yang mematikan."Salsa, ada teman kamu yang datang. Jangan bertingkah seolah-olah kamu sangat hancur, keluarlah!"
Aku menoleh ke arah pintu. Bertingkah seolah-olah aku hancur? Senyum tipis terbit di sudut bibirku, kupejamkan mataku.
"Apa kamu nggak bisa dengar? Aku tahu kamu nggak tidur!"
"Iya." Hanya itu kata yang keluar dari bibirku. Aku tak perlu mengumbar lukaku, yang harus kulakukan saat ini hanyalah tersenyum dan tampak bahagia. Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil handuk dan masuk kamar mandi.
Agak lama aku baru keluar, badanku terasa lebih segar setelah mandi air hangat. Aku berjalan ke ruang tamu yang terdengar ramai. Di sana ada beberapa teman masa sekolahku dulu.
"Hei, Salsa. Lama kali kamu keluar? Ah, bisa-bisanya kamu membuat kami menunggu. Padahal jelas-jelas minggu lalu kita udah janjian mau kumpul di rumah kamu." Cika berseru sambil menghampiriku. Kami saling memeluk satu sama lain.
"Maafkan aku," ucapku pelan.
Dia terkekeh dan menggandeng tanganku. "Ayo, gabung sama yang lain."
Cika teman terdekatku saat masa kuliah. Hingga aku putus kuliah, dia tetap memberikan dukungan padaku. Dia yang dulu sering memberikan motivasi dan inspirasi. Namun, semenjak dia menikah pertemanan kami tak seerat dulu. Aku pun paham, setelah berkeluarga dia punya lebih banyak prioritas penting daripada pertemanan.
Suasana hatiku sedikit terobati dengan hadirnya mereka. Banyak cerita yang membuat senyumku mengembang. Beberapa di antara mereka bercerita keluh kesah selama kuliah. Kami, khususnya aku yang telah berhenti hanya bisa mengeluarkan kata sabar.
"Eh, ngomong-ngomong, nih, apa nggak ada orang spesial yang mau kamu kenalin ke kami, Sal?" celetuk salah satu dari mereka.
Aku tergagap, tak tahu harus merespons bagaimana. Minggu lalu, aku setuju berkumpul di rumah ini karena ada niat akan mengenalkan mereka pada Putra. Aku ingin memamerkan pada mereka jika Salsa juga bisa punya kekasih. Namun, rencana tinggal wacana.
"Aku ng-" Bel rumah berbunyi, aku punya kesempatan untuk menghindar dari pertanyaan mereka. Aku langsung bangkit dan membukakan pintu.
Dunia seolah berhenti berputar, hanya tersisa suara detak jantung yang memburu. Wajah, bibir, hidung dan mata itu membuat tubuhku terpaku. Pria itu datang, apa ini pertanda baik atau buruk untuk hariku? Apakah dia benar-benar takdirku hingga muncul di saat seperti ini, saat aku membutuhkannya?
"Ka-kamu ...." Suaraku lirih, mungkin hanya aku yang mendengarnya.
Pria itu tak berekspresi aneh sepertiku. Lebih seperti orang asing yang bersikap biasa aja.
"Untuk apa kamu ke sini?" tanyaku pura-pura tak mengharapkannya, padahal jelas-jelas hatiku bersorak-memintanya merengkuh dan menguatkan hatiku yang telah dihancurkan.
Lelaki itu tak bersuara, ia malah celingukan dan tak henti mencari celah untuk melihat ke rumah. "Aku ada urusan, tolong jangan bersikap seperti ini. Anggap saja kita nggak pernah kenal dan nggak pernah ketemu."
"Maksud kamu apa? Setelah yang kamu perbuat, berani-beraninya kamu bilang gitu. Sebenarnya kamu itu manusia apa?" Air mataku tak bisa bertahan lama di kelopaknya, terjun bebas sudah.
"Mas Putra udah datang. Salsa, itu suamiku yang datang menjemput." Suara yang terdengar di belakangku membuat tubuhku lunglai.
***
To be continue ...
Selamat sore. Up lebih cepat dari biasanya yak. :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
Roman d'amourRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...