Kakiku sama sekali tak ingin berhenti melangkah, meski berat. Tanganku sesekali melambai ke sembarang arah, seperti orang yang tengah mabuk. Ada beberapa orang yang berpapasan denganku, mereka menatap sinis dan berlari meninggalkan aku.
Apa aku sudah terlihat gila? Aku tertawa sendiri. "Akhirnya aku gila!" Teriakan-teriakan kulontarkan agar seluruh dunia tahu kalau aku sudah tak waras. Namun, tetap saja tak ada yang mendengarkan. Mereka tetap pergi, tak memberikan rasa kasihan meski sedikit.
Aku melihat batu sebesar kepalan tangan di pinggir jalan. Kuambil dan kutokokkan ke kepalaku, sakit, tapi aku masih bisa tertawa.
"Aku gila, aku gila." Aku berkata dengan sedikit bernada.
"Ayah, ibu, aku gila sekarang. Apa kalian masih ingin marah?" tanyaku dengan tatapan ke arah gelapnya jalan.
"Apa kalian tahu, aku senang menjadi gila. Nggak ada beban, gak ada sakit hati. Tapi ... aku ... gila." Aku sesenggukan.
Aku menyanyikan sebuah lirik lagu. Lalu terhenti dan terkekeh geli sendiri. "Harusnya aku menulis lirik itu pada naskahku." Aku tersenyum dan kembali melantunkan lirik lagu.
Namun, tak lama kemudian dadaku terasa sesak. Aku menangis lagi. "Bagaimana dengan novelku? Aku menulisnya di laptop itu. Apa aku harus kembali dan mengambil laptop lagi?" Aku mencuatkan bibir dan menggelengkan kepala. "Ah, tidak. Wanita jahat itu akan membunuhku."
Langkahku berlanjut ke daerah yang sepi. Hanya tampak beberapa kilau cahaya, mungkin lampu jalan yang redup. Kalau dikira-kira sudah beberapa jam aku melanglang buana di jalanan. Mataku terpejam, kubuka, lalu kupejamkan lagi. Begitu berlangsung beberapa waktu.
Malam itu benar-benar jadi malam terakhir dalam hidupku. Aku tiba di jembatan yang tingginya sepuluh meter di atas sungai. Aku yakin, jika loncat aku bisa damai di dunia lain. Dengan senyum getir dan pandangan yang buram, aku berdiri di pinggir jembatan dengan tubuh yang bergetar.
Kedua tanganku terentang, kututup mata dengan rapat. Aku bersiap terjun ke sana, ke dunia berbeda seperti yang kurasakan kini. Tubuhku melayang, tercebur oleh dinginnya air malam. Kepalaku terantuk di batu besar, semuanya gelap dan menghilang.
"Hei, Salsa, bangun!" Sebuah sendok kayu dipukulkan di kepala gadis itu. Yang dipanggil Salsa bengong, ia menatap sekeliling dengan mulut terbuka lebar.
"Apa kau tak kuliah? Sudah jam berapa sekarang?" Wanita yang memegang sendok itu berkacak pinggang. "Gadis macam apa yang bangun jam segini? Ya Tuhan, tolonglah agar kelak hidup putriku ini terbebas dari mimpi buruk." Wanita itu pun berlalu dari kamar anaknya.
"Ibu di sini?" tanya gadis itu pelan.
Sang ibu menoleh dan kembali mengangkat sendoknya. "Apa kau ingin mengusir ibumu, ha? Kau tahu berapa lama aku membangunkanmu?"
"Ibu, aku ingin libur kuliah."
Duk!
Sekali lagi, sendok itu mencium dahi Salsa. "Nggak usah kuliah lagi, dan bayar semua uang yang udah ibu habiskan untuk kuliahmu sekarang juga!"
"Ah, ibu." Salsa memejamkan mata, memijit pelipisnya pelan. "Mimpi macam apa ini?"
"Cepat!" Ibunya pun pergi.
Gadis itu tiba-tiba membuka mata dan menoleh pada laptop yang letaknya masih sama seperti sebelum ia tertidur panjang semalaman. Ia berniat menghidupkan lagi, tetapi suara sang ibu terdengar seolah-olah ingin merobohkan rumah mereka.
"Salsa, cepat siap-siap kuliah. Mulai hari ini, berhentilah menulis atau ibu pecahkan laptopmu itu! Apa telingamu masih berfungsi!?"
Salsa berdecak kesal. "Ah, iya, Bu. Sebentar." Ia pun turun dari tempat tidur.
***
Ini bukan kisah aneh, tetapi kisah yang benar-benar aneh. Salsa saat ini masih kuliah di tingkat lima, ia juga bekerja sebagai penulis freelance di beberapa media dan platform berbayar. Meski kerap cek-cok dengan sang ibu yang tak mengizinkan ia menulis, hubungan mereka sangat harmonis. Ayah Salsa bekerja di perusahaan yang telah lama dirilis, sedangkan sang ibu memilih menjadi ibu rumah tangga sejak beberapa tahun yang lalu. Salsa itu gadis yang penuh dengan ambisi, tetapi ia punya sifat pemalas yang kadang membuat jengkel. Setiap hari, ia ditemani oleh laptop kesayangan dan tertidur tanpa melakukan sesuatu yang membuat ibunya tersenyum.Setiap hari hampir selalu berdebat dengan ibunya perihal pekerjaan rumah. Salsa mengeluarkan jurus seribu alasan. Entah kenapa, mimpi semalam membuat gadis itu berpikir keras. Kenapa bisa ia bermimpi seperti itu? Apa itu bayangan masa depannya? Tidak. Ia tak akan mau hal itu terjadi.
Kehidupan Salsa berubah total setelah mimpi panjang itu. Mimpi yang seolah benar-benar akan terjadi padanya, terasa benar-benar nyata. Dari mimpi itu, Salsa perlahan mengubah prinsip hidup. Mulai dari kebiasaan, perilaku maupun harapan. Ia berharap agar tak ada satu kejadian pun dari mimpi itu menjadi nyata.
Salsa yang biasanya tak peduli pada orang tuanya, mulai mencari alasan agar bisa terus saling berkomunikasi dan memberi sedikit perhatian. Awalnya agak membingungkan, lama-lama itu membuat nyaman. Gadis itu merasa hidupnya lebih berharga daripada sebelumnya.
Di kampus, Salsa pun mulai aktif pada beberapa kegiatan. Perubahan yang sangat drastis membuat beberapa orang bertanya-tanya, tetapi tak sedikit yang senang dengan perubahan itu. Kehidupan seseorang memang tak ada yang tahu. Kadang yang kita kira baik-baik saja, nyatanya penuh malapetaka. Yang dikira menderita, ternyata penuh dengan cerita suka cita.
Yang harus kita lakukan, yaitu tidak membiarkan diri kita diam dan terjerumus pada hal-hal buruk yang merugikan. Siapa yang tahu kalau mimpi bisa jadi kenyataan? Entah itu nyata bahagia atau nyata malapetaka.
Salsa menarik napas panjang dan duduk di kursi yang ada di ruangan tempat kelas selanjutnya. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Apa aku bisa meminjam pulpen?" Sebuah suara membuat Salsa tersentak dan langsung menoleh. Ia lebih kaget saat melihat wajah lelaki yang bertanya, bahkan ia sudah bangkit dari tempat duduknya.
"Apa aku bisa meminjam pulpen?" ulang lelaki itu.
Salsa spontan mengalihkan pandangan dan menggelengkan kepala. "Ah, boleh. Ini ...." Ia menyodorkan pulpen berwarna merah muda miliknya.
Lelaki itu tersenyum kecil. "Manis."
"Maksudnya?" tanya Salsa bingung.
"Pulpennya manis." Lelaki itu menulis beberapa kata di buku yang dibawanya. Lalu kembali menyodorkan pulpen milik Salsa. "Ini, terima kasih."
"Siapa namamu?" Salsa memberanikan diri untuk bertanya.
Lelaki itu tersenyum manis. "Fahri. Salam kenal dan senang bertemu denganmu, Salsa." Lalu ia melenggang pergi.
Salsa menganga tak percaya. Wajah dan namanya sama persis dengan pria yang ada di mimpi. Apa itu orang yang sama? Salsa meninggalkan kelas dan agak berlari untuk melihat lelaki itu. Gadis itu berhasil menemukannya di garasi kampus, ia hanya menatap tak berani memanggil. Tampak lelaki itu berjalan beriringan dengan seorang perempuan yang wajahnya juga tak asing di mata Salsa.
"Itu Raisa? Aahhh, apa ini masih mimpi!?" Salsa menutup mata dan menjatuhkan badannya di lantai.
***
Tamat ...Jika kamu sampai ke part ini, terima kasih banyak.
Cerita ini bukanlah novel, tetapi hanya beberapa potongan kisah kehidupan seseorang.
Apa kalian percaya bahwa seseorang bisa berubah karena mimpi? Ya, saya percaya. Meski cerita ini ada beberapa tambahan fiksi, tetapi secara garis besar begitulah kehidupannya.
Apakah kalian berpikir ini cerita romantis? Oh, tidak. 🤣
Apa kalian tahu kenapa judulnya Hirap?
Menurut KBBI, Hirap artinya Hilang. Sama seperti harapan tokoh Salsa, berharap mimpi buruk itu benar-benar hirap dari hidupnya untuk selamanya. ♥️♥️
.
Sekali lagi, jika kamu sampai ke part ini ... terima kasih banyak. ♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomanceRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...