Aku mendengar suara keributan di sekitar. Aku tahu saat ini ada di mana hanya dengan mencium aroma tempat itu. Aku juga mengenal suara yang tengah berbicara, itu Fahri dan istrinya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mas. Andai kamu nggak bawa dia ke rumah aku nggak akan nekat kayak gini!"
"Raisa, tingkah kamu ini menunjukkan sifat aslimu. Kamu itu egois dan dengki. Di awal kita sudah saling setuju untuk percaya, tapi kamu nggak jujur. Itu yang membuat aku kecewa." Itu suara Fahri.
"Ooh, jadi kamu mau ngungkit lagi soal aku yang mandul?" Terdengar tawa kecil wanita itu. "Kamu tahu, aku berbohong juga demi kebaikan hubungan kita. Aku takut kamu meninggalkan aku, sekarang ketakutan itu benar-benar terbukti. Kamu malah milih jalangan itu!"
"Raisa!" Suara tamparan terdengar setelah teriakan Fahri.
"Kamu jahat!" Derap kaki Raisa terdengar, pintu ruangan ditutup dengan kasar.
Aku menyipitkan mata, bisa kulihat wajah pria itu ditekuk. Ia menutup wajahnya dengan talapak tangannya.
Aku memberanikan diri membuka mata dan bertanya, "Aku di mana?"
Fahri seketika melihat dan mendekat ke arahku. Ia menyunggingkan senyuman tipis. "Kamu lagi di rumah sakit. Tadi ... kamu keracunan makanan."
"Apa?" Aku mencoba duduk, tetapi langsung ditahan.
"Jangan banyak gerak dulu. Sebelumnya saya minta maaf karena semua yang terjadi padamu disebabkan oleh istri saya." Ia mengambil posisi berjongkok di samping brankar.
Aku tak bereaksi, hanya menatap tanpa tahu harus berkata apa.
"Saya tahu salah, dan untuk semua kesalahan, saya mohon maaf sebesar-besarnya," katanya dengan kepala yang masih tertunduk.
Aku hanya diam, hingga satu kalimatnya membuat dadaku terasa sesak.
"Setelah keluar dari rumah sakit, saya juga akan mengantarkan kamu pergi dan menjauh dari rumah saya." Lalu ia berdiri dan langsung berlalu tanpa menoleh padaku lagi.
Aku kembali memejamkan mata dan mencoba melupakan segala kejadian sebelumnya.
***
Tiga hari berlalu, aku hanya ditemani asisten rumah tangga keluarga Fahri. Siang harinya aku dijemput oleh penjaga. Selama perjalanan tak ada perbincangan, bahkan nyaris tak ada suara jika saja ponsel sang asisten berbunyi.
Aku mendengar sedikit perbincangan mereka. Dari cara ia bertutur, aku yakin yang menelepon adalah Fahri.
Sesampainya di depan rumah, aku koper besar diletakkan begitu saja. Aku tak berkomentar, penjaga langsung mengangkat koper itu ke mobil. Aku melangkahkan kaki, masuk ke rumah. Di ruang tamu, tampak Raisa tersenyum penuh kemenangan.
"Di mana Fahri?" tanyaku tanpa basa-basi.
Raisa langsung berdiri dan berkata, "Berani sekali kau memanggil nama Fahri di depanku? Kau pikir dia-"
"Cukup, Raisa! Kamu sudah berjanji tidak akan membuat keributan lagi. Pergilah, aku akan berbicara padanya." Fahri muncul dari atas. Kami saling bertatapan agak lama, dan pada akhirnya ia membuang pandangan terlebih dahulu.
"Duduklah." Ia berbicara tanpa melihat, dan langsung duduk. Dengan ragu aku mengikuti instruksinya, duduk di sofa yang ada di depannya.
"Katakanlah ada apa?"
Aku tersenyum tipis. "Aku hanya ingin berterima kasih padamu, karena beberapa waktu ini telah menampungku. Itu saja." Aku berdiri dan bersiap untuk pergi, meski terasa ada yang mengganjal di dada.
Selangkah, dua langkah, dan pada langkah ketiga kakiku spontan berhenti. Sebuah tangan melingkar di pinggangku. Aku memejamkan mata.
"Maafkan aku."
Kalimat itu yang terdengar di telingaku, sebelum kemudian pelukan itu lepas dan menghilang tanpa jejak. Aku kembali melanjutkan langkah, keluar dari rumah megah itu.
Sebelum masuk ke mobil, aku berbalik dan kembali menatap sekeliling rumah. Aku tak tahu apa yang spesial selama aku tinggal di situ. Bahkan aku jarang keluar kamar apalagi berkeliling. Tapi kenapa rasanya berat?
"Ayo!" ajak asisten yang belum kutahu siapa namanya.
Setelah masuk mobil dan memasang sabuk pengaman, mobil melaju dengan kecepatan sedang. Tatapanku tak berpindah dari jalanan.
Entah berapa lama kami ada di mobil, perutku bahkan mulai terasa mual. "Apa masih jauh?" tanyaku pada mereka.
"Sedikit lagi, Nona. Apa nona lapar?" tanyanya. Asisten itu bernama Vera, ia adalah orang yang dipekerjakan oleh Fahri khusus untukku, begitu pengakuannya.
Aku menghela napas panjang. "Tidak. Hanya sedikit mual."
"Apa Nona butuh sesuatu?" Ia kembali bertanya.
"Aku butuh tidur." Aku langsung memejamkan mata tanpa membiarkan ia bertanya lagi.
"Nona sangat beruntung, Tuan Fahri sangat mencintainya. Harusnya dia selalu bahagia."
Kalimat itu terdengar jelas di telingaku. Buru-buru kubuka mata dan menatap Vera tajam. "Apa maksudnya!?"
Mobil seketika berhenti dan membuat kepalaku hampir menabrak punggung kursi sopir. Vera tampak gelagapan dan menatap penjaga dan sopir secara bergantian.
"Tidak ada maksud apa-apa. Lanjutkan perjalanan!" Penjaga memberikan perintah pada sopir, dan mobil kembali melaju.
Aku menatap sang asisten dengan penuh selidik, ia tampak bergetar. Ia meremas ujung baju bawahnya. Seolah tak ada apa-apa, aku pun kembali menutup mata.
Suara Vera terdengar, aku membuka mata perlahan. Hari sudah gelap, mobil sudah terparkir cantik di depan sebuah rumah yang cukup bagus. Aku langsung turun dan memperhatikan sekeliling, tak banyak rumah di sana, terkesan sepi.
"Ini rumah siapa?" tanyaku pada Vera.
"Rumah Nona." Jawaban itu membuatku sedikit terkejut, tetapi tak kutampakkan karena langsung diajak masuk oleh penjaga.
Dalam rumah sangat menarik, mewah, lengkap semua peralatan. Meski tak bertingkat, rumah ini sepertinya sangat nyaman untuk ditempati. "Wow." Aku berdecak kagum saat melihat sebuah rak yang berisi banyak novel. Di sampingnya, ada sebuah meja yang di atasnya terletak laptop yang bermerek bagus.
Tatapanku terpaku pada sebuah foto yang dibingkai kaca. Terpampang wajah dan senyuman yang mungkin tak pernah lagi kutampakkan belakangan ini.
"Siapa yang buat ini?" tanyaku pada Vera.
Vera tampak bingung dan menatap penjaga yang berdiri di depan pintu. Lalu keduanya menggelengkan kepala.
"Tidak tahu, Nona. Kami hanya membawa dan menemani di sini. Kami tidak tahu siapa yang menyiapkan semua. Kalau saya menduga semua ini disiapkan oleh ... Tuan Fahri."
Tanganku berhenti bergerak. "Di mana tempat istirahat?" Vera menunjukkan letak kamar, dan aku pun segera mengikuti dari belakangnya.
"Apa Nona ingin makan sesuatu?" tanya Vera sesampainya kami di kamar.
"Boleh. Pesan apa aja, terserah."
Setelah Vera keluar, aku merebahkan badan di atas tempat tidur. Rasanya nyaman dan menenangkan.
"Nona, Tuan datang." Vera membuatku terkejut bukan main. Segera kusuruh ia pergi dan memberikan kode kalau aku akan tidur. Wanita itu tampak bingung awalnya, tetapi akhirnya ia keluar. Dengan pintu yang terbuka, suara orang berbicara di luar akan terdengar. Aku bisa mendengar jelas suara Vera yang menyatakan aku telah tertidur karena kelelahan.
Beberapa lama semua terasa sunyi. Aku menduga Fahri sudah pergi, dan aku pun membuka mata. "Aaaa!" Aku berteriak histeris saat melihat pria itu berdiri dengan tangan yang terlipat di dada.
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomanceRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...