Setelah pertemuan pertama, aku dan Putra kian mesra. Hampir setiap hari kami video call, kami juga kerap bertemu di tempat-tempat yang telah kami sepakati. Aku merasa nyaman setiap berada di sisinya, aku berharap dia pun merasakan hal yang sama.
Entah angin apa yang membawa Putra hari ini berkunjung ke rumahku. Aku sudah sering meminta dia datang, tetapi biasanya dia menolak hingga hari ini dia datang serasa tak percaya.
Aku mengajaknya masuk, seperti biasa hanya aku yang ada di rumah. Awalnya aku sedikit was-was, tetapi sikapnya lagi-lagi membuatku tak bisa berkutik.
"Kamu setiap hari sendirian di sini?" tanyanya saat aku kembali dari belakang membawa segelas kopi.
"Iya." Aku duduk di sampingnya setelah meletakkan minuman itu.
Dia hanya menganggukkan kepala dan mulai menghirup aroma kopi hangat yang terhidang. Dari caranya aku yakin, dia pencinta berat minuman hitam itu.
Pembicaraan kami mengalir begitu saja hingga tak terasa waktu hampir setengah hari. Ia minta izin ke kamar mandi, aku pun menunjukkan tempatnya.
Agak lama dia baru muncul, aku yang menunggu di ruang tamu sedikit resah. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menjalar dalam hatiku, hingga aku hendak menghampirinya. Belum sempat aku melangkah, dia telah datang dengan senyuman yang manis. Aku membalas senyuman itu dan kembali duduk di kursi.
"Aku pulang, ya. Ada urusan lagi soalnya." Dia mendekat dan mengusap kepalaku.
Aku menganggukkan kepala. "Iya, hati-hati di jalan."
Dia akhirnya pulang dengan motor ninja yang tadi dikendarai. Kami saling melambaikan tangan sebagai bentuk perpisahan. Aku bernyanyi kecil saat menutup pintu, aku mengusap kepala yang tadi disentuh. Senyumku melebar.
"Ah, aku benar-benar jatuh hati padanya." Seketika aku teringat hubungan kami yang belum ada ikatan, dia sama sekali belum ada mengajak berpacaran atau sejenisnya.
"Apa dia nggak mau pacaran, ya, tapi mau langsung nikah? Oh, so sweet ...." Aku memangku dagu dengan kedua telapak tangan.
Saat itu ponselku berdering, aku segera menghampiri benda pipih yang terletak di meja ruang tamu. Nomor tak dikenal, aku berdecak dan mematikan panggilan itu. Aku bersiap untuk mandi dan kembali ke rutinitas harian yakni menulis. Beberapa hari lagi, cerita yang tengah kugarap akan selesai.
Ting!
Sebuah pesan masuk. Aku menilik.
[Nanti malam kita dinner, yuk.]
Kalimat itu membuat aku terlonjak kegirangan. Putra mengajakku dinner, apa itu tandanya ada spesial malam ini? Aku langsung membalas pesan itu, menyetujui diikuti emot love.
***
Malam Minggu begitu spesial bagi beberapa orang, termasuk aku di dalamnya. Aku telah berdandan sebelum matahari tenggelam. Baju yang kini kukenakan butuh waktu hampir dua jam memilihnya. Dress biru muda selutut membuat aku tak henti-henti menatap diri di depan cermin besar. Aku memutar-mutar tubuh, dan mengembangkan senyuman manis.Pipi kupoles dengan riasan sederhana, aku mengenakan lipstik merah muda dan sedikit pewarna pipi. "Sempurna!"
Pukul 19.00, aku keluar rumah--menunggu Putra menjemput. Jam segini, kedua orang tuaku masih sibuk dengan karir masing-masing. Biasanya mereka kembali di atas pukul sepuluh malam. Jadi, tak ada masalah jika aku pergi ke mana saja.
Tak lama kemudian terdengar bunyi motor mendekat, aku bisa menebak itu motor Putra. Benar saja, dia mengenakan jeans hitam dengan jaket kulit dan helm full face. Ditampakkan sedikit wajahnya dan memintaku segera duduk di belakangnya.
Motor melaju dengan kecepatan sedang, angin malam terasa begitu menusuk sampai ke tulang. Aku berdecak dalam hati, bisa-bisanya lupa membawa jaket padahal jelas-jelas tahu kami jalan malam.
"Kamu kedinginan?" Suara Putra terdengar kecil. Aku tak menyahut, karena rasanya akan percuma.
"Peluk yang erat." Aku sedikit terkejut saat lelaki itu menarik tanganku melingkar ke perutnya.
Aku tak berkata-kata, hanya mengikuti gerakan dan kata hatiku. Rasanya nyaman jika terus ada di sisinya. Aku menyandarkan wajah di pundaknya dan tersenyum. "Makasih."
Perjalanan kami hampir setengah jam saat Putra menghentikan motornya. Kami berada di depan sebuah hotel yang terkesan elegan. Aku yang masih meringkuk di belakang Putra kaget saat dia menepuk pahaku.
"Ayo, turun," katanya sambil membuka helm.
"Kita mau ngapain, sih?" tanyaku dengan pandangan mengedar ke sekeliling.
"Ikut aja."
Aku pun turun mengikuti perintahnya. Setelah itu, dia menggandeng tanganku masuk ke hotel tersebut. Aku benar-benar bingung dan tak paham apa yang akan dilakukan di tempat seperti itu. Setahuku, hotel tempat menginap. Lagi-lagi aku hanya dia di belakang saat dia berbicara pada resepsionis.
Wanita yang tengah berbicara dengan resepsionis itu menatapku sebentar, kemudian tersenyum. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. Tak lama kemudian, Putra mengajakku ke lantai atas sambil menunjukkan nomor kamar. Rasa khawatir mulai merasuk, aku menggelengkan kepala.
"Jangan khawatir, kita cuma menghadiri acara ulang tahun temanku. Nanti kita cepat pulang."
Oh, ternyata menghadiri ulang tahun. Aku mengulum bibir, menahan malu diri sendiri. Pikiranku sudah lari ke mana-mana dari tadi. Aku pun mengikuti langkah kakinya menuju lift.
Setibanya di lantai tiga Putra masih menggandeng tanganku. Ia membuka pintu sebuah kamar dan memintaku untuk menunggu sebentar. Dia keluar lagi.
Hampir setengah jam aku menunggu, Putra tak kunjung kembali. Aku mondar-mandir seperti orang gila di tempat itu. Hingga derit pintu membuatku langsung menoleh.
"Putra?"
Namun, bukan Putra yang muncul. Seorang pria dengan bobot lumayan besar tersenyum. Aku mundur beberapa langkah, tubuhku bergetar hebat. "Siapa kamu? Kenapa bisa masuk ke sini!?" Aku berteriak.
Pria itu menyeringai kasar. "Hei, cantikku. Uangku sudah banyak habis untukmu, kenapa masih bertanya siapa aku?" Dia semakin dekat.
Aku menggelengkan kepala. "Aku nggak ngerti maksudnya apa!"
Pria itu membuang napas kasar. "Biar aku jelaskan, Sayang. Aku sudah membelimu darinya dengan harga sangat mahal untuk malam ini. Jadi, mari bersenang-senang."
"Membeliku? Apa maksudnya? Dari siapa kau membeliku? Kau pikir aku ini barang jualan!?" Napasku memburu.
"Banyak cakap!"
Aku tak bisa bergerak saat dia merengkuh, ia mencium sekujur badanku. Tangis dan marah bersatu dalam diri ini. Aku benar-benar hancur malam itu, lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Tubuhku dihempas ke tempat tidur, ditindih dan digerayangi. Aku masih berusaha melawan, tetapi tamparan keras menimpa pipiku. Rambutku dijambak, rasanya rambutku akan lepas semua.
"Putra bajingan!" Kalimat itu ingin kukeluarkan sekuat tenagaku, tetapi mulut tak bisa mengeluarkannya karena telah diserang oleh pria biadab yang tak kukenal.
Aku bisa merasakan cairan mengalir dari ujung bibirku, rasa perih kian terasa di sana. Aku tak tahu bagaimana kondisi ragaku saat ini, mataku tertutup rapat dengan air mata mengalir deras.
Inikah akhir dari hidupku? Kehidupan yang jauh bahkan dari mimpi burukku. Dalam dunia ini, apa aku satu-satunya manusia bodoh yang dengan mudahnya diberdaya oleh manusia-manusia yang tak punya kemanusiaan?
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomanceRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...