Bab 3. Bermalam

133 15 0
                                    

Perlahan aku membuka mata. Cahaya lampu membuat pandanganku menyipit. Aku melihat sekeliling, tak ada siapa-siapa. Ponsel adalah benda pertama yang kucari. Aku menemukan benda pipih itu terletak di atas meja samping tempat tidur. Sudah pukul 23.00, aku terlonjak kaget.

"Aku di mana ini?"

Suara pintu terbuka, Putra muncul dengan tangan yang membawa bingkisan. "Udah bangun?"

"Di mana ini!?" tanyaku tak sabaran.

"Hei, tadi kamu pingsan. Aku nggak tau mau bawa kamu ke mana, makanya kubawa ke sini. Ini apartemenku."

"Aku mau pulang." Aku menyibak selimut dan jantungku hampir saja lepas dari tempatnya. "Aaaaaaaa!"

"Hei, hei." Mulutku dibungkam. Tubuhku kian gemetar saat melihat tatapan tajam dari lelaki itu.

"Aku nggak ngapa-ngapain kamu. Semua pakaian kamu basah, daripada kamu sakit makanya aku lepas." Dia berkata seolah-olah tak bersalah.

Aku mulai terisak membayangkan tatapan jahat saat ia melepaskan seluruh pakaianku.

"Aku nggak ngapa-ngapain kamu. Itu tadi aku bawakan baju, kamu pakailah." Putra bangkit dan keluar dari kamar itu. Aku langsung menyambar bingkisan itu dan melihat isinya. Ada baju tidur, kurasa itu pas pada tubuhku.

Beberapa menit setelah mengenakan pakaian aku memberanikan diri keluar kamar. Aku tak melihat Putra, tetapi suara televisi cukup membantu untuk menemukannya. Kulihat dia duduk dengan serius menonton.

Aku mendeham untuk menarik perhatiannya. Dia menoleh sekilas dan kembali fokus menonton. Aku mengulangi dehaman beberapa kali, hingga ia benar-benar melihatku.

"Ada apa?" Pertanyaannya terdengar ketus, membuat hatiku perih.

"Em, a-aku la-lapar." Dengan suara terbata-bata, aku menundukkan kepala.

Terdengar derap kaki menjauh, aku menaikkan pandangan. Putra pergi ke arah belakang, tanpa membuang waktu aku mengikutinya. Putra tampak memecahkan telur dan menghidupkan kompor. Aku tak berkata-kata lagi.

Tak lama kemudian, lelaki itu menyodorkan sepiring nasi dengan telur ceplok di atasnya. Hanya itu. Namun, karena perutku sangat lapar aku pun menyantapnya daripada pingsan lagi. Putra kembali ke tempat tadi setelah aku menyantap makanan itu.

Setelah selesai makan, aku menghampiri Putra kembali. Dia sama sekali tak berbicara padaku. Apakah dia marah? Aku merasa tak nyaman dengan situasi ini. Tanpa pikir panjang, aku duduk di kursi sampingnya. Dia tak terganggu, tetap fokus ke televisi.

"Kamu marah kah?" tanyaku dengan hati-hati.

Tak ada sahutan membuatku tak lagi berani mengeluarkan suara. Ponsel yang sedari tadi di genggamanku kini berdering. Ayah. Aku menelan saliva dengan paksa. Dengan gerakan pelan aku berdiri dan menjauh dari lelaki itu dan menjawab panggilan. Aku berdiri di dekat kaca kamar.

"Halo, Ayah." Suaraku seperti tertelan oleh angin malam.

"Di mana kamu, ha!? Ini jam berapa? Berani-beraninya kamu bawa motor ayah tanpa izin! Bagaimana kalau rusak!?" Teriakan itu sontak membuatku menjauhkan ponsel dari telinga. Bukannya mencemaskan keadaan anaknya, malah mengkhawatirkan motornya.

Aku kembali mendekatkan ponsel ke telinga. Suara gaduh di seberang kian menjadi-jadi. Kudengar suara ibu menyahut, yang juga mengomeliku yang tidak memasak untuk makan malam. Aku membuang napas panjang dan menekan tombol merah. Air mata tak lagi bisa kubendung. Rasanya sakit sekali.

"Kamu gak apa-apa?" Sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku spontan menyeka kedua sudut mataku.

"Nggak apa-apa."

Putra memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Ia merengkuh dengan lembut, di sana aku merasakan kehangatan yang jarang sekali kudapatkan.

"Istirahatlah." Putra menuntunku ke tempat tidur. Putra mengambil tempat di sampingku, meski sedikit takut dia melakukan sesuatu aku mencoba tetap tenang.

Hujan kembali turun, terlihat dari kaca yang masih terbuka. Putra bangkit dan menarik gorden untuk menutupi kaca. "Tidurlah. Aku akan menjagamu."

Jantungku lagi-lagi bergetar. Apalagi Putra memadamkan lampu, dan dia merebahkan badan di sampingku. Aku mencoba berbalik badan, tetapi tangan kekar itu menahan. "Biar gini aja." Dia menarikku kian dekat dengannya.

Awalnya tak terjadi apa-apa, hingga aku merasakan benda kenyal menempel pada bibirku. Sontak aku menolak dan mendorongnya menjauh. Dia menarik diri sedikit.

"Tidurlah," katanya lagi.

Biarpun mati lampu, wajahnya masih bisa kulihat dari terpaan cahaya luar kamar. Matanya terpejam rapat. Aku menatap setiap inci wajahnya, dan terhenti pada bibir yang malah membuatku ingin mencicipinya. Aku mendekatkan bibir hingga saling bersentuhan. Ternyata cara itu sangat efektif membuatnya terbangun dan langsung menyerang penuh nafsu. Segala hal yang belum pernah kubayangkan pun terjadi. Deru napas jadi hiasan di malam itu.

***

"Bagaimana motorku?" Pertanyaan pertama yang keluar dari bibir ayah saat melihatku tiba. Aku memutar bola mata dengan malas dan masuk ke rumah. Hari ini Sabtu, ayah tak pergi ke kantor, sedangkan ibu tak ada waktu untuk berhenti.

Aku menjatuhkan badan di atas tempat tidur, sejenak aku mencium badanku sendiri. Aroma Putra masih melekat. Aku bergegas bangkit dan membersihkan diri. Aku berusaha tak mengingat apa pun tentang kejadian tadi malam. Saat bangun tadi pagi, aku langsung melarikan diri dari apartemen itu.

Aku berendam di kamar mandi. Beberapa terdengar teriakan masuk ke kamarku. Ayah mengomel tentang motornya, aku tak peduli. Mataku terpejam rapat, napasku menderu sebagaimana biasanya.

Aku membuka mata setelah sekian lama. Tubuhku terasa lebih baik sekarang, aku pun menyelesaikan ritual mandi.

Aku membuka gorden kamar, sehingga sinar pagi masuk menghias ruangan itu. Aku berdiri di depan kaca dan tersenyum menatap diri sendiri. "Semangat pagi." Kalimat yang biasa kulontarkan untuk diri sendiri.

Dengan rambut yang masih terbungkus handuk, aku menghidupkan laptop. Kemarin tak ada tulisan sama sekali, hari ini aku harus double update. Jemariku mulai menari-nari di atas keyboard, kala pagi ideku biasanya lebih mengalir. Sehingga tak khawatir untuk menulis dua ribu kata di waktu satu jam.

Saat asyik mengetik, ponselku berdenting. Aku tahu itu notifikasi WhatsApp. Tak kugubris, karena kalau sampai terkecoh, ide yang ada di kepalaku akan menghilang seketika. Denting demi dentingan terdengar, fokusku mulai terganggu. Aku pun bangkit dan mengambil benda itu dari atas meja. Rentetan pesan dari Putra yang menanyakan keberadaanku saat ini.

Aku hanya membaca tanpa ada niat membalasnya. Hingga panggilan video call dari lelaki itu yang membuatku tak bisa berkutik. Aku menjawab panggilan dengan camera belakang. Jadi yang dilihat hanyalah laptop dan tempat tidur.

"Kamu udah di rumah? Kenapa nggak kasih tahu kalau kamu pulang?" Suaranya terdengar serak, tubuhnya saja masih digulung selimut.

"Kamu tidurnya nyenyak banget, aku nggak enak buat bangunin." Jawaban yang kubuat-buat.

"Oh gitu. Kamu kenapa nggak liatin muka kamu, sih, aku kan kangen."

Aku menggigit bibir bawahku. Gara-gara kejadian tadi malam, aku jadi tak berani menampakkan wajah padanya.

"Halo, Sal? Kok diam?"

"Aku belum mandi," jawabku cepat lalu memutuskan panggilan.

***

To be continue ...

Hirap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang