Ibu menghampiriku di teras. Aku masih melambaikan tangan, melepas kepulangan teman-teman. Setelah mobil mereka semua tak tampak lagi, aku bergegas masuk. Ibu menahan tanganku. Mau tak mau aku berbalik untuk melihatnya.
"Kamu benar-benar nggak ngambil uang dari-"
"Aku bilang tidak ya tidak. Aku harus buktikan dengan cara apa?" Tatapanku kupaksa untuk tetap datar, aku tak mau menunjukkan kehancuran di depannya.
"Aku hanya penasaran, siapa yang berani masuk rumah tanpa izinku." Omelan panjang kian menjadi-jadi. Ibu melenggang pergi ke belakang rumah.
"Siapa yang masuk ke sini sebelumnya?" Aku berbicara pelan dan sontak teringat, Putra satu-satunya orang yang masuk waktu itu. Apa itu berarti dia pencurinya?
"Nggak, nggak." Aku menahan napas. Aku tak percaya dengan pikiranku. Gegas aku berjalan ke kamar untuk beristirahat tanpa menghiraukan kata-kata ibu lagi.
Baru juga memejamkan mata, bayangan tentang kejadian buruk yang kualami beberapa hari lalu muncul kembali. Keringat dingin mengucur di seluruh badan, jantungku berdebar hebat. Sontak aku duduk. Ketakutan lagi-lagi menghampiri, aku menarik selimut dan memeluk lutut.
Air mataku terus mengalir, mataku terpejam dengan wajah yang kusembunyikan di atas lutut. Semakin aku mencoba meredam rasa sakit, semakin ngilu.
"Aku bisa menahan semua rasa sakit ini. Aku bisa, pasti." Aku mengangkat kepala, turun dari tempat tidur. Aku menuju cermin yang tak jelas lagi bentuknya, pecahan ada di mana-mana. Sampai saat ini aku belum berniat membereskan kamar.
Aku keluar kamar dengan langkah gontai, berniat mengambil air minum dari dapur. Namun, belum sempat tiba di tujuan, langkahku terhenti mendengar teriakan ibu dari dalam kamar. Mereka bertengkar lagi.
Aku bergeming, telingaku panas mendengar perkataan mereka. Sayup-sayup suara gaduh mereka mendekat. Benar, mereka berdebat sambil berjalan.
"Pokoknya aku gak mau tahu, Mas yang harus bayar semuanya!"
Dari kalimat itu, aku sudah paham apa masalah mereka. Apalagi kalau bukan uang, uang dan selalu uang. Mereka berhenti saat melihatku berdiri, keduanya saling memandang sesaat sebelum kemudian melanjutkan perdebatan.
"Stop!" Aku berteriak dengan sisa tenaga. Mereka terdiam dan menatapku. Aku langsung menangis.
"Kenapa kalian nggak pernah sedikitpun mengerti aku? Kenapa kalian selalu saja seperti ini? Apa kalian pernah berpikir, kalau kalian punya anak? Aku ini sebenarnya kalian anggap apa?" Tubuhku lemas, terduduk di lantai. Tak satu pun di antara mereka yang bergerak.
"Setiap hari aku memanggil kalian ayah dan ibu, tapi tak sedikit pun kalian menganggap aku sebagai anak." Aku menyeka air mata. "Kalau kalian bukan orang tuaku, kembalikan saja aku pada ibu dan bapakku yang sebenarnya!"
"Bodoh!" Ayah berjalan ke arahku. Napasnya tampak memburu. Aku menyangka ia datang untuk membantu berdiri, sayang seribu sayang itu hanyalah halusinasi. Tamparan kasar mendarat di pipiku. Lagi, ini yang kudapatkan.
"Buang-buang waktu saja!" Ibu melenggang pergi dari tempat itu. Begitu pun pria yang baru saja menamparku.
Aku tersenyum, rasa sakit ini tak ada bandingnya sakit hatiku. Dengan susah payah aku berdiri, melangkah dengan kaki yang bergetar.
Kakiku terus saja melangkah. Aku tak tahu sekarang jam berapa, yang kulihat hanya kegelapan. Aku berjalan menuju tempat yang ramai kendaraan dengan kepala tertunduk dan mata banjir air mata.
Klakson kendaraan saling bersahutan, bahkan beberapa di antara pengendara berteriak kencang. Aku mendengar semua perkataan mereka, tetapi kaki ini benar-benar tak bisa berhenti melangkah.
"Hei, Bodoh!"
Tubuhku terdorong keras ke pinggir jalan bersamaan dengan teriakan itu. Kepalaku terasa berat, pandangan mulai kabur. Aku merasakan sakit di punggung dan kakiku, mungkin karena hempasan di batu.
"Kalau kau ingin mati, matilah di tempat lain. Jangan di depan mobil saya. Masih ada hal penting yang perlu saya urus dan selesaikan!" Bayangan itu menjauh dariku. Aku tak mengingat penampilannya bagaimana, yang jelas telingaku menangkap ucapannya.
"Apa kamu baik-baik saja, Nak?" Suara lemah seorang wanita masuk ke telingaku. Dengan perlahan aku kembali membuka mata, pandanganku lebih jernih daripada tadi.
Aku hanya menyunggingkan senyum kecil dan menggerakkan badan untuk duduk. "Aku nggak apa-apa." Aku mencoba berdiri, tetapi sakit punggungku bagaikan mendorong untuk tetap di tempat. Alhasil, aku terhuyung kembali ke pinggir jalan .
"Hati-hati!" Wanita itu menuntunku berdiri.
Namun, belum sempat berdiri kepalaku terasa diputar-putar. Tak bisa tertahan, tubuhku terjatuh dan tak ingat lagi setelah itu.
***
Aku membuka mata secara perlahan. Aroma obat-obatan membuatku langsung tahu di mana keberadaan sekarang. Aku mencoba untuk duduk."Kamu udah sadar, Nak?" Wanita itu, aku ingat. Ia yang membantuku di jalan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, ada jam dinding yang kini menunjuk ke angka delapan. Itu tandanya sudah pagi hari.
"Aku-"
"Kamu di rumah sakit sekarang." Wanita itu tersenyum dan menggenggam tanganku. "Kamu masih lemah. Harusnya wanita hamil itu istirahat di rumah, biar janinnya aman. Selamat ya, sebentar lagi kamu akan jadi ibu."
"Apa?" Mataku menyipit, antara percaya dan tidak.
"Iya, kamu hamil, Nak. Pasti suami kamu senang banget." Senyumnya tak henti-henti berkembang.
Aku terdiam, pikiranku semakin tak tentu.
"Kamu nggak senang? Semua pasangan suami-istri itu paling bahagia kalau akan mendapatkan keturunan. Karena anak itu harta yang paling berharga ba-"
"Maaf, bisa kah ibu keluar saja. Aku ingin istirahat dengan tenang." Aku memotong pembicaraan wanita itu, lalu kembali merebahkan badan. Tak lupa pula aku menarik selimut dan memalingkan wajah ke arah berlawanan dengan wanita itu. Diam-diam air mataku lagi-lagi menetes.
"Baik, istirahatlah. Aku akan cari makanan." Terdengar derit kursi dan pintu tertutup. Isakan mulai terdengar dari bibirku, mataku sangat panas.
"Apa yang harus kulakukan?"
Beberapa menit kemudian, pintu kembali berderit. Aku kembali memalingkan wajah. Derap kaki mendekat.
"Bu, saya periksa dulu, ya."
Aku memutar kepala, ternyata dokter yang datang, diikuti asistennya. Aku tersenyum kecil dan mengangguk kepala. Suasana kembali hening.
"Kandungan ibu masih muda, rawan terjadi hal-hal buruk. Ibu harus banyak istirahat, makan teratur dan bergizi. Nggak boleh capek dan ... butuh perhatian banyak dari suami dan keluarga." Dokter itu tersenyum.
"Dokter," ucapku pelan.
Dokter itu menganggukkan kepala. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Buk?"
Aku menarik tangannya dan menggenggam erat. "Tolong gugurkan kandungan saya."
Sontak tanganku dilepaskan. Wajah dokter itu tampak kaget, tetapi detik kemudian ia kembali tersenyum. "Ibu harus istirahat." Ia kemudian berbalik dan keluar dari ruangan itu.
Aku membuang napas kasar dan menatap pintu yang telah ditutup rapat. "Bagaimana ini?" Aku melepaskan infus dari tangan secara paksa. Rasanya sakit, ditambah darah yang juga turut keluar. Aku membiarkannya begitu saja, dan mulai melangkahkan kaki keluar dari tempat itu.
Namun, baru saja aku menutup pintu, wanita yang tadi menemaniku muncul dari seberang. Kami saling bertatap sejenak, sebelum kemudian aku melarikan diri. Masih sempat kudengar ia berteriak.
"Tolong, anakku kabur!"
Entah anak apa yang ia maksud.
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomanceRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...