"Aku hamil." Satu kalimat pertama yang kulontarkan saat tiba di rumah. Bisik-bisik mulai terdengar dari kumpulan wanita yang tengah duduk di ruangan tamu. Aku tak peduli ada acara apa di sana, biarkan aku meluapkan semua hari ini. Ibu memandangku dengan ekspresi yang sama sekali tak kupahami. Dengan kasar, ditariknya lenganku ke belakang.
"Maksud kamu apa, ha!?" Suara ibu terdengar menusuk sampai ke ubun-ubun. Orang yang di depan juga pasti dengar. Kenapa dibawa ke belakang, jika tetap diketahui orang lain?
Aku menoleh ke belakang, bisa kulihat bayangkan wanita-wanita itu tengah mengintai kami. Aku juga bisa mendengar bisikan yang bisa kutebak apa isinya. Ibu mengentakkan tanganku, terasa sakit bagian lengan karena dicekal kencang.
"Kenapa diam aja, ha!? Apa-"
Aku tersenyum dan memotong pembicaraan ibu. "Apa salahku, Ibu? Aku akan jadi wanita yang sama kayak ibu."
"Kurang ajar!" Tamparan kasar yang kudapatkan pada pipi kananku, terasa perih.
"Kenapa ibu marah? Ibu nggak suka aku kayak ibu? Ibu nggak suka punya cucu?" Aku mencoba tetap bertahan di pondasi tempat berpijak, meski raga ini sudah ingin jatuh ke dasar yang paling dalam.
"Siapa ayah dari anak yang kau kandung itu!? Katakan, cepat!" Tangan ibu benar-benar aktif, kini telah beralih ke rambutku. Dijambak.
"Aku nggak tau, Bu. Nggak kenal siapa dia. Ibu mau tahu ceritanya? Akan kuceritakan, Bu. Yang cuma ibu lakukan, percaya padaku, Bu. Aku tidak melakukan kesalahan. Lelaki itu ... lelaki itu yang nggak punya kemanusiaan."
Plak! Plak!
Tamparan bertubi-tubi menghantam, tubuhku hampir terhuyung ke belakang. Aku tak melawan, terdiam dengan ekspresi yang tak bisa kubayangkan. Rasanya aku tak punya kekuatan untuk melawan ataupun pergi dari tempat itu.
"Ibu-"
"Diam!" Ini mengangkat tangannya lagi, mungkin berencana menampar lagi. Aku memejamkan mata, bersiap menerima.
"Ada apa ini?" Suara ayah mengentak kami, ia masih menenteng tas kerjanya.
Aku membuka mata, kulirik arah tempat teman-teman ibu mengintip tadi, tak ada lagi mereka di sana. Aku menatap ayah dengan tatapan memelas. Berharap ia memberikan belas kasih yang bisa menenangkan hati, meski aku ragu bisa mendapatkan hal itu.
"Aya-"
"Liat titisan kamu ini! Dia hamil anak haram dan gak tahu siapa ayahnya!" Ibu memotong perkataanku, ia berkata sembari memukul lenganku. Aku tak lagi berkata-kata. Tatapan ayah beralih padaku, aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Setelahnya ibu berlalu ke ruangan depan.
Aku bergeming. Aku bisa melihat perubahan tatapan dari pria yang kini berdiri di hadapanku itu. Ia tak bersuara, hanya netranya yang tak berkedip hingga beberapa menit.
"Ayah," ucapku pelan. Aku mencoba bergerak meraih tangannya, tetapi langsung ditepis kasar. Aku menatap tanganku sendiri lalu menatap tangannya.
"Ayah ingat, waktu kecil tangan ini sering digandeng tangan itu. Aku bisa merasakan kedamaian di sana. Hari ini apa aku bisa mendapatkan kedamaian itu lagi? Ayah ... apa ayah tahu kalau hari-hariku sekarang udah nggak sama lagi seperti dulu. Ayah, aku-"
Pria itu melenggang pergi tanpa menghiraukan kata-kata yang keluar dari bibirku yang bergetar. Semua memang tak sama lagi, masa kecil adalah masa indah, sedangkan masa remaja dan dewasa bagaikan neraka bagiku.
Aku menggelengkan kepala dan menyeka air mata. Kakiku yang bergetar kulangkahkan ke arah tangga. Kutatap tangga satu persatu dan mulai naik. Aku bersenandung kecil.
Di saat aku kecil kau menjagaku
Di saat aku besar kau menuntunku
Di saat aku letih kau membuaiku
Saat aku tak mengerti kau mengajariku hidup
Ibu terima kasih
Doa dan cinta menjadikan cahaya hidup
Ayah terima kasih
Kau beri aku sayap kecil untuk melangkahDi saat aku bahagia kau pun bahagia
Di saat aku sedih kau menjagaku
Di saat aku jatuh kau membawaku
Bila aku pun besar ku ingin ku yang menjagamuIbu terima kasih
Doa dan cinta menjadikan cahaya hidup
Ayah terima kasih
Kau beri aku sayap kecil untuk melangkahIbu terima kasih
Doa dan cinta menjadikan cahaya hidup
Ayah terima kasih
Kau beri aku sayap kecil untuk melangkah*
**
Para tamu belum juga berpulangan padahal sudah pukul sembilan malam. Entah mereka berbincang atau apa, aku tak tahu. Setelah kejadian tadi sore, aku mengurung diri di kamar. Ayah pun sama sekali tak mengatakan apa-apa.Aku memberanikan diri turun. Namun, baru saja di tangga ke tiga seorang wanita yang pastinya teman ibu datang menghampiri. Senyumnya lebar.
"Salsa, kamu mau nggak nikah sama Om aku? Dia kaya loh, dijamin hidup kamu pasti bahagia."
Aku menoleh padanya, kutatap dengan sinis dan kutinggalkan. Ia tak tinggal diam, gerakannya lebih ligat menghentikan langkahku. Aku yang mulai risi pun berkata, "Saya nggak mau dan nggak sudi!"
Langkahnya terhenti. Aku melanjutkan langkah.
"Dasar cewek gampangan!"
Jleb!
Dadaku terasa ditusuk belati. Sontak aku berbalik dan menatapnya nyalang. Aku maju beberapa langkah, ia membalas dengan senyuman sinis. Aku mengangkat tangan dan langsung menjambak rambutnya dengan sangat kasar. Ia kaget dan berteriak histeris. Aku tak peduli, semakin berteriak semakin kukencangkan tarikanku.
"Salsa!"
Tak kuhiraukan suara ibu yang seperti petir. Tak lama kemudian, tubuhku ditarik oleh beberapa orang. Tanganku lepas dari rambut wanita itu, rambutnya berserakan di lantai.
"Kurang ajar!" Ia masih berniat membalas, tetapi ditahan oleh teman-temannya.
Seluruh tamu pun pulang setelah kejadian itu, aku terduduk lemas di lantai. Derai air mata tak dapat lagi tertahan. Aku mendengar derap kaki bersahut-sahutan mendekat. Itu pasti ibu dan ayah. Kepalaku terasa perih, rambutku kembali jadi sasaran.
"Memalukan!" Kali ini ayah yang menariknya. Aku tak lagi bereaksi, terdiam dengan mata yang terus mengeluarkan cairan bening.
"Kurung dia di gudang, Mas!"
Instruksi itu membuatku sedikit menoleh. Tanganku ditarik kasar, tubuh ini terseret. Mereka membawaku ke kamar belakang, yang telah lama tak digunakan. Tubuhku seperti barang yang tak dipakai, langsung disungkurkan di tempat gelap itu.
Lampu dihidupkan, aku menatap ke atas. Cahaya yang tak seberapa, tetapi lebih baik daripada tak ada sama sekali. Ayah keluar lebih dulu, ibu masih berdiri dengan tangan yang dilipat di depan dada.
"Ibu .... " Suaraku terdengar lirih.
Ibu menatapku dengan mata menyipit. Ia menurunkan tangan dan menunjuk pada wajahku. "Jangan memanggilku ibu, kau menjijikkan!" Setelah itu ia mematikan lampu lagi dan langkahnya menuju pintu keluar. Pintu ditutup dengan kasar.
Aku mencoba bangkit, tetapi tak berdaya. Tubuhku begitu lemah. "Ibu, tolong. Ayah ... aku mau keluar."
Tak ada sahutan dari luar. Aku merosot ke arah pintu secara perlahan. Beberapa menit barulah aku berhasil meraih gagang pintu yang tak terlalu tinggi. Kuputar, tak bisa. Mereka mengunciku di tempat gelap ini. "Ibu, ayah, buka pintunya!" Aku mengeluarkan suara sekuat tenaga. Namun, rasanya sia-sia.
"Tolong ... tolong ...." Tubuhku ambruk di lantai karena kelelahan.
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomanceRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...