Bab 2. Pertemuan

111 16 0
                                    

Aku bernyanyi kecil saat keluar kamar. Jam segini, ibu dan ayah sudah berangkat kerja. Sesuai rencana, hari ini aku akan ke tempat Putra setelah tiga hari saling komunikasi. Aku juga bosan di rumah, sekalian refreshing.

Senyumku tak henti-hentinya terbentuk di setiap gerakan. Saat aku makan, mandi dan bahkan saat merias diri yang hampir satu jam lebih. Aku mengenakan kaos putih lengan pendek dengan gambar bunga di bagian depan, sedangkan bawahan aku mengenakan jeans berwarna biru muda. Tak ketinggalan jaket denim berwarna senada dengan celanaku, juga tas samping kecil berwarna hitam.

Setelah mengunci pintu, sesaat aku melihat ponselku. Tampak pesan Putra yang telah mengirimkan titik pertemuan kami. Aku mengendarai motor matic milik ayahku.

Selama perjalanan aku senyam-senyum, membayangkan pertemuan dengan lelaki itu. Kemarin kami saling berkirim foto, wajahnya manis. Dia punya tahi lalat di pipi kanannya.

Setengah jam berlalu, aku pun tiba di sebuah rumah makan sederhana. Tampak ramai di dalamnya. Aku menilik ponsel dan mengirimkan pesan pada Putra, memberitahukan kalau aku udah di depan. Tak lama kemudian, seorang lelaki muncul dan celingak-celinguk.

"Salsa?" sapanya diiringi senyuman.

Aku terdiam sejenak, aslinya lebih tampan daripada di foto. Dia mendekat dan mengulurkan tangan. "Aku Putra."

Aku tersentak dan membalas uluran tangannya dengan malu-malu. Tangannya tak langsung dilepas, dia menggenggam tanganku dan menarik masuk ke rumah makan.

"Kita makan dulu, ya."

Aku hanya mengikut dan duduk di kursi yang dia persilakan. Dia juga memanggil pelayan dan mulai memilih makanan dan minuman.

"Kamu pesan apa?"

Aku tak bisa banyak berpikir dan spontan menjawab, "Samakan aja."

Dia mengangguk dan berbicara lagi pada pelayan. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, hampir tiap meja isinya berpasangan. Aku jadi berpikir, rumah makan ini khusus untuk pasangan.

"Lagi mikirin apa?" Sebuah tangan menyentuh pipi kiriku. Sontak aku menoleh dan tersipu malu. Kurasa pipiku sudah merah seperti kepiting rebus. Lelaki itu tersenyum dan mengalihkan pandangan ke depan pintu.

"Ini rumah makan favorit aku dari dulu. Di sini biasanya hanya pasangan kekasih atau suami istri. Jarang ada rombongan." Dia seolah paham pikiranku tadi dan menjelaskan tentang rumah makan itu.

"Kamu sering ke sini?" tanyaku sambil menatapnya.

"Ya gitu, deh."

"Sama pacar?" Di balik pertanyaan itu sebenarnya ada rasa cemburu di dada.

Dia terkekeh dan mengangkat kedua bahunya. Aku hanya mengangguk paham dengan gerakannya.

Setelah pembicaraan itu, kami terdiam sejenak hingga akhirnya pelayan memecah keheningan di antara kami berdua. Perutku yang sudah keroncongan tak membuang-buang waktu, langsung menyantap dengan lahap. Putra juga tampak sangat menikmati hidangan itu, atau mungkin telah terbiasa dengan masakan di situ.

Entah disebut makan apa kami saat ini, karena waktu masih menunjuk ke pukul 11.10, sarapan sudah terlambat, makan siang belum dapat. Namun, semua terasa nikmat.

"Ayo." Putra membantuku berdiri setelah dia kembali dari kasir. Kami berjalan beriringan dengan tangan yang saling menggenggam.

Aku merasakan getaran-getaran yang aneh dalam dada ini. Dia menuntunku berjalan hingga parkiran, sesaat kami berhenti. Dia menatapku.

"Kamu tadi naik apa?" tanyanya.

Aku menoleh ke kanan-kiri. "Motor," sahutku.

"Aku yang bawa, ya." Dia mengulurkan tangan, meminta kunci motor. Aku segera memberikannya.

"Yang mana?"

Aku menunjuk pada motor yang tadi kukendarai.

Putra mulai menghidupkan mesin dan memundurkannya. Tukang parkir menghampiri, aku merogoh kantong tas kecilku dan menyerahkan uang dua ribuan.

Kini aku duduk berboncengan dengan Putra. Motor melaju dengan santai, aku meregangkan tangan, menikmati angin yang berembus. Tiba-tiba Putra menarik tanganku melingkarkan di pinggangnya. Dadaku bergemuruh kencang, pipiku lagi-lagi memanas.

"Gini lebih nyaman." Suara Putra terdengar sayup-sayup karena kendaraan lain ikut menyahut.

Hampir setengah jam kami berada di atas motor. Sang mentari sudah berada di atas kepala saat Putra menghentikan motor di sebuah taman yang dipenuhi dengan berbagai bunga indah. Aku berdecak kagum dan langsung berlari menghampiri kumpulan bunga mawar merah.

"Cantiknya!" seruku lantang.

"Cantik kayak kamu." Terasa Putra mengelus puncak kepalaku. Senyumku kian mengembang.

"Bisa aja gombalnya." Aku berjalan ke arah bunga melati dan menghirupnya dengan nikmat.

Hari ini benar-benar terasa menyenangkan. Sejenak aku merasa baru terbebas dari jeruji besi, menghirup udara segar setelah sekian lama mendekam di kamar. Aku merentangkan tangan memejamkan mata dan menikmati suasana.

Aku terlonjak kaget saat sebuah tangan melingkar di perutku. Jantungku memacu secara luar biasa dengan cepat. Aku kembali memejamkan mata yang sempat kubuka dan menikmati pelukan itu.

Sesaat aku tersadar dan melepaskan tangannya dari tubuhku. Aku tak berkata-kata, pergi begitu saja meninggalkannya yang juga terdiam dengan tatapan yang tak bisa kutebak. Aku tak menyangka dia mengejar. Kami jadi saling mengejar dan tertawa terbahak-bahak.

Jujur aku merasa aneh, baru kali ini pertemuan pertama bisa membuatku langsung begitu dekat dengan orang. Biasanya aku kebanyakan diam jika baru pertama berjumpa.

Dari pertemuan ini juga aku bisa menilai kalau Putra orangnya asyik, loyal dan penuh perhatian. Walaupun dia sedikit terburu-buru dalam bertindak, tetapi tetap saja aku suka. Aku suka pada setiap sentuhan, senyuman, suara, dan aromanya.

"Kamu senang?" tanyanya saat kami telah lelah bermain.

Aku menganggukkan kepala dan tersenyum lebar. "Senang banget. Kapan-kapan kita ke sini lagi, ya."

"Boleh, sih, tapi ada syaratnya."

Aku menaikkan kedua alis. "Apa syaratnya? Jangan aneh-aneh."

Lelaki itu terbahak-bahak hingga membuatku bingung. Aku berdesis dan melipat kedua tangan di depan dada. Pura-pura merajuk.

"Syaratnya nggak ribet, kok." Dia memajukan wajahnya, sangat dekat denganku.

Aku jadi gugup dan mundur. "Apaan, sih." Aku mendorong wajahnya sedikit menjauh.

Lagi-lagi dia tertawa.

Aku bangkit dan hendak pergi. Namun, tiba-tiba petir menggelegar padahal cuaca masih panas. Aku kaget bukan main, untungnya Putra langsung menarikku ke pelukannya.

"Ayo, kita pulang," cicitku ketakutan.

"Ayo." Putra menggenggam tanganku erat dan berjalan beriringan. Cuaca berubah mendung dan petir saling bersahut-sahutan. Aku kian merapatkan badan ke Putra.

Selama perjalanan menuju parkiran, gerimis mulai menghiasi. Putra melepaskan pelukan dan mengeluarkan motor dengan buru-buru. Kami meninggalkan tempat itu sesegera mungkin.

Baru lima menit motor kami melaju, hujan mulai deras. Aku menyembunyikan wajahku di pundak Putra. Tanganku melingkar di tubuh Putra dengan erat saat petir kembali menyapa. Dalam hati aku merutuk keadaan saat ini. Kenapa pakai hujan segala? Kenapa nggak hujan nanti malam aja? Seperti itulah isi hatiku. Putra akan tahu kalau aku tak tahan pada cuaca dingin, tak tahan kalau kena hujan. Bagaimana ini?

"Badan kamu gemetaran." Aku bisa merasakan genggaman Putra pada tanganku. Sedikit terasa hangat.  Aku tak menyahut, bibirku bergetar hebat.

"Kita berhenti di sini aja." Kalimat Putra terdengar bergetar, mungkin dia juga sudah menggigil. Setelah kalimat itu aku tak sadarkan diri lagi.

***

To be continue ...

Hirap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang