Bab 8. Calon Suami

75 14 0
                                    

Aku tersentak saat wajahku diguyur air dingin. Aku bergerak lemah, mengucek mata dan mengusap wajah yang telah basah. Kulihat ibu berkacak pinggang dengan gayung berwarna merah di tangannya.

"Bangun!" Suara ibu membuatku kaget dan mulai berdiri.

Ibu menarik tanganku kasar, keluar dari gudang itu. Mataku mengedar ke sekeliling, hanya suara televisi yang terdengar dari ruang keluarga. Ibu mendorong badanku ke kamar mandi.

"Mandi yang bersih!" Lalu ia melenggang pergi.

Aku tak membuang waktu, tubuhku pun terasa tak enak setelah semalaman tidur di tempat penuh debu.

Aku membutuhkan waktu setengah jam untuk selesai mandi. Ada rasa aneh dari tadi, sejak aku masuk kamar mandi. Biasanya aku mandi di kamar sendiri, beda sekali kalau mandi di tempat kali ini. Entahlah, mungkin karena tadi masih setengah sadar.

Aku masuk kamar dengan balutan baju yang ada di kamar mandi dan handuk melilit di rambut. Kubuka kaca kamar agar cahaya pagi masuk. Kamar yang telah kutempati hampir sepuluh tahun ini masih berantakan, barang-barang banyak yang berserak di lantai.

Kebetulan suasana hatiku sedang baik, aku mulai menyusun satu persatu. Aku mulai menyibukkan diri lagi, mencoba melupakan segala hal yang telah terjadi. Aku membuka laptop dan mulai menulis kembali, melanjutkan cerita yang masih setengah perjalanan.

"Salsa?" Suara ibu di depan pintu kamar, ia sambil mengetuk pintu. Tumben sekali. Aku tak langsung menyahut, tetap melanjutkan tulisanku yang masih kurang lima puluh kata supaya genap seribu kata.

"Salsa, ibu tahu kamu di dalam. Pakai baju yang bagus dan turun ke ruang tamu." Langkah kakinya terdengar menjauh.

Aku membuang napas kasar dan tersenyum menatap word yang sudah sesuai rencana, seribu kata satu bab. Aku menutup laptop dan menimbang permintaan ibu. Tak tahu atas dasar apa ia memintaku turun dengan pakaian yang bagus. Namun, kuturuti juga.

Aku turun dengan baju lengan pendek dan celana selutut. Handuk masih melekat di kepala. Setibanya di ruang tamu, aku kaget melihat beberapa orang tengah duduk dan berbincang dengan orang tuaku. Aku hendak berbalik, tetapi salah satu di antara melihat.

"Hei, Nak. Kamu Salsa?"

Aku terpaku di tempat.

"Salsa, kenapa balik lagi. Sini duduk!" Itu suara ibu. Dengan gerakan pelan-pelan aku berbalik dan tersenyum aneh. Rasanya ingin menghilang saat itu juga.

"Sini, duduk!" Suara ibu lembut, tetapi aku bisa melihat matanya yang melotot, seperti ingin menerkam. Dengan hati-hati aku mendekat dan duduk di samping ibu. Mereka tersenyum menatapku.

"Ini Salsa." Ibu mengenalkan aku pada mereka. Jumlah tamu yang hadir ada lima orang, seorang sudah tua, seperti usia delapan puluhan. Lalu dua orang tampak seperti pasangan suami-istri, mereka ada di setiap sisi si kakek itu. Lalu ada dua orang lagi yang masih muda, sepertinya anak mereka.

"Cantik ya, kamu." Wanita itu menyunggingkan senyumnya dan meraih tanganku. Ia menggenggam erat, sampai membuatku merinding.

"Te-terima kasih," ucapku terbata.

"Gimana, Bu? Saya setuju sama perjodohannya. Saya suka sama anak ibu." Wanita itu menatap ibuku. Aku juga bisa melihat ada ekspresi aneh di antara mereka. Ayah juga tampak mengangguk dan terkekeh.

"Perjodohan apa maksudnya?" tanyaku tak mengerti. Tatapanku bergantian pada mereka.

"Sok belagu banget, sih, lu!" Gadis yang duduk paling jauh, berdiri dan menatapku tajam. Aku semakin tak paham.

"Hei, Ica. Nggak boleh gitu, duduk kamu."

"Tapi, Pa-"

"Duduk!" Pria yang dipanggil papa itu berkata tegas, anaknya langsung menurut. Wajahnya ditekuk, seperti kesal, marah dan juga sedih. Kakek yang duduk di antara mereka terus menatap, membuatku risi ingin melemparnya.

"Jadi, bagaimana Bapak-Ibu?" tanya wanita tadi.

"Saya setuju," kata ayah cepat. Ibu pun mengangguk setelahnya.

"Setuju setuju apa, sih, ini? Bu, Yah!?" Aku berdiri, mereka semua melihatku.

Kakek yang dari senyam-senyum ikut berdiri. "Kita akan menikah, Sayang. Orang tua kamu udah setuju. Pernikahan kita akan dilangsungkan lusa." Tangannya bergerak hendak meraih jemariku, aku menarik cepat sebelum ia berhasil meraihnya.

"Aku nikah sama kakek-kakek?" Aku tersenyum sinis. "Mustahil!" Mereka semua berdiri, aku langsung berlari menaiki tangga. Kembali ke kamar dengan suasana hati kacau.

"Bisa-bisanya mereka mau menikahkan aku sama kakek-kakek? Gila!" Aku menghempaskan badan di tempat tidur.

Lima belas menit setelah kejadian itu, kamarku kembali diketuk. Kali ini aku tak diam, siapa pun itu akan kusembur dengan kata-kata kasar. Namun, baru juga pintu terbuka pipiku sudah diserang dua kali. Panas terasa.

"Kamu pikir udah hebat, ha!?"

Aku mengangkat kepala dan melihat ibu dan ayah yang menatapku seperti sedang marah. Apa lagi salahku? Aku tak bersuara, mereka mendorongku masuk dan mendudukkanku di tempat tidur.

Ibu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Test pack dengan dua garis. Itu seingatku telah kubuang ke tempat sampah, bisa-bisanya mereka mengambilnya lagi. "Kamu lihat ini? Kamu tahu ini apa?"

"Nggak," sahutku sembari membalikkan badan. Aku tak ingin mengingat fakta tentang diriku.

"Lihat ini!" Ibu menarikku, meletakkan benda itu tepat di depan mataku. "Lihat dan sadari, mau sampai kapan ka-"

"Ibu!" Aku sontak berdiri, benda yang dipegang terjatuh ke lantai. "Mau sampai kapan ibu terus menghakimiku? Kapan ibu bisa melihat air mataku, kapan ibu bisa melihat luka hatiku? Kenapa aku jadi anak ibu dan ayah?" Tubuhku bergetar, luruh ke lantai.  Aku memegang ujung baju ibu, menangis sesenggukan di sana.

Mereka tak bersuara, tatapan ibu mengarah ke mana-mana. Aku yang tadinya menatapnya, jadi menundukkan kepala. Tangisku kian menjadi saat tangan ayah menarik dan membantuku berdiri dan duduk di atas tempat tidur.

Tangisku sedikit reda saat pria itu menyodorkan air minum. Aku meneguk sampai habis satu gelas.

Kulihat ibu telah berpindah tempat ke arah kaca kamar. Ia menatap luar, entah apa yang dipikirkan. Aku menundukkan kepala lagi. Rasanya sedikit pusing.

"Bu, Salsa pucat, nih. Kamu bawa ke klinik aja gih!" Ayah menyentuh kepalaku. "Panas juga."

"Biarkan saja. Kalau dia gak mau nikah sama Pak Widoyo, biarkan saja dia kesakitan. Dia itu aib keluarga. Semua terjadi gara-gara dia. Aku kehilangan segalanya, Mas. Di tempat kerja aku selalu jadi bahan perbincangan, ya karena apa? Karena anak kamu itu. Anak yang nggak punya malu, gak punya otak dan cuma bisa bikin masalah!"

Kepalaku terasa tambah berat mendengar kata demi kata yang dikeluarkan ibu. Air mataku kembali mengalir setelah terhenti beberapa menit. Dengan kekuatan yang masih tersisa, aku mengangkat bahu dan menyunggingkan senyuman.

"Kenapa harus kakek itu, Bu? Kalaupun aku akan menikah, tak apa. Asal bukan sama orang seperti dia." Aku menarik napas pelan.

Kulihat ibu melangkahkan kaki, mendekat padaku. Ia memegang lenganku, agak kasar. "Kamu mau tahu kenapa harus sama dia? Karena kamu udah dibayar mahal! Daripada kamu sama laki-laki gratisan, mending kamu sama kakek-kakek yang bisa kasih uang banyak!"

"Ibu ...." Dan semuanya gelap.

***

To be continue ...

Hirap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang