Setelah yang terjadi, pria itu semakin sering menghampiri. Ia selalu membawa aneka makanan ataupun beberapa benda yang tak pernah menarik hatiku. Sejak aku keguguran, hatiku kian tertutup. Sehari-hari hanya berdiam diri, dengan tatapan kosong ke arah luar kaca kamar. Orang-orang silih berganti masuk untuk memberikan hiburan. Kutahu itu ide pria datar itu. Aku tak pernah tertarik untuk apa pun yang ia lakukan.
"Apa kamu sudah makan?" Aku menoleh ke samping. Pria itu muncul dengan senyum kecil dan meletakkan sebuah bingkisan di atas nakas. "Aku membeli ponsel untukmu. Kau bisa menggunakannya agar tak bosan."
Aku tak menyahut, dan kembali mengalihkan pandangan ke arah kaca. Ia tak juga berbicara banyak, hanya berjalan ke arah kaca tempatku memandang--menghalau perhatianku. Aku menatapnya agak kesal.
"Jangan terlalu sering melamun. Kamu harus-"
"Aku ingin sendiri, tolong keluarlah!" potongku cepat sebelum ia menyelesaikan ucapannya.
Ia hanya menganggukkan kepala dan berjalan ke arah pintu kamar. "Kalau ada apa-apa, hubungi aku. Nomorku ada di ponsel itu."
Aku membuang napas panjang dan menyibak selimut. Dengan perlahan aku berjalan ke arah kaca yang menampakkan suasana luar. Indah sekali. Terbesit pikiran untuk memotret, aku melangkahkan kaki menuju nakas dan mengambil bingkisan yang tadi diletakkan pria itu.
Aku mengaktifkan benda pipih berwarna merah muda dan tampak menggunakan wallpaper bunga-bunga mawar merah. Aku membuka kontak dan tertera satu-satunya nama di sana "Fahri". Tak lupa pula aku memeriksa kuota internet, tak ada sama sekali. Hah, sangat membosankan! Dia maunya apa? Memberikan ponsel yang tak punya isi.
Aku kemudian mencari kesibukan lain. Aku membuka kamera dan menampilkan wajahku yang penuh dengan minyak dan jerawat. Selera untuk memotret lenyap begitu saja. Kulemparkan ponsel itu di atas tempat tidur dan kembali ke arah kaca. Ide begitu banyak bermunculan di dalam kepalaku, tetapi tak bisa kucurahkan dalam tulisan karena tak ada media yang bisa kugunakan. Rasanya jariku pun telah kaku akibat lama tak menggoyangkan aksara.
Tak sengaja netraku menangkap sosok yang mirip dengan pria masa laluku. Aku mengucek mata untuk memastikan itu benar-benar Putra. Apa mungkin? Kepalaku menggeleng. Namun, semakin dekat terasa makin nyata. Aku berlari ke arah pintu, menuruni tangga satu persatu.
Di ruang tengah beberapa penjaga sontak berdiri, tak jauh beda dengan Fahri yang kaget saat melihatku turun. Para penjaga hendak menahan, tetapi pria itu menggelengkan kepala. Membiarkanku terus melangkahkan kaki ke depan pintu depan. Tepat di sana, aku berhadapan dengan Putra.
Ia tampak kaget saat melihatku. Air mata langsung membasahi pipiku, spontan kupeluk ia dengan erat. Aku tak peduli lagi pada statusnya, hanya ingin perlindungan.
***
Tak ada suara hingga beberapa waktu setelah kami bertiga duduk di sofa. Putra hanya menundukkan kepala sejak tadi, sedangkan Fahri tampak marah. Aku memandang keduanya saling bergantian.
"Ada hubungan apa di antara kalian?"
Aku menatap Putra, berharap ia mengatakan sesuatu yang bisa membuatku bernapas lega. Namun, itu hanyalah ekspektasiku yang berlebihan.
"Aku nggak kenal dia, Bang. Sungguh!" Putra berkata dengan tegasnya. Membuat seluruh pertahananku hancur lebur.
Fahri mengalihkan pandangan kepadaku. Aku tak bereaksi, mataku kembali fokus pada Putra.
"Alasan apalagi yang akan kau katakan agar bisa lari dari sini?" Pria itu mendekatiku.
"Aku tak mencari alasan, Tuan. Aku mengenalnya, kami bahkan pernah tidur bersama. Dan kau ingat anak yang kukandung? Itu gara-gara dia?" Aku tak bisa lagi menahan.
"Apa!?" Pria itu kaget bukan main, ia sampai bangkit dari tempat duduknya. "Jadi, kau mengkhianati adikku? Cari mati, ya!" Keduanya berseteru, para penjaga bergerak melerai. Fahri menghajar Putra habis-habisan.
Keduanya berhasil dilerai saat sudah babak belur. Fahri yang notabenenya tuan rumah langsung mengusir Putra. Ia menarikku ke atas, ke kamarku.
"Ambilkan obat laci!" Ia memerintahku tanpa basa-basi.
Aku melangkahkan kaki dengan enggan, lalu membuka laci yang berisi kotak P3K. Setelah kusodorkan, gegas aku hendak keluar. Namun, tanganku ditahan. Matanya memberikan kode agar aku membantu memberikan obat.
Aku tak punya pilihan, melepaskan diri pun rasanya percuma. Aku membersihkan lukanya dengan alkohol secara perlahan. Sesekali ia meringis.
"Hei, Kau!" Sebuah teriakan benar-benar mengejutkan kami. Istrinya muncul dengan wajah yang memerah. Ia menghampiri dan menjambak rambutku. Rasa sama seperti beberapa hari lalu.
"Raisa, tolonglah, aku lagi sakit!" Perkataan Fahri sontak menghentikan aksi wanita itu. Aku pun ikut menoleh.
"Kamu gak apa-apa, Sayang? Mana yang sakit biar aku obati." Wanita itu menuntunnya berdiri dan meninggalkan kamarku. Dengan begitu aku bisa menghela napas lega.
"Kapan aku bisa bebas dari sini? Kapan aku bisa hidup bahagia seperti orang lain? Kapan aku bertemu dengan orang yang bisa menerima dan mendukungku sepenuh hati?" Kalimat-kalimat itu kulontarkan untuk diriku sendiri. Aku lelah menjalani hidup yang tak berarah.
Seketika aku mengingat ayah dan ibuku yang telah lama tak kuketahui kabarnya. Apa mereka mengingatku? Apa mereka merindukanku seperti cerita yang pernah kutulis? Aku tak yakin itu bisa terjadi.
"Non, makan."
Aku berbalik, menatap wanita tua yang mengantarkan makanan. Kulitnya tampak keriput, aku baru melihatnya hari ini. Mungkin ia pembantu baru. Aku menganggukkan kepala dan mendekat.
"Bibi, baru, ya?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
Wanita itu menganggukkan kepala. "Iya, Non. Saya baru mendapatkan pekerjaan ini. Saya berharap bisa bekerja dengan baik untuk Nona, soalnya saya butuh uang untuk cucu saya yang masih kecil. Mereka udah nggak punya orang tua lagi, meninggal karena kecelakaan."
"Nona istri muda tuan, ya?"
Pertanyaan itu membuatku terlonjak kaget dan langsung menggelengkan kepala. "Bukan, Bi. Saya bukan istri ataupun bagian dari keluarga ini. Saya cuma ...." Aku bingung untuk melanjutkan kalimat.
"Oh, berarti masih calon, ya, Non?"
"Bukan juga," kataku lagi.
"Ah, mana mungkin mungkin calon istri bisa membu-" Ia sontak menutup mulut, seperti sedang menyimpan rahasia.
"Kenapa, Bi?" tanyaku penasaran dengan kalimatnya yang tak sampai.
"Tidak ada, Non. Silakan dimakan."
Aku tak menyahut ucapannya, hingga ia pamit dan keluar dari kamar. Kutatap makanan yang ditata kurang rapi itu, senyumku sedikit mengembang. Entah mengapa setelah mendengar ceritanya, selera makanku jadi meningkat. Biasanya aku hanya mencicip paling banyak dua sendok makan, kali ini aku seperti orang yang tidak makan selama seminggu.
Sepiring nasi ditambah lauk pauk ludes dalam hitungan menit. Aku meneguk teh yang telah disediakan, rasanya kenyang. Aku hendak menaruh piring ke atas nakas, tetapi kepalaku tiba-tiba pusing. Tubuhku ambruk ke lantai, dan semuanya gelap.
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap ✓
RomansaRate 18+ "Aku hamil." Kalimat singkat yang berhasil membuat hidup Salsa lebih hancur dari kehancuran sebelumnya. Ia sungguh menyesal mengeluarkan kalimat itu. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia, harus menahan rasa sakit perlakuan orang...