Chapter 8

2K 268 11
                                    


"Janji kau tidak akan melakukannya lagi, ge."

Renjun merotasikan matanya melihat Chenle menyandarkan bahunya pada kusen dan sebelah tangannya memegang gagang pintunya, seolah dia mengancam tidak akan mengizinkan lelaki yang lebih tua untuk masuk ke apartemennya jika dia tidak menjawab "iya".

"Apa?"

"Aku sedang memanggang bulgogi bersama papa Jisung kemarin malam. Aku sudah tidak sabar ingin makan tapi Haechan hyung menelponku terus-menerus dan bilang kalau kau kabur lagi!" Chenle protes seperti ibu-ibu paruh baya, "anyways, kuharap kau punya alasan yang bagus sebagai kompensasi daging panggang dingin yang kumakan. Cepat masuk."

Tanpa ba-bi-bu lagi, Renjun masuk ke dalam apartemen Chenle. Setelah melepas sepatunya, Renjun segera melepas ransel beratnya dan melemparnya asal di atas sofa, dan merebahkan diri di atasnya.

"Ya! Sofaku!" seru Chenle dari dapur. Dia lalu membawa segelas air ke ruang duduk dan meletakkannya di meja kopi.

"Jadi, di mana kau semalam? Rumah Mark?" tanyanya. Dia duduk main-main di atas betis Renjun yang masih tengkurap dengan wajah menempel pada tasnya.

"Hei! Nanti kakiku gepeng!" lelaki yang lebih tua menendang-nendangkan kakinya. Dia akhirnya mengubah posisi jadi bersila di tengah sofa. "Rumah Jaemin, by the way," Renjun mengoreksi.

Mark bercerita kalau dia biasanya menginap di apartemen Haechan ketika dia berkunjung ke Seoul, tapi berhubung si pemilik apartemen sedang tidak tinggal di tempatnya sendiri, Mark tidur di sofa Jaemin yang bisa dipanjangkan. Saat Renjun bermalam di sana kemarin, Mark bilang kalau dia lebih memilih untuk tidur di lantai daripada di atas ranjang dimana kedua teman dekatnya pernah tidur —figuratively— berdua. Jaemin menyanggahnya dengan "aku sudah lama tidak melakukannya dengan Haechan dan aku rajin mengganti seprai, ya! Enak saja!" Pada akhirnya Renjun yang tidur di sofa dan Mark mau tidak mau berbagi kasur dengan Jaemin.

"Oh," kata Chenle, "kenapa kau pergi dari apartemenmu dan Haechan? Apa yang terjadi?"

"Basically, he set me up."

"Huh? Maksudnya?"

"Kau ingat Xiaojun?" tanya Renjun. Dia jarang mengungkit tentang lelaki asal Tiongkok itu, tapi dia ingat kalau dia pernah menceritakan tentangnya pada Chenle dan Jisung paling tidak sekali.

"Xiaojun? As in Xiaojun teman sekolahmu?" tanya Chenle sambil membuat tanda kutip dengan jemarinya saat mengucapkan kata "teman".

"Iya Xiaojun yang itu," kata Renjun, "Haechan memaksaku bertemu dengannya."

"Oh, wow," kata Chenle, dalam hati mengagumi keberanian orang yang baru berkenalan dengan Renjun sebulan yang lalu itu, "jadi?"

"Jadi apa?"

"Apa kau bertemu dengan Xiaojun?"

"Not really," Renjun mengangkat bahu, "aku pergi sebelum dia sempat bicara apa-apa."

"Kenapa? Sekalian saja bicara saat itu juga supaya kalian tidak perlu bertemu lagi lain kali," Chenle berpendapat. Renjun menatapnya balik dengan ekspresi 'apa kau sudah gila?!'

"Communication is the key, ge," ucap Chenle, lalu bangkit berdiri untuk membuka penutup kaca LP playernya yang terletak di sebelah televisi, "komunikasi sudah menyelamatkanku dari pertengkaran dengan Jisung beberapa kali."

"Kalian baru jadian lima bulan, Chenle," timpal Renjun, "bukannya aku bilang kalian akan bertengkar dan putus, but, you know."

"Hm," gumam Chenle sambil mencari piringan vinyl yang diinginkannya di antara tumpukan belasan lainnya, "I just think that... you might find the closure you need by conversing with him."

Lovers on the Run | HaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang