Chapter 1

8.8K 564 45
                                    


Seorang lelaki muda berumur dua puluh tahunan berlari kecil di antara kerumunan orang. Napasnya sedikit terengah-engah karena pundak kecilnya dipaksa membawa tas ransel yang lumayan berat. Sesampainya di depan lobi gedung besar tersebut, lelaki itu mendesah kecewa melihat langit yang kelabu. Dia lebih frustasi lagi melihat antrian panjang di depan papan penanda bertuliskan 'taksi' dan tidak adanya kendaraan yang berhenti di depan antrian tersebut.

Lelaki mungil itu, Huang Renjun, akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam gedung. Dia tau kalau menunggu adanya taksi akan memakan waktu lama, apalagi hujan akan segera turun. Karena hari sudah senja, dan dia belum makan makanan yang benar-benar bisa disebut makanan sejak tadi pagi (dia hanya sempat mengemil roti dan biskuit), Renjun akhirnya memilih untuk mencari restoran di dalam gedung.

Bangunan Stasiun Kota Seoul yang dimasuki Renjun berukuran besar, tapi dia tidak benar-benar asing dengan isinya karena dia sudah beberapa kali naik kereta dari stasiun itu untuk pergi ke kota kediaman orangtuanya. Lelaki berambut cokelat gelap itu berjalan menuju salah satu restoran kesukaannya dan berdiri di belakang orang yang sedang mengantri di depan kasir. Untung saja restoran ini tidak terlalu ramai, batin Renjun. Tadi dia sempat mendengar pengumuman kalau ada salah satu keberangkatan yang ditunda, jadi dia merasa beruntung bahwa tidak banyak penumpang yang memenuhi restoran tersebut untuk makan malam.

"Saya mau pesan satu porsi pork cutlet dengan nasi dan teh hangat," ucap Renjun pada kasir restoran dengan bahasa Korea yang fasih. Walaupun kedua orangtuanya adalah warga negara Tiongkok asli, tapi dia lahir dan besar di Korea, jadi dia sudah lancar berbicara dua bahasa sejak kecil.

"Totalnya jadi sepuluh ribu won," kata seorang perempuan yang berdiri di belakang konter kasir.

Renjun merogoh kantung celana kirinya, tapi tidak menemukan dompetnya di sana. Oh, tidak. Renjun mengecek kantung kanannya, tapi hanya ada ponselnya di sana. Matanya melebar dengan panik dan dia melepas ransel yang dibawanya untuk mencari dompet kecilnya. Aku tidak pernah menaruh dompet selain di kantung sebelah kiri.

Renjun menggigit bagian dalam pipinya dengan gugup, "apa bisa bayar dengan aplikasi?"

Lelaki itu menghembuskan napas lega ketika petugas kasir di depannya mengangguk, dan Renjun akhirnya membayar dengan aplikasi di ponselnya. Tapi kekhawatirannya akan ketidakberadaan dompetnya belum juga hilang. Apalagi, dia sedang dalam keadaan harus berhemat dengan ketat.



-Lovers on the Run-



"Papa bercanda kan?" Renjun membulatkan matanya tidak percaya. Dia melihat Papanya menatap balik padanya dari kaca spion tengah mobil. Tatapan serius dari Papanya cukup menjelaskan kalau lelaki paruh baya itu tidak sedang bergurau.

"Papa-Mama hanya ingin kamu berkenalan dengannya, Renjun," kata Mama Renjun dari kursi penumpang di sebelah Papanya.

"Berkenalan?" Renjun tertawa sarkas, dia tidak lagi menatap orangtuanya, pandangannya jatuh pada suasana di luar jendela mobil, "untuk apa aku berkenalan dengan orang yang tidak punya urusan denganku?"

"Renjun," Papanya memperingatkannya.

"Anak bos Papa hanya ingin berteman denganmu, Renjun, apa salahnya?" Mama Renjun mengerutkan keningnya.

"Kenapa aku harus berteman dengan anak rekan kerja Papa? memangnya kita ini bangsawan abad delapan belas?" decih Renjun sambil menumpu dagu pada tangannya di jendela.

Lovers on the Run | HaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang