CHAPTER 09

19K 1.8K 6
                                    

Jangan lupa Vote, Comment, ya✌

dan

Selamat membaca🧡
_____

"Jaga ucapan kamu!"

"Harusnya Zelena yang bicara begitu, apa Papa pernah sedikit aja ngertiin perasaan Zelena? Haruskah setiap Papa pulang dari luar negeri hal yang dibahas selalu ini?" sahut Zelena datar, ia tersenyum kecut.

Faris terkejut melihat Zelena tidak seperti biasanya yang selalu diam dan pasrah, perkataan apapun yang ia lontarkan, tak pernah sedikitpun Zelena menyahut. Tapi kali ini gadis itu benar-benar lancang.

"Jelas! Kamu jelas beda dari Elina, dia tidak seperti kamu!"

"Seburuk itukah Lena di mata, Papa?" Zelena menatap ayahnya Faris dengan sorot sendu, entah mengapa ia juga merasakan sakit. Jujur, dirinya paling benci dibeda-bedakan.

"Mau tau apa kesalahan terbesar, kamu?" tanyanya sarkas.

Melihat Zelena hanya diam, Faris tersenyum hambar menatap gadis itu tak berminat.

"Gara-gara kamu! Ibu Elina meninggal!"

Dahi Zelena mengerut dalam, bukannya bi Ningsih bilang jika ibunya masih sibuk urusan bisnis. Tapi, ini apa? Mengapa ia mendengar ibu Zelena sudah tak ada. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarga Pramana.

"Sudahlah, berbicara dengan anak sepertimu hanya membuang-buang waktu!"

Faris melangkah masuk meninggalkan Zelena yang masih bergulat di benaknya. Ia masuk menaiki tangga menuju kamar yang berada di lantai dua. Zelena menutup pintu menguncinya dari dalam lalu merebahkan diri di kasur.

Saking fokusnya melihat langit-langit kamar bernuansa hitam dan putih, netranya tak sengaja menangkap ada sebuah benda yang menyembul dari atas sana di atas lemari. Karena rasa penasaran, Zelena mengambil dan berdiri dengan tumpukan bantal di atasnya.

"Apa nih?" Zelena memegang sesuatu dan membawanya turun, sebuah kotak sudah berdebu.

Gadis itu membukanya dan menemukam sebuah buku Diary milik Zelena. Ia menatap lamat-lamat.

"Kalau gue buka ni buku, ganggu privasi Zelena gak, ya?"

Ia tertawa kecil, sekarang kan dirinya Zelena, terserah mau berbuat apa bahkan semua fasilitas disini adalah miliknya. Gadis itu membuka buku di lembaran pertama, ia berdecak membaca kalimat itu.

"Jangan dibuka, nanti yang punya gak ikhlas!"

Zelena menduga pasti buku ini sudah lama tersimpan di atas sana, terlihat dari gaya kalimatnya seperti anak-anak yang baru belajar menulis lalu mengadu keluh kesah lewat tulisan. Ternyata Zelena mempunyai kebiasaan yang sama seperti dirinya dulu.

Ia membuka sampai lembaran terakhir, tanpa sengaja ada sebuah foto terjatuh. Zelena mengambilnya dan melihat seksama foto itu, ada tiga orang yang sedang merangkul dengan satu anak kecil perempuan di tengah, sisanya anak laki-laki.

"Siapa mereka?"

Foto itu ia balik dan ada kalimat yang tertulis disitu. Zelena berfikir keras apa maksudnya?

"Jika ingin membunuh musuh, kecepatan lebih penting dari kekuatan."

Zelena mencerna kalimat itu, berusaha mencari memori terdahulu dan mengingat alur novel Last Secret. Namun nihil, ia sama sekali tak mendapatkan petunjuk, banyak rahasia yang belum terungkap. Mungkinkah hidup Zelena tak semulus seperti bayangannya?

Di pojok kanan lembaran terakhir ada tulisan kecil. Zelena sampai menyipit kala melihat kalimat itu.

"Dia membunuhnya?"

Entah mengapa setelah membaca itu, hati Zelena seketika berdenyut nyeri, seperti ada sebuah pisau tak kasat mata menusuknya berulang kali. Tangannya terasa dingin dan berkeringat.

Gadis itu mencengkram kuat buku itu, ada setetes cairan bening jatuh ke pipinya.

"Gue gak tau kenapa? Tapi rasanya sesak banget," lirihnya memukul dada berulang kali berharap rasa sakit itu sedikit berkurang.

-WelcometoAntagonist!-

Sekelebat bayangan hitam melaju melewati dinding setiap gedung yang menjulang tinggi. Suara cipratan air menggenang mengenai pinggiran jalan akibat ban yang berputar melaju lesat.

Suara deru motor sport hitam melaju di atas rata-rata tidak memikirkan bahaya yang terjadi di jalanan. Jalan sepi mampu membuatnya menghilangkan sejenak rasa sakit didadanya yang ia tahan sejak lama, hanya ini yang bisa membuatnya lupa tentang masalah hari ini.

Gadis itu Zelena, ketika ia tidak bisa mengungkapkan rasa sakitnya pasti ia akan mempertaruhkan nyawa di jalanan malam sepi. Sudah kebiasaannya saat masih menjadi Oretha dulu. Ia bukan lagi Zelena si gadis lemah yang hanya bisa menangis dan meratapi nasib.

Malam semakin larut, entah mengapa Zelena semakin menancap gas motor sportnya tanpa berfikir bahwa nyawanya bisa saja menjadi taruhan. Dari arah berlawanan ada cahaya silau membuat Zelena menyipitkan kedua matanya dari balik helm fullface.

"Oh sial!"

Truk dari arah berlawanan melaju dengan cepat di persimpangan, Zelena menekan klaksonnya berkali-kali namun percuma, sepertinya supir truk itu mengantuk.

Zelena dengan perasaan yang kalut, tanpa berfikir panjang semakin menggas motornya habis-habisan, sebentar lagi.

Brak....

Sret....

Zelena membanting stir motornya ke samping jalan, sedetik saja ia lalai mendahului truk, dapat dipastikan nyawanya sudah melayang malam ini juga.

Kakinya sedikit terkilir dengan sisa tenaga Zelena bangkit berjalan menuju motor sportnya yang tergeletak tak jauh di depannya. Entah mengapa malam ini Zelena ingin melewati jalan sepi yang terkenal banyak pemuda mabuk-mabukan.

Bulan terlihat terbelah tertutup awan. Angin malam mulai menerpa tubuh Zelena yang sedikit terbuka. Gadis itu melajukan kecepatan motornya membelah jalanan sepi dengan pohon-pohon menjulang tinggi terkesan seram. Sampai di tengah perjalanan, matanya memicing melihat keributan yang jaraknya sekitar sepuluh meter di depannya.

Zelena menepikan motor sport hitamnya dan berjalan pelan. Netranya mengedar, keningnya mengerut melihat seorang laki-laki dengan balutan jaket seorang diri melawan gerombolan berbaju hitam dan ada berbagai senjata tajam ditangan mereka.

"Dia, 'kan....," gumam Zelena.

Tanpa berfikir panjang. Zelena melepas jaketnya lalu mengikatnya dipinggang. Rambutnya ia cepol asal-asalan memperlihatkan ceruk lehernya yang mulus terbuka. Zelena dengan celana jeans hitam dan tanktop abu-abunya berjalan tertatih—mendekat kearah gerombolan itu sembari membawa pisau lipat yang ia simpan di saku untuk berjaga-jaga.






Bersambung...

Welcome to Antagonist! [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang