01. FIRST

337 32 177
                                    

Happy Reading Gaes (!) 😎
_____________________
_________________________

Pantai Changi, Singapura

Ribuan kilometer dari tanah kelahiran, tapi tempat ini benar-benar membuat pola de javu hebat tentang kampung halamanku sendiri. Bagaimana orang-orang menyebut istilah rindu semacam itu? Ah, iya. Homesick, kan? Begitu kakiku tiba, sambutan nuansa pedesaan tahun 70-an bersorak-sorak dalam sepi antara barisan pepohonan kelapa, membuat wajahku tersanjung oleh sapuan desau angin sore.

Orang sekitar bilang, daerah ini angker. Sungguh kontras sekali dengan pemandangan hamparan pasir putih dan deburan ombak indah itu, di manalah sisi angkernya? Oh, mungkin karena tempat ini dulu adalah bekas pembantaian keturunan China pada perang dunia ke-II, siapalah yang peduli dengan omongan orang-orang penakut untuk lokasi Pantai Changi, mengaitkannya dengan sejarah kelam. Pikiranku tak mempermasalahkan desas-desus tersebut, aku punya urusan penting di sini. Agaknya, aku sudah kehilangan rasa takut itu sejak lama. Kau tahu, Kawan? Dari pada hantu, kemiskinan jauh lebih menyeramkan.

Sunset mulai menua, merah dan jingga bersamaan merekah ranum di sepanjang garis cakrawala pantai. Matahari bersiap kembali ke peraduan, meninggalkan gemintang dan bulan sabit, lukisan langit di bibir pantai dan sekitarnya berubah warna, mulai memakai jubah hitam. Tidak adil, pemandangan pantai di peralihan waktu ini semakin indah saja.

Aku menoleh bergantian ke kanan dan kiri. Orang yang kutunggu belum datang juga, kunyalakan pemantik api, menyedot beberapa batang rokok sepertinya lumayan untuk suasana sekarang. Senja ini, rugi kalau tidak dinikmati. Cih! Suara-suara teriakan korban pembantaian itu bukan rumor ternyata, aku terlalu cepat menyimpulkan.

Sayangnya, aku tidak peduli.

***

Namaku Johan Dasilva, tidak tampan apalagi menarik, karena aku baru saja bangun tidur dan belum mandi.

Teman-temanku bilang, aku cupu. Mungkin alasan julukan 'cupu' itu karena rambut yang sering kusisir rapi belah tengah dengan pomade murahan, sebab jikalau tidak kuolesi pomade, rambut itu akan mengembang seperti duri landak. Tambahkan kacamata bundar yang selalu menghiasi daerah mata, tergantung pada batang hidungku, maka cocok sudah julukan itu untukku.

Sehari-hari di rumah, aku biasa memakai kaus oblong polos dan celana pendek yang terkesan seperti kain pel compang-camping. Hanya itu pakaian yang kumiliki. Keluargaku miskin. Kami tinggal di sebuah kampung nelayan kecil, pinggiran Kota Sydney. Jauh sekali dari kesan kemegahan Gedung Opera atau Jembatan Harbour yang orang luar tahu tentang Sydney.

Mengingat film Finding Nemo, sepertinya dulu juga aku pernah tertarik mencari ayahku. Ibu bilang, ayah menghilang ditelan badai saat pergi melaut. Ibu sudah menjanda sejak aku masih dalam kandungan. Perahu ayah memang tidak sekuat itu untuk menahan hantaman ombak, perahu itu bahkan tidak layak disebut perahu dengan semua tambalan lubang sana-sini, ayah terlalu miskin untuk bisa membeli perahu bagus. Sisa-sisa kayu perahu ayah ditemukan tiga hari kemudian.

Sejak saat itu, ibu menganggap ayah sudah tiada. Aku resmi jadi anak yatim yang tak perlu dibuktikan dengan sertifikat. Meskipun semua bilang ayahku sudah meninggal tapi aku tetap yakin sekali ayah masih hidup, di mana pun dia, aku yakin pasti akan kutemukan. Seperti ayah Nemo yang mau mengarungi samudra luas sampai ke Sydney, aku juga akan lakukan demikian suatu hari nanti.

Mengarungi seluruh dunia demi mencari ayah---

"Johaaan! Cepat berangkat sekolah, nanti kau terlambat!" Teriakan ibu membuyarkan lamunan kisah heroikku.

"Iya, Bu!" Kusambar tas buntutku setelah menyisir rambut, belah tengah dan mencuci muka. Tidak mandi. Aku sudah mandi subuh tadi, selalu bangun lebih pagi untuk memasang jala ikan di laut. Rutinitas pagiku sebelum berangkat sekolah, biasanya karena terlalu larut membaca buku pelajaran sambil rebahan (kebiasaan buruk yang berpotensi membuat mataku lebih minus suatu hari nanti) untuk menunggu waktu berangkat sekolah tiba. Sialnya, aku selalu tertidur lagi.

𝐍𝐞𝐟𝐚𝐫𝐢𝐨𝐮𝐬𝐧𝐞𝐬𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang