02. SECOND

295 28 84
                                    

Happy Reading Gaes (!) 😎
_____________________
_________________________

Rokokku tinggal sebatang, wadah rokok benar-benar kosong, isinya habis. Aku memaki dalam hati, lama sekali dia datang. Desau angin semakin dingin, menusuk di antara topi dan jaket yang kukenakan. Malam sempurna kelam. Aku melirik arloji, tiga jam lebih berlalu. Kabar bagusnya, sinyal buruk sekali di sini. Ponselku tidak berguna, tak bisa meneleponnya. Tepat saat batang rokok terakhirku hampir habis, dia datang.

"Kau terlambat, Jae." Aku bersandar di salah satu batang pohon kelapa. Memperhatikan dia yang kelelahan mengatur napas. Entah karena takut atau memang jarak parkirnya yang jauh.

"Bandara Incheon ke Singapura tidak sedekat dua alis di dahimu, bung. Kau gila, Johan! Mengajak bertemu di tempat menakutkan seperti ini. Kau tak punya daftar nama tempat yang lebih bagus, hah? KAFE ATAU RESTORAN MISALNYA?" Orang yang kutemui berbicara lebih banyak dari yang kuduga. Harusnya aku yang marah, dia datang terlambat dari waktu yang dijanjikan. Masih dengan setelan pakaian rapi, dasi dan celana licin. Tapi rambut hitam lurusnya acak-acakan, setidaknya dia tampan, seperti remaja umur belasan. Tidak berubah sama sekali dari semenjak aku mengenalnya dulu. Wajahnya awet muda, aku iri.

"Berhenti bicara. Kau bawa barangnya, kan?" tanyaku memotong gerutuan panjang-panjang itu yang sepertinya tidak akan pernah berhenti. Kafe atau restoran katanya? Dia pikir aku mau kencan pertama?

"Inilah bentuk kegilaanmu yang kedua! Kau taruh barang terlarang itu di jet pribadiku! Kau sudah gila, Johan! Benar-benar gila." Dia melempar bungkusan dengan kesal sekali, aku reflek menangkisnya sebelum terkena mukaku.

"Ya terserah, aku memang sudah gila sejak lama, Bung. Kan kau yang mengajariku cara menjadi gila. Bagaimana kabar istri dan anak-anakmu?" Aku bertanya, mengalihkan topik. Dia seperti mulai terpengaruh hawa menakutkan di tempat ini, beberapa kali mengusap tengkuk, mencicit prihal bulu kudu berdiri, mengeluh soal tempat angker. Barangku sudah datang, tinggal menunggu orang lain dan urusan beres.

"Mereka baik. Istriku sedang hamil anak ketiga kami. Firasatku mengatakan jenis kelaminnya perempuan juga, seperti kedua kakaknya. Aku tidak berbakat punya anak lelaki, Bung." Raut wajah temanku, Jae mulai terlihat lebih santai. Dia tertawa. Memangnya ada yang salah dengan anak perempuan?

"Cih! Kau bilang tidak suka perjodohan, tidak mencintainya. Buktinya kalian punya anak juga." Aku melanjutkan topik tetang keluarga itu, sepertinya lumayan untuk menghibur Jae.

"Kau pikir, setelah menikah dan tidak memiliki anak. Itu wajar? Keluargaku dan keluarga istriku juga pasti akan bertanya, rumah tangga kami harmonis atau tidak?" jawab Jae kesal. Dia mengeluarkan bungkusan rokok, membaginya denganku. Kami berdua sama-sama menunggu. "Apa kabar Aroha?" Tiba-tiba Jaeshin menyebut nama wanita itu.

Aku meminjamkan pemantik api. "Dia masih hidup."

Jae tertawa, "Bukan itu jawaban yang kuharapkan, Bung."

Dengan pekerjaanku sekarang, menjawab 'masih hidup' adalah jawaban terlogis, bukan gurauan. Jae menganggap kalimat yang kukatakan tadi sebuah lelucon.

Namanya Moon Jaeshin. Teman sekamarku di asrama sejak SMA sekaligus sahabat terdekatku. Seperti baru kemarin saja aku mengenalnya. Dia jugalah yang menyarankan banyak hal gila, tentang trik-trik pendekatan pada gadis bernama Aroha itu. Konyol!

Percayalah, dia lebih gila dariku.

***

Mobil asrama yang membawaku terus melaju. Setengah jam berlalu, matahari pagi menyiram lembut perairan sekitar, burung-burung camar putih mengepak, menghiasi langit biru yang sudah penuh dengan saputan awan di atas sana.

𝐍𝐞𝐟𝐚𝐫𝐢𝐨𝐮𝐬𝐧𝐞𝐬𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang