06. SIXTH

151 17 68
                                    

Happy Reading Gaes (!) 😎
_____________________
_________________________

Aku kalah.

Tumbang di atas hamparan pasir. Berdebum. Setengah tak sadarkan diri, setengah ingin memaki Jaeshin dan refleks tubuhku menghindari serangan yang belakangan mulai semakin buruk—mungkin karena aku terlalu sering mabuk dan tidak serius melatih bela diri lagi semenjak tahu Aroha main serong di belakangku. Dengan satu pukulan keras, Kei menghantam tepat di belakang kepala ketika aku berusaha menghindari serangan Ken yang datang dari arah belakang. Harus kuakui, dua kembar yang masih keturunan keluarga Samurai Ronin ini tak bisa dianggap remeh, berbakat seni bela diri apapun, termasuk Judo. Keluarga Kaze mencetak anak turun mereka seperti mesin tanpa ada produk gagal sama sekali sampai sekarang, mewejangi dengan embel-embel silsilah keluarga mereka. Agar terus ingat, bahwa Keluarga Kaze terus terpaut prihal Yakuza, Ronin, dan sejarah kelam lainnya.

Samar-samar, dengan pandangan mata yang semakin kabur, aku melihat beberapa pengawal Tuan Haru berdatang lagi, menangkap Jaeshin. Aku semakin memaki dalam hati, dia masih belum belajar bela diri selama sepuluh tahun terakhir! Ingin marah sekali. Berusaha berdiri, menyelamatkannya. Namun, seseorang kembali menghantam belakang kepalaku dengan benda tumpul yang kukira itu sebatang kayu yang berserakan di sekitar sini. Satu lawan dua, satu lawan banyak. Sejak awal pertarungan ini memang tak adil. Pengawal Tuan Haru berdatangan makin banyak. Si brengsek itu! Dia mengkhianati perjanjian dengan menyembunyikan pengawal dan tukang pukul sebanyak ini.

JAESHIN! Aku berteriak dalam diam. Berusaha membuka mulutku yang kotor pasir, tapi tak ada suara apapun yang terdengar telingaku. Kepalaku sakit sekali. Dua kali dihantam sekeras itu, sangat mampu membuat otak kehilangan kontrol tubuh. Jaeshin dilumpuhkan, ikut dibawa bersama mereka. Kei dan Ken mendekati tempatku yang sudah terkapar tak berdaya, penuh luka. Beberapa saat mereka berdua berdebat. Aku tak mampu mendengar dengan jelas. Dengan pistol di kedua tangan kanan mereka yang ragu-ragu sekali jari telunjuk masuk ke lubang pelatuk senjata api. Kutebak mereka pasti sedang saling tunjuk siapa yang harus melenyapkanku. Keduanya tak mampu. Sedingin apapun seorang Yakuza, mereka tak akan melupakan persahabatan. Dan kalian juga harus tahu, dibalik sifat keji nan bengis mereka, Yakuza adalah orang baik.

Seseorang berteriak, "Segera urus si Trickster itu dan cepatlah kalian!" Mungkin salah satu rekan Kei dan Ken yang mengomando. Tuan Haru jelas sudah jauh. Membawa barang itu. SIALAN!

Kei dan Kei terlihat saling tatap. Mereka–kukira–memutuskan menembak bersamaan sebelah kakiku. Dua kali timah panas menghantam betis, merobek kulit, tak tergambarkan nyeri itu dari pada hanya sekedar kata nyelekit. Bersarang di dagingku. Panas sekali. Kemudian mati rasa. Otakku memutus kendali atas sensasi rasa sakit yang tak boleh terlalu dirasakan tubuh.

Apakah aku harus bersyukur? Mereka memilih untuk tidak menembak organ vital. "Maafkan kami, Johan." Kei atau Ken yang bergumam lirih tadi? Aku tak tahu. Suara desau angin malam pantai menyamarkannya, berhembus semakin kencang menuju pagi.

Jam berapa sekarang?

Apa mungkin sudah jam satu pagi?

Seseorang mungkin saja akan menemukanku dan dua jasad manusia yang telah kubunuh di Pantai Changi subuh nanti. Para wartawan yang haus berita itu bisa menaruhnya di tajuk koran besar-besar. Keberadaanku tertangkap polisi dan kemungkinan paling berbahaya, aktivitas kami bisa dilacak. Bagus sekali. Angan-agan terburuk yang bagus sekali.

Aku kembali kalah.

Sialan! Sekali saja aku tidur, aku bisa tak bangun lagi karena kehabisan darah. Gerombolan orang-orang Tukang Pukul Tuan Haru sudah semakin jauh. Mungkin mereka sudah menuju bandara terdekat dan naik jet menuju markas. SIAL! Mereka juga membawa Jaeshin.

𝐍𝐞𝐟𝐚𝐫𝐢𝐨𝐮𝐬𝐧𝐞𝐬𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang