04. FOURTH

282 22 66
                                    

Aya langsung Up chapter ini sampe empat. Mungkin kalian yang dulu mengikutiku sejak lama, pernah ingat kalau cerita ini juga pernah ada (namanya dulu masih "Nefarious"), bareng sama work yang nggak selesai lainnya (Zion, Marti, The Flawless Flower, Aroq, dan Our Stigma), hehe. Namun, kali ini beda. NEFARIOUSNESS akan lahir kembali dengan kerangka cerita yang lebih kokoh. Semoga Aya bisa menyelesaikannya.

Mohon dukungannya, Kawan!
😭🙏

Happy Reading Gaes (!) 😎
_____________________
_________________________

Tambahkan sedikit saja backsound, maka cerita ini akan terlihat seperti sinetron. Tambahkan sedikit saja diksi lebay seperti yang dipakai para pujangga dalam syair-syair mereka, maka kisah ini akan jadi cerita novel romance yang indah. Ah, sayangnya tidak. Ini awal kisah cintaku, tidak berakhir baik seperti dongeng-dongeng dari kisah 1001 malam khas Arabian Night.

Dia bukan putri raja, tapi mampu menjadikanku budaknya. Dia bukan tukang sihir, tapi pandangan matanya saja cukup untuk menghipnotisku. Dia bukan seorang tirani, tapi di balik wajah jelitanya, dialah arti kekejaman itu sendiri.

Satu saja permintaannya, cukup tuk buatku jadi pelayan.

Satu saja senyumannya, cukup tuk buatku menjadi lunatic.

Satu saja, tak lebih.

Dia berarti segalanya.

Aroha, cintaku.

***

Kisah ini dimulai saat seluruh penghuni asrama datang untuk menghadiri upacara penyambutan murid dan penghuni baru asrama Sydney High School, SMA paling favorit di kota kami atau bahkan dunia. Gedung Opera selalu ramai, tapi malam ini, aku punya kesempatan masuk ke sana. Senior kami dari kelas pentas seni, musik, dan tari akan memberikan penampilannya malam ini. Menyambut siswa-siswi baru. Itu berarti, kami akan berkumpul. Umurku baru saja tujuh belas, tiga hari lalu. Saat bab pertama kisah cinta pertamaku dimulai.

"Johan! Ayo cepat, kita bisa terlambat!" Jae meneriakiku dari luar kamar. Astaga, aku masih mencari sesuatu yang penting. Kacamataku hilang, entah di mana. Tanpa itu, mana bisa aku melihat pentas, bisa-bisa yang terlihat hanya buram. Mata minusku agak parah memang, jika harus dipakai melihat jarak pandang sebatas kursi berderet terbelakang bangunan opera.

"Kalau kau tidak cepat, aku akan meninggalkanmu!" Jae kembali berteriak.

Sialan, tak bisakan dia berhenti berteriak. Aku sudah berusaha mengacak-acak isi lemariku sekarang. Perasaan tadi setelah mandi kutaruh di sini. Ayolah, di mana kacamata frame bundar itu?

Jackpot! Ternyata terselip di antara bajuku. Aku segera memakainya, sekali lagi merapikan rambutku yang belah tengah dan membetulkan posisi blazer.

Aku keluar kamar. Penampilanku dulu culun sekali. Bila berjalan beriringan dengan Jae, kami berdua sungguh kontras. Jae seperti seorang ketua geng sekolah yang keren, tampan, dan rupawan sementara aku seperti budak bullying-nya. Tapi, kami sahabat dan Jae tidak pernah mem-bully-ku. Aku sedikit lebih tinggi dari Jae, hanya itu kelebihanku.

"Aku tidak lihat Kei dan Ken. Mereka sudah berangkat?" Percakapan pertama saat aku dan Jae menuruni tangga asrama.

"Katanya duluan, mereka bergabung dengan kelas musik. Akan tampil malam ini, membawakan sebuah lagu." Jae menyisir rambut rapi klimis-nya dengan jemari. Menyibakkan poni.

"Benarkah? Aku tidak tahu suara mereka bagus." Alis mataku terangkat sebelah.

"Aku juga baru tahu, Bung." Jae nyengir.

𝐍𝐞𝐟𝐚𝐫𝐢𝐨𝐮𝐬𝐧𝐞𝐬𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang