10. TENTH

14 7 0
                                    

Happy Reading Gaes (!) 😎
_____________________
_________________________

Kampung ini tak pernah berubah sejak kutinggalkan. Deburan ombak yang sama, bau amis laut yang sama, juga wajah kemiskinan yang sama. Satu-satunya yang berbeda dari tempat ini adalah anak-anak kecilnya. Bukan aku, Anna, atau teman-teman sepermainanku dulu. Kapal-kapal kecil para nelayan sudah kembali dari belayar, membawa tangkapan ikan segar sepanjang garis bibir pantai, sedikit dari kemurahan laut yang menghidupi warga kampung. Terlihat begitu damai olehku dari atas bukit sini.

"Ibu tahu, rindu terhadap kampung halaman takkan bisa terdeskripsikan." Aku bicara sendiri sambil menatap nisan ibuku, meletakkan bunga lily putih, menyapu seluruh area bukit pemakaman seusai melepaskan kacamata hitam. Ibuku meninggal tak lama setelah mendengar kabarku menikah dengan Aroha, putri pembunuh ayahku sendiri. Sekarang aku paham kenapa dulu ibuku sebegitu bencinya dengan Aroha. Tak akan ada orang yang rela anaknya menikah dengan anak pembunuh suaminya, dosa Andreas sampai kapan pun rasanya tidak pernah diampuni oleh ibuku, juga Paman Jim.

Ah, aku juga rindu pada Paman Jim, apa kabar Bibi Beatirce dan Anna? Pasti dia sudah tumbuh besar dan cantik, mutiara indah yang tersembunyi di kampung miskin dan kumuh ini. Makam ibuku terletak di sebuah bukit dekat perkampungan. Aku memarkirkan mobilku tak jauh dari jalanan menuju bukit, orang sini tak akan ada yang mau mencurinya. Untuk apa juga punya mobil, kalau pancing dan jala ikan jauh lebih berharga. Meskipun sekali lihat saja, harga mobilku bisa ditaksir mampu membeli separuh saham pabrik jala dan pancing ikan. Mobil sport jenis Bugatti La Voiture Noire hitam itu secuil kebaikan Tuan Tamura untukku, diberikan cuma-cuma sebagai fasilitas pribadi. Aku takkan selesai membahas kebaikan Tuan Tamura satu-persatu, beliau terlalu royal untuk urusan fasilitas dan kebutuhanku, cara beliau mengeluarkan uang untukku sudah seperti ayah kandung sendiri. Bukan bos. Aku mengelus nisan ibuku yang kotor dan jarang dibersihkan. Ada bunga yang layu, mungkin Paman Jim entah Anna baru saja berkunjung akhir-akhir ini.

Di bawah salib kayu itu tertulis nama Maria Bontande, putri bungsu dari Stefano Bontande, seseorang yang saat itu paling diincar dalam perang besar para mafia di Sisilia. Siapa yang akan menduga kalau anak-anak bos besar geng mafia yang selamat justru lari ke pinggiran Sydney dan jadi nelayan. Paman Jim tak pernah menceritakan ini, tapi aku berusaha mencari informasinya sendiri. Sekeras apapun Ibu berusaha menjauhkanku dari gelapnya dunia mafia, tapi terasa itu mustahil, karena takdirku memang di sana.

"Kakiku tertembak saat menjalankan misi." Aku mengelus perban di kaki dan menarik napas berat lantas tersenyum pada nisan ibuku, "Mungkin kalau Ibu masih ada, aku akan dimarahi habis-habisan karena kecerobohanku. Johan masih ingat, Ibu selalu marah saat kakiku terkilir akibat terpeleset di perahu Paman Jim. Dan Ibu mengobatinya sambil ceramah panjang lebar, harus lebih hati-hati, harus lebih perhatian pada kayu lantai kapal yang ditumbuhi ganggang dan lumut, harus ini, harus itu." Aku membuang napas seperti melepaskan sebuah beban berat, merasakan panas pada luka kakiku yang masih sesekali terasa. "Aku lebih rindu Ibu daripada kampung ini." Air mataku menetes sekali dan tangan kananku mengelapnya. "Maaf, Bu. Kunjunganku singkat sekali, tapi Johan akan sering ke sini setiap hari karena ada urusan dengan Paman Jim yang belum selesai. Apa Bibi Beatrice juga pernah berkunjung, Bu? Ah, kukira tidak. Akan kulihat nanti, masih sebenci apa Bibi Beatirce padaku."

Aku melangkah menjauhi bukit pemakaman, rumput dan tanah gambut tempat rerumputan hijau makam mulai menghilang, digantikan pasir pantai. Ada anak-anak bermain bola yang mereka buat seadanya dari sampah sepanjang pantai. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku iri. Saat kau kecil, kebahagiaan bernilai amat sederhana. Tanpa tuntutan apapun, tanpa drama percintaan, tanpa pemikiran ekonomi, tanpa beban hidup. Kakiku terasa makin berat jikalau memikirkannya, kukira aku menginjak apa. Ternyata aku telah menginjak kedewasaan, jiaakkkh. Bercanda, Kawan! Tegang dan melankolis sekali narasi ini rasanya.

𝐍𝐞𝐟𝐚𝐫𝐢𝐨𝐮𝐬𝐧𝐞𝐬𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang