4. Rutinitas Biasa

2.2K 103 3
                                    

__

__

__

Aku kembali pada rutinitasku sebagai seorang pelajar. Sekarang hari Senin, jadi aku harus berangkat lebih pagi dari hari biasa. Selain karena alasan upacara, aku juga tergabung sebagai perangkat pelaksana upacara hari ini. Makanya aku berangkat lebih cepat.

Aku sudah berada didepan gerbang rumah bang Rama. Jalanan tampak sepi. Rumah Dodo pun masih lengang. Mungkin masih tidur.

Rumah bang Rama terdengar gaduh oleh tangisan adiknya yang berumur sekitar tiga tahunan mungkin. Aku hanya menunggu di depan gerbang sambil menggosok-gosok tanganku untuk menghilangkan dinginnya pagi hari.

Kudengar decitan engsel gerbang rumah bang Rama pertanda akan dibuka. Dan keluarlah ayah bang Rama yang terlihat rapi dengan stelan pakaian kantornya.

"Pagi om," Sapaku ramah.

"Pagi, lagi apa?"

"Nunggu bang Rama om."

"Rama masih mandi. Masuk aja dulu, tunggu di dalam." Aku hanya pernah mendengar kalau ayahnya bang Rama ini orangnya baik dan ramah. Dan setelah aku saksikan dan alami sendiri, ternyata rumor itu benar.

"Nggak usah, nunggu disini aja om, hehe" Aku sungkan, doi ngomong juga sambil senyum lagi.

Setelah itu ayah bang Rama pergi ke garasi mobilnya yang berdinding terali besi.

Tak lama keluar juga kak Shinta dan lagi-lagi memandangku dengan tatapan yang membuatku risih. Dia berbalik kebelakang dan teriak.

"Mas Rama, pacar mas udah nungguin nih!" Spontan aku langsung menengok kearah ayahnya bang Rama. Takut dia akan ngamuk padaku. Salah sangka dengan ucapan kak Shinta.

Dari tempatku berdiri masih tampak ayah bang Rama didalam garasi dengan jelas.

"Hehehe, lihat mukanya jadi merah karena kejahilan mu Shinta!" Aku hanya meringis malu padanya. Dan juga bersyukur dia tidak jadi ngamuk padaku.

Kalau ucapan kak Shinta beliau tanggapi serius, tentu pastinya dia akan marah padaku.

Aku jadi was-was dengan kak Shinta ini. Setiap berjumpa dengannya, aku selalu merasa terkena jumpscare seperti menonton film horor.

"Beneran loh Yah, Dio ini di anterin ke sekolah sama mas Rama setiap hari. Aku aja nggak pernah." adu kak Shinta pada ayahnya yang membuatku semakin tidak tenang.

"Kan emang kamu yang nggak mau naik motor mas-mu. Alasanmu ketinggian lah atau kegedean lah"

Untung ayah bang Rama tidak termakan omongan kak Shinta, aku membatin.

"Kamu anaknya Bu Minah yang jualan barang harian kan?" Tanya ayah bang Rama padaku sambil mengotak-atik kap mobilnya.

"Iya om." jawabku seadanya.

"Gimana kabar ibumu? Sehat?"

"Sehat om."

"Jangan takut sama om, lagian jangan di dengerin omongan Shinta, dia emang jahil orangnya." Aku terpaksa mengangguk saja karena keki dan sedikit berbasa-basi sampai akhirnya mereka pergi berangkat duluan.

Pertanyaannya, mengapa aku tidak diajak bareng bersama mereka saja?

Kantor ayah bang Rama tidak searah dengan sekolahku. Bahkan bertolak belakang. Kak Shinta palingan diantar cuma sampai persimpangan jalan besar untuk naik lagi ke angkutan umum.

Tak lama setelah itu tampaklah bang Rama mendorong motornya keluar dari garasi. Lalu memanaskan mesin motornya. Aku hanya melihatnya dari pintu gerbang.

Merayu Dan Memuja (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang