.
.
Hallo.
Maaf jika banyak typo.
.
___Jendra dan Hamka berjalan beriringan menuju kelas, dikelasnya terlihat Nakula yang sedang mengompres sudut bibir Renjana dengan esbatu.
"Ren, sorry" Lirih Jendra saat sudah berada di hadapan Renjana.
Renjana tersenyum hangat, "lo gapapa?"
alih alih menjawab ucapan Jendra, Renjana malah menanyakan keadaan sahabatnya. Tentu saja itu malah membuat jendra semakin merasa bersalah.
"Ren, ayo pukul gue, biar gue sadar"
kekehan Renjana terdengar membuat Jendra mendongakkan kepalanya, "minta dipukul, tapi baru dipukul sama Hamka aja udah mimisan," ejeknya, "udah lah Jen, gue gapapa kok, lo ga usah minta maaf, udah cepet duduk ditempat lo, pucet banget tuh muka".
Pulang sekolah Jendra langsung menuju rumah, mengurung diri dikamar menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.
Pantulan kaca menampilkan dirinya, ia berdiri mematung cukup lama disana. Menatap sosok rapuh dengan bekas luka disudut bibirnya.
"Pucet banget" Gumamnya sambil berjalan menuju kamar mandi.
-
Satu minggu setelah Cila meninggalkannya, Jendra yang pendiam semakin pendiam, ia hanya mengangguk atau menggeleng jika ditanya. Di rumah pun ia memilih mengurung dirinya dikamar, jika membicarakan soal perut Jendra akan mengambil sepotong roti atau meminum air putih untuk menganjal perutnya.
Jendra memakai hoodie hitam dengan kupluknya hampir menutupi setengah wajahnya, berjalan gontai menuju bangkunya pagi ini, dikelasnya sepi, tentu saja ini masih pukul 6.15, siapa yang ingin pergi sekolah sepagi itu? Bahkan Yakin jika Hamka sekarang masih terlelap dengan mulut terbuka di kasur nyamannya.
Wajahnya ditenggelamkan di kedua tangannya diatas meja, "udah seminggu Cilla, gue kangen" Racaunya.
"Jen?" Sapa seseorang yang baru menginjakkan kakinya di kelas. Ahh ternyata ada juga murid yang rela berangkat sepagi ini.
Kepala Jendra terangkat, menatap siapa yang datang. Renjana, ternyata sahabatnya sendiri, entah apa yang ada di pikirannya hingga ke sekolah sepagi ini.
"Pagi banget? " Tanya Jendra heran.
Renjana tertawa, "lo sendiri? " Tanyanya balik.
"Makan yuk? Gue ga sempet makan tadi" Ajak Renjana, yang tahu bahwa sahabatnya itu pasti belum makan juga.
Gelengan kepala didapat oleh Renjana. Sebenarnya sesudah kepindahan Cilla ketiga sahabat Jendra diberi tahu oleh Jidan bahwa Jendra selalu mengurung dirinya dikamar. Dan itu tentu saja membuat ketiga sahabatnya setiap hari khawatir karna jika di sekolah Jendra memilih untuk tidur disaat jam jam kosong.
Mata Renjana tertutup sebentar, menetralkan emosinya yang sedikit lagi keluar. Tidak, Renjana sama sekali tidak marah, iya hanya gemas melihat sahabatnya yang sangat keras kepala. "Jendra demi tuhan lo kalau sakit ga gue bantu" Ucapan itu lancar keluar dari mulut Renjana, secara tak sadar.
Kedua insan itu akhirnya terdiam, bergelut dengan pikirannya masing masing. "Jen sorry, gue ngga bermak-" Ucapan Renjana terpotong oleh Jendra.
"Gue ngerepotin banget ya, Ren? Maaf ,ya? Gue janji gue ga bakal ngerepotin kalian lagi kok, "Ucapnya dengan nada pelan dan tatapan kosong, " Yu makan?" Lanjutnya membuat Renjana gusar di tempatnya.
"Jen, maafin gue mulut gue emang ga disekolahin kayanya, maaf ya? Plis jangan di bawa ke hati, gue seneng bantu lo, lo ga ngerepotin sama sekali," Sesalnya sekali lagi. Tapi Jendra hanya membalas dengan senyuman teduh miliknya, ia beranjak dan merangkul Renjana menuju kantin.
Di kantin Jendra berlagak seperti tidak terjadi apa apa, sedangkan Renjana duduk dengan gusar ditempatnya.
Hening menyelimuti dua insan yang sedang memakan nasi uduk andalan bu imas si ibu kantin yang sudah sangat akrab dengan Hama, sayangnya Hama tidak ada di sini jadi tidak ada yang berceloteh tak habis-habis.
Sebenarnya jika Renjana memperhatikan, cara makan Jendra sedikit lebih lambat dari biasanya, bahkan cenderung hanya mengaduk-aduk nasinya.
"Di makan atuh nak Jendra, jangan di aduk mulu" Seru bu imas dari tempat duduknya yang tak jauh dari Jendra dan Renjana.
Manik mata Renjana akhirnya melirik sahabatnya, dan benar saja porsi nasi Jendra maaih banyak. "Makan Jen" Ucapnya pelan.
Jendra hanya mengangguk, dan melanjutkan acara makannya. Setelah cukup lama Jendra akhirnya berhasil menghabis kan satu porsi nasi Uduk pagi ini. Jam sudah menunjukkan pukul 7.00 dan bell pun langsung berbunyi dengan keras.
Selama di kelas seperti biasa, Jendra hanya akan memperhatikan guru atau tidur saat jam kosong. Terus saja seperti itu sampai jam pulang.
"Jendra, lo langsung balik? " Tanya Nakula. Jendra hanya mengangguk sebagai jawaban, setelah itu dia pamit pada 3 sahabatnya dan langsung menuju parkiran.
Motor Ducati Panigale beewarna Hitam doff milik Jendra keluar dari area sekolah yang entah kenapa malah mengundang pasang mata melirik dia. Motor itu pemberian ayahnya entah dengan alasan apa, ayahnya membelikannya saat Jendra berumur 16 tahun, tapi baru bisa ia pakai saat umur 17.
Motor milik Jendra akhirnya terparkir dengan rapi di area rumah sakit, sebelum ia pulang sekolah ayahnya sudah mengirim pesan agar ia langsung ke rumah sakit, donor darah tentu saja untuk Jidan.
Jendra memakai hoodie hitam dan di pundak kiri terdapat ransel hitam miliknya. Tangan kanannya berada di perut beberapa kali ia terlihat mengurut pelan perutnya karna sungguh easanya sangat mual dan sebenarnya saat selesai makan nasi uduk perut Jendra seperti di aduk aduk dan tentu saja itu membuat Jendra tidak fokus.
Mual di perutnya tak bisa lagi ia tahan, dengan sedikit lari Jendra memasuki salah satu bilik toilet dan labgsung memuntahkan isi lambungnya pagi tadi.
Tetapi walaupun sepertinya sudah keluar semua, Jendra masih terus memuntahkan isi perutnya walaupun hanya cairan bening. Kepalanya pening, bahkan sangat ia hanya bisa bersandar di bilik toilet itu. Tangannya merogoh kantongn dan iaberniat ingin menghubungi salah satu sahabat nya karna sepertinya ia sudah tidak kuat, bahkan hanya untuk berdiri. Saat jarinya sudah mengetik dan akan menelpon pikirannya berputar tentang apa yang Renjana katakan pagi tadi. Dan mengingat itu Jendra langsung menutup telpon dan menutup matanya.
Sudah sekitar 10 menit Jendra berusaha menetralkan pening dikepalanya, tapi tetap saja ia tidak bisa.
"Hallo? Pak? Kamu baik baik saja? " Seru seseorang dari luar, Jendra tau suara itu mengarah padanya, ia membuka matanya perlahan dan dengan cepat pening di kepalanya datang lagi dan sungguh itu sangat membuat kepala Jendra seperti di hantam batu besar.
"I-iya... Saya... Ga kuat" Lirih Jendra hampir tak terdengar.
BRAKKK
suara keras itu berasal dari dobrak kan pintu toilet, seseorang itu dengan sangat terkenjut menemukan Jendra yang bersandar di tembok. Tangannya menepuk pelan pipi Jendra hanya untuk memastikan Jendra masih bisa memberi respon atau tidak.
"Hhhhh" Hembusan nafas berat milik Jendra membuat seseorang itu tersenyum, lalu dengan cepat ia membawa Jendra diatas punggungnya.
Jendra memilih untuk menutup matanya, dan ia tidak tahu akan di bawa kemana.
"Kamu istirahat dulu di ruangan saya ya, saya akan kembali pukul 18.00" Ucapnya setelah membaringkan Jendra di kasur.
Jendra membuka matanya, mencari siapa yang menolongnya. "Dokter Jefan?" Gumamnya.
SIAPA DOKTER JEFAN?!?!?!
Wkwkwkwk masih ada yg nunggu cerita ini ga sih?
Segitu dulu yaaaa
Byebyeee
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Jendra || Lee Jeno
FanfictionIni hanya kisah tentang hidupku, jika tidak mau membaca tak apa, ayah pun sama, ia tidak peduli apa apa tentangku, hehehe (.◜◡◝)