5. Innalilahi wainnailaihi raji'un~

235 29 13
                                    

Evelia merasa kepalanya serasa ditimpa puluhan batu. Rasanya berat bukan main ditambah pendengaran yang menjadi lebih sensitif. Samar-samar dalam tidur dia mendengar seseorang memanggil nama Calista beberapa kali hingga akhirnya dia kembali tersadar. Menampakkan sosok pria yang disebut oleh tubuh ini kakak.

"Syukurlah...."

Alfie menatap penuh kasih dengan netra samudera yang berbinar indah. Tangan itu secara spontan memeluk Evelia yang baru beberapa menit tersadar. Kepala Evelia semakin terasa nyeri ketika berbondong-bondong orang datang memenuhi kamar menyerukan syukur dan khawatir. Seorang dokter juga hadir memeriksa kondisinya saat ini.

Tidak tahan lagi, mendapati keramaian kepalanya semakin sakit, dengan lemas Evelia bergumam lirih. "Sakit..," Semua orang dalam ruangan terdiam, hening. Hingga kembali Evelia bergumam sembari air mata yang semakin berjatuhan. Entah apa yang merasukinya. Evelia merasakan rasa sakit yang amat kuat, emosi campur aduk yang tidak bisa dijelaskan, juga ingatan dunianya juga milik Calista yang bertubrukan.

Pusing, sesak, sakit. Evelia ingin menangis keras. Rasanya dia sudah mencapai batas kemampuannya sebagai makhluk lemah. Suaranya kali ini tidak keluar ditambah tenaga yang sudah hampir lenyap ditelan bumi. Tanpa suara, tanpa ekspresi, tanpa tenaga. Air matanya bercucuran membanjiri pipi. Dia benci. Dia benci menjadi lemah. Benar-benar benci dibandingkan dengan semua kebencian terhadap dunia nyata yang sekarang amat dia rindukan. Rasanya dia bisa menjadi gila.

"Dokter! Ada apa ini?!" Ayah berseru panik menghampiri dokter yang masih memeriksa kondisi Evelia.

Dokter tidak menjawab beberapa saat sebelum akhirnya mulut yang bungkam terbuka. "Apa putri Anda menyantap makanan jalanan atau makanan yang tidak sehat? Atau malah menyantap makanan pedas? Seperti yang Anda ketahui, tubuh putri Anda rapuh dan lemah. Tubuhnya sangat sensitif dengan makanan tidak sehat dan menimbulkan reaksi yang tidak terduga seperti ini."

Ah. Evelia paham. Tubuh ini sensitif dan lemah. Bisa-bisanya dia melupakan hal itu. Sementara yang lain mendengar hal tersebut menunjukkan raut wajah serius, terlebih kakaknya. "Calista..., maafkan Kakak. Harusnya ini tidak terjadi jika tadi Kakak tidak membiarkanmu pergi sendiri. Maaf...."

Suara pemuda itu bergetar, ekspresinya yang selalu serius melembut dengan sorot rasa bersalah yang kuat. Evelia ingin berbicara, mengatakan tidak apa-apa. Ini memang kesalahannya, terlebih dia mendekati Cavin yang sialnya tidak bisa ditolong lagi. Jadi ini semua kesalahannya. Tapi, ketika mulutnya terbuka, tidak ada yang keluar dari sana. Suaranya tercekat, dalam hati Evelia mengumpat.

"Tidak apa-apa, Alfie. Lagipula bukankah Evelia bisa sembuh Dokter?"

Dokter yang mendengar pertanyaan dari kepala keluarga Mckinzy. Yakni Hubert Mckinzy, menghela napas menatap pria paruh baya di depannya serius. "Ya, tentu saja. Kita hanya memerlukan waktu istirahat untuk putri Anda. Dan juga minum obat teratur dan menjaga pola makan. Ya, sekitar seminggu juga pasti sudah membaik."

"Syukurlah," desah wanita dengan surai coklat yang notabenenya ibu Calista. Dengan hati-hati dia mendekati putrinya lantas mencium dahi itu hangat. "Terima kasih, Tuhan. Atas berkatmu putri kami masih bisa diselamatkan."

Evelia menatap keluarga Calista yang menatapnya penuh kehangatan. Tangannya yang lemah meremas selimut di balik dekapan wanita menawan di hadapan. Ini bukan miliknya. Dan dia harus kembali. Tidak peduli. Dia harus kembali ke rumahnya walaupun di sana yang menantinya hanyalah kesengsaraan.

.

.

.

Gadis dengan surai hitam panjang terdiam di kamar mewah sembari meringkuk memeluk lutut. Sudah seminggu sejak kejadian dia berpura-pura kerasukan yang mengakibat Luna dibasuh air suci setiap hari oleh ahli agama di negeri ini. Dia bahkan dianggap menjadi wadah iblis. Tidak waras bukan?

"Lia..., kamu di mana sih? Aku capek di sini terus."

Luna yang awalnya terbaring segera terduduk mendengar suara pintu yang terbuka. Terdapat di depan pintu pria dengan surai pirang pucat di bawah samar sinar lampu menatap datar. Luna, mendecih, apalagi yang diinginkan si jahat ini, huh?

"Mau berjalan-jalan? Utusan mengatakan kini kau sudah suci dari iblis."

Luna memutar bola mata malas kembali menjatuhkan diri ke atas ranjang. Padahal dia hanya berpura-pura kerasukan, bagaimana mereka bisa menganggapnya serius? Bahkan sampai mengikatnya tujuh hari tujuh malam dibasuh air suci oleh pemuka agama. Luna trauma jujur saja dengan itu. Lagipula Luna hanya menginginkan tidur panjang tanpa terhubung orang-orang gila, dia hanya ingin kembali.

Luna bisa mendengar suara langkah kaki mendekat sementara Calix duduk di samping ranjang yang kini bergoyang sedikit. Pria itu duduk di sana menatapnya kosong. "Kau tahu? Aku tidak paham denganmu lagi kali ini. Aku hanya akan mengajakmu sekali lagi. Aku tidak akan mengulanginya untuk kedua kali. Apakah kau mau ikut aku berjalan-jalan?"

Setelah sunyi untuk beberapa waktu, Luna akhirnya kembali bersuara memikirkan ke mana Calix akan membawanya. "Ke mana? Ke mana kamu mau mengajakku pergi? Yang pasti aku tidak ingin kembali ke rumah."

"Ibukota. Di sana ada festival hari pahlawan. Kau bisa menemaniku ke sana."

Luna menghela napas panjang, netranya yang sayu melirik pria yang duduk di samping. Tokoh antagonis. Pria ini adalah antagonis dalam novel yang akan membunuhnya, juga akan mati karena akhir tragis yang Luna dan Evelia buat. Sudahlah, jangan berpikir lagi, dia juga perlu menghirup udara segar. "Baiklah. Aku akan segera bersiap."

Luna tidak peduli, pikirannya kosong. Dia hanya ingin kembali, tapi, dibandingkan menjadi depresi dan tidur selama seharian di atas ranjang lebih baik dia melihat dunia ini lebih jauh. Mau bagaimanapun dunia ini diciptakan olehnya dan sang sahabat. Barangkali akan ada keajaiban.

"Baiklah, aku akan menunggu dan menyiapkan kereta."

Pria itu bangkit dan pergi, samar-samar Luna bisa melihat tampang datar itu melembut dibanding tatapan kosong yang tidak memiliki kehidupan. Sungguh. Kenapa dia menciptakan dunia mendekati kiamat dengan tokoh zombie hidup seperti itu?

.

.

.

Evelia sudah memikirkan dalam waktu lama tentang kemungkinan Luna ikut masuk dunia ini. Jika benar begitu mereka bisa menyelesaikan kekacauan dunia ini bersama! Karena itu setelah sembuh beberapa hari kemudian. Evelia merengek semalaman, dia meminta kepada keluarga Calista untuk membiarkan dia naik ke menara jam pemberitahuan.

Yup! Benar! Menara jam pemberitahuan sebelumnya. Biasanya tempat itu dijadikan tempat pengumuman darurat dan bisa terdengar hingga seluruh penjuru ibukota. Dibanding tidak berusaha sama sekali. Dia bisa melakukan sesuatu mengatakan kehadirannya di sini barangkali memang Luna masuk dalam novel juga.

"Calista. Apakah kamu benar-benar yakin, 'Nak?"

Evelia membuat ekspresi sedih dengan mata berkaca-kaca yang membuat pria dengan surai hitam yang hampir memutih tidak bisa berkata-kata. Sekarang dia bersama ayah Calista yang meliburkan dirinya demi menemani sang putri. Terlihat sekali, pria itu sangat menyayangi Calista. Sayang saja tubuh ini dirasuki jiwa author laknat sepertinya. "Kan..., Ayah sudah berjanji. Ayah mau berbohong, ya? Hiks."

"Tentu. Tentu saja tidak. Tapi apa yang ingin kamu umumkan. Jika itu hal yang berbahaya. Kita bisa diburu istana."

"Ayah...,"

"Baik-baik. Ayah tidak akan bicara lagi."

Evelia tersenyum kecil ketika membalikkan tubuhnya dari pria tua itu. Ya, kemampuan aktingnya semakin bagus. Dan dia amat sangat bangga akan hal itu. Dengan menekan tombol merah dan mendekatkan mulutnya di tempat untuk membesarkan suara. Evelia menarik napas panjang. Dia yakin sinyalnya bisa diterima Luna jika gadis itu benar-benar masuk ke dalam dunia ini.

"INNALILAHI WA INNALILAHI RAJI'UN! TELAH DIPANGGIL LUNA KE RAHMATULLAH OLEH LIA DI TEMPAT PALING INDAH DI DUNIA ANCUR INI! DATENG WOY YA! OTW CEPET!"

Suara Evelia menggema di seluruh penjuru ibukota yang membuat orang-orang kebingungan karena tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Mereka menganggap mungkin itu ulah iseng anak bangsawan kurang kerjaan.

Sementara gadis dengan surai hitam panjang dengan topi lebar menatap menara itu penuh arti. "Lia..., Akhirnya kita bisa ketemu."

Bersambung...

04/04/2023

Stay Away From The Authors! [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang