11. Tolongin napa!

118 19 45
                                    

Calix Beuaregard adalah Putra Mahkota dari Kerajaan Eden. Tidak ada yang bisa menentang keputusannya sebagai seorang penerus takhta yang memiliki dukungan kuat dari Marquiss Shaquille yang terikat kuat dengan kejahatan. Tapi, atas hal itu otoritasnya tidak bisa ditentang karena keseganan dan ketakutan fraksi bangsawan lain.

Calix kini berada di kamar Ratu. Matanya menatap Ibunda yang terbaring sakit di atas ranjang. Wajah cantik dengan rambut pirang pucat, kulit seputih salju dan iris mata tourmaline dengan warna merah transparan yang indah kini redup. Wajah dengan kerutan itu semakin kurus dari ke hari. Banyak dokter yang didatangkan. Tapi, tidak ada yang berhasil, karena masalahnya ada pada pikiran.

Masalah itu cukup wajar, mengetahui bundanya memiliki banyak penghinaan sebagai seorang Ratu yang berasal dari negeri musuh. Bukan hanya para bangsawan, bahkan Raja pun yang mencintai Permaisuri tidak pernah sekalipun melirik ibunda. Raja sendiri tidak sudi memberikan kursi Permaisuri bagi Ratu hingga di satu titik ibunda yang masih hidup bisa disebut keajaiban.

"Yang Mulia Putra Mahkota. Raja memanggil."

Calix mengangguk melirik ibunda yang melambaikan tangan lemah dengan tatapan kosong, wajahnya yang penat terbatuk kecil. "Pergilah. Temui, Yang Mulia. Beliau sudah menunggu." Calix bisa mendengar suara lemah yang makin mengiris hati, masih berekspresi dingin dia menunduk lantas pergi. Tatapan sayu tampak jelas sesaat keluar dari ruangan, apa dosa ibunda dan dirinya hingga diperlakukan seperti ini?

Calix tidak menginginkan posisi yang membuat dia dan ibunda sengsara. Tapi, mengapa? Bahkan walau Calik atau sang ibunda bertahan, tidak ada yang menyambut mereka atau mengulurkan tangan dengan tulus. Mereka seolah-olah dianggap sudah mati di pandangan Raja yang mencintai Permaisuri.

Pun walau dirinya adalah seorang Putra Mahkota. Calix diangkat hanya karena dia anak pertama. Diketahui perubahan takhta terjadi dikarenakan Permaisuri tidak bisa memiliki keturunan, itulah salah satu alasan yang membuatnya jadi Putra Mahkota. Walau begitu, pada awal pengangkatan takhta, dia tidak memiliki pendukung yang menyebabkan kehidupan Ratu maupun Calix terasa layaknya neraka. Tekanan yang diberikan para bangsawan bukan hal main-main, bahkan mengincar nyawa mereka.

Tidak punya pilihan lain akhirnya Calix terpaksa menggapai tangan Marquiss Shaquille mementingkan keselamatan nyawanya dan ibunda. Walau dia harus bertunangan dengan gadis jahat dan menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri, dia tidak peduli. Yang dia inginkan untuk memastikan hidupnya aman dari bahaya. Langkah panjang kini mencapai titik tujuan, menekuk lutut, dia menunduk hormat, menghadap Raja yang kini berada di atas singgasana.

"Salam hormat kepada Yang Mulia. Berkah langit menyertai Anda."

"Angkat kepalamu."

Calix menatap wajah di atas singgasana lantas menggulirkan pandangan ke arah lain. Tangannya dengan setia berada di depan dada melakukan penghormatan. Di atas sana pria tua dengan wajah persis seperti Calix dengan versi tua memandang sinis. "Aku tidak peduli rencana apa yang kau dan ibumu itu jalankan. Hanya saja, mengapa kau menjadikan Keluarga Shaquille sebagai pendukungmu? Kau tahu betul, hanya kehancuran yang menanti di depan mata membawa mereka sebagai pendukung."

Calix menggenggam tangannya kuat, tatapannya masih datar, memangnya siapa yang membuat dia terpaksa dalam lubang kejahatan-- sebagai boneka keluar penjahat itu? Tidakkah orang di depannya ini sadar? Mengatur napas dengan tenang dia menjawab. "Mereka adalah potensi yang bisa saya kembangkan di masa depan-- untuk mengendalikan dunia gelap lebih erat dan menjadikannya senjata berharga. Sebelumnya terima kasih atas perhatian Yang Mulia pada Ratu. Itu sangat berharga." Calix benci mengakui orang ini adalah ayahnya, itu sangat menjijikkan.

Raja menggelengkan kepala tertawa sumbang, menatap putranya tidak suka. "Sejauh apa pun kau berusaha. Kau tak akan pernah berhasil. Ingat itu. Aku tidak akan membiarkan kalian." Calix tersenyum tipis menatap pria itu dingin-- menyandingkan senyum formal menunduk sebelum pergi. "Silakan. Lakukanlah, Yang Mulia. Saya yakin bisa melewati rintangan yang Anda berikan. Saya pamit undur diri. Semoga berkah langit menyertai Anda."

Sesaat keluar dari ruangan dia bisa mendengar benturan benda hancur, menandakan Raja sedang murka. Tapi, dia sudah tidak peduli lagi, sedari awal pria tua itu sudah menjadi musuhnya. Dengan ekspresi kosong Calix menyusuri jalan menuju istana Putra Mahkota, tepatnya ke ruang kerja. Entah kenapa istana saat ini terasa sunyi, mungkin karena seminggu terakhir Ayudia dan teman barunya selalu bising dan bermain. Jadi tempat sunyi ini menjadi ramai walau kini kembali sepi.

"Yang Mulia?"

Ajudan Calix mendekati meja kerja tuannya memberikan tumpukan dokumen. "Apakah Anda lelah?" Calix menggeleng sembari mengambil dokumen dan kembali mulai bekerja. Perasaannya kosong, sepi, dan hampa menghinggapi. Tempat ini terasa kembali sunyi dan membuatnya tidak nyaman tanpa alasan. Tanpa sadar mulutnya terbuka. "Ke mana perginya Ayudia dan temannya itu?"

Sang ajudan yang memeriksa dokumen melirik tersenyum kecil, ada sedikit godaan di sorot matanya. "Anda merindukan mereka ya? Tempat ini memang cukup ramai setelah kehadiran keduanya. Nona Shaquille tadi mengatakan akan berlibur keluar untuk beberapa hari."

Calix yang mendengarnya menjatuhkan dokumen menatap ajudannya itu serius. Padahal gadis itu tidak mengatakan apa pun. Pikiran kotor terlintas di kepala segera dia hempaskan. "Aku akan pergi mengikutinya. Hari ini aku akan mengambil jatah cuti." Ajudan mengangguk kebingungan melihat tuannya pergi. Padahal Putra Mahkota jarang sekali berlibur, mungkin dia ingin berlibur dengan kekasihnya.

Calix merasa perasaannya tidak nyaman. Hari sudah sore ketika dia mengikuti jejak Ayudia hingga sampai di ujung kota kecil masih di wilayah Negeri Eden. Kota kecil itu terkenal akan rumah sakit jiwa angker. Apa yang hendak gadis jahat itu lakukan? Setidaknya jika gadis itu selingkuh, dia harus memilih tempat yang bagus. Bukannya suram seperti ini.

Setelah mendapatkan info dari warga sekitar tentang keberadaan mereka-- tentang dua gadis yang menuju rumah sakit jiwa, segera saja Calix beranjak pergi ke sana. Malam sudah datang, langit menggelap dan dirinya menggunakan obor sebagai penerangan. Harusnya dia tidak khawatir seperti ini, mengapa juga dia begitu sensitif? Calix tidak mengerti.

Setelah lama berjalan, akhirnya dia menemukan seseorang dengan penampilan kacau terduduk di tanah. Rambut palsu terlepas dari kepalanya. Dengan cepat pria itu bisa mengenali siapa gadis berantakan ini. Ah, ketemu juga. "Apakah kamu memiliki hobi duduk di tanah, huh?"

Luna yang mendengar suara Calix, menatap penuh harap menarik pakaian pemuda itu cepat. "Tolong saya! Calista ditangkap orang jahat!" Calix yang mendengar itu mengerjap bingung sebelum menepuk bahu tunangannya menenangkan. "Tenang. Siapa orang itu?"

Luna menggigit bibirnya, menunduk dalam. Apa ya, yang akan dilakukan Evelia dalam kondisi saat ini? Sudahlah, bodo amat! Cerita ini memang sudah hancur sekarang! Kacaukan saja semuanya sekalian. "Saudara seayah Anda. Putra dan Permaisuri. Pangeran Cavin yang dikutuk!" Calix yang mendengarnya membeku, menggenggam ujung pedangnya dia melirik Ayudia memastikan tidak ada kebohongan sebelum akhirnya mengangguk kembali meyakinkan diri. "Kenapa aku harus percaya?"

Luna mau menangis mendengarnya, waktunya tidak banyak. Dia sangat khawatir pada Evelia sekarang. "Tolongin napa! Aku khawatir sahabat aku kenapa-kenapa!" Calix terdiam mendengar seruan gadis itu, tidak peduli benar atau tidak. Dia harus menyelamatkan teman tunangannya. "Kalau begitu, mari kita pergi."

"Terima kasih." Keduanya menaiki kuda bersamaan memecut kuda dengan kencang hingga sampai di tempat kereta tadi. Evelia terlihat terbatuk darah mengambil jarak dengan Cavin yang berada di depannya mulai menangis dengan suara serak berbicara samar. Dasar sialan! Luna meremas tangan Calix menatap khawatir Evelia. Calix tercekat segera waspada melihat pria di hadapannya-- segera mengacungkan pedang. "Menjauh dari gadis itu. Dan jangan dekati dia lagi. Pangeran Cavin Beuaregard." Kata-kata penuh penekanan terlihat jelas membuat sang empu yang dituju terkejut bukan main.

"Hah. Sepertinya ini bukan kebohongan. Jangan mendekat atau aku akan membunuhmu." Calix bisa merasakan emosinya yang naik, rahasia Raja telah ditemukan. Jika dibiarkan pria ini yang akan mengambil posisinya sebagai penerus takhta di masa depan. Luna sudah menyadari, di titik ini alur cerita sudah sepenuhnya berputar 180 derajat.

Bersambung...

09/04/2023

Stay Away From The Authors! [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang