20. Penyihir tukang ngamuk!

71 13 19
                                    

Evelia menatap Luna yang masih tertidur di sampingnya. Langit sudah mulai cerah, sekitar pukul tujuh, kini waktunya mereka menjalankan misi selanjutnya. Yakni berdamai dengan penyihir galak tukang ngamuk. Ini akan menjadi hari yang berat.

Evelia menyelimuti gadis itu beranjak turun ke lantai satu. Dirinya lapar, apakah ada makanan di tasnya yang masih tersisa? Ketika sudah sampai di lantai satu, dia menemukan kedua saudara yang kini saling menatap tajam. Gadis itu menghela napas menduduki sofa melihat persediaan dalam ransel. "Baru bangun, masa udah berantem aja. Kalian ini udah gede, lho."

Calix yang sedari tadi memasang tampang datar segera melembut ketika mendengar suara Evelia. "Kami tidak bertengkar. Hanya mengobrol sedikit." Pria itu mendekati gadis itu, berjaga-jaga jika dibutuhkan. "Kamu lapar?" tanya Calix. Hubungan mereka sekarang aneh, setelah pelukan semalam Evelia dengan wajah memerah tertawa sendiri sebelum kabur ke kamarnya, sementara Calix memilih satu sikap tegas; dia mau menolong gadis itu bagaimanapun caranya.

Evelia mengangguk, di tasnya dia hanya menemukan roti untuk sekali sarapan untuk mereka semua serta beberapa butir apel. Untuk air sudah ada di villa, rasanya Evelia benar-benar merindukan makanan lokal di dunianya. Nasi, gorengan, dan seblak. "Makan, yuk. Cavin kamu bisa bakar rotinya biar hangat? Aku bakal potong buahnya."

Evelia beranjak dari duduk membawa makanan dan meletakkannya di atas meja dapur yang terletak dekat dengan tangga. "Apa ada yang bisa aku bantu?" Evelia melirik Calix mengangguk, memberikan apel-apel untuk dipotong.

Setelah roti diletakkan di atas meja. Cavin menariknya dengan kekuatan sihir dan berusaha dengan fokus tinggi untuk membakar roti dengan api kecil. Sementara itu Evelia dan Calix masih mencuci apel kemudian memotong. Menyimpan roti yang sudah hangat di atas empat piring, Cavin melirik sekitarnya mencari keberadaan Luna.

"Udah selesai, Cavin? Kalau udah, tolong bangunin Luna. Dia tadi malam begadang. Jadi kamu tolong bangunin, suruh dia sarapan."

Cavin yang mendengarnya mengangguk sebelum melangkah, Evelia meliriknya sekilas. "Jaga jarak sama kita pas jalannya, oke?" Cavin mengangguk tidak tersinggung dan mengambil jarak yang cukup sebelum melangkah menaiki anak tangga. Baru saja beberapa langkah, dia kemudian terjatuh dan terguling ke bawah. "Kesialan, pertama. Semangat Cavin."

Calix dan Evelia yang sedang memotong buah tertawa sebelum Cavin berdecak sebal dan menggunakan kekuatannya melayang untuk sampai di kamar Luna. Di depan kamar, dia membuka pintu, dan menemukan Luna masih tertidur lelap dalam balutan selimut tebal. "Luna. Ayo, bangun. Sarapan dulu."

Luna yang mendengarnya segera bangkit dari kasur, tubuhnya yang baru saja limbung hampir ditangkap Cavin, sebelum gadis itu sudah kembali menjatuhkan dirinya di atas kasur. "Males~ kalian duluan aja." Luna menguap lebar, kembali meringsut menarik selimut.

Cavin tersenyum hangat dan mengangkat gadis itu dengan kekuatan sihir, dia tahu Luna tidak suka kontak fisik. "Yuk, aku bawa kamu ke bawah." Surai panjang Luna yang berantakan seketika terurus, juga bajunya yang tadinya kusut menjadi rapi. Sepertinya kekuatan pria itu sudah berkembang dengan baik setelah kemarin ditempa kesialan yang berurusan dengan hewan buas dan titan. Luna menghela napas, membuka mata mulai bergumam kecil, "Thanks, Cavin."

Luna dan Cavin melayang menuju meja ruang keluarga tempat semalam mereka terduduk. Di meja itu sudah tersedia air, potongan apel dan juga roti hangat. Sementara di meja seberang, tempat Evelia dan Calix mereka berdua terlihat sudah menunggu keduanya. "Selamat makan~"

"Ngomong-ngomong, Evelia dan Calix. Apa kalian ada hubungan? Calix terlihat lebih penurut."

Calix dan Evelia terdiam, kemudian tertawa canggung melihat kepolosan Cavin juga ketidakpekaan pria itu. Dengan mengerucutkan bibirnya Luna mendengkus kesal. "Mereka keliatan banget lagi jatuh cinta," jengkel sang gadis. Kedua mulut sang empu terkatup, apa terlihat jelas? Atau Luna memang peka dengan mulutnya yang tajam?

Cavin yang mendengarnya merasa sangat malu, tapi orang yang dibicarakan kini tertawa kecil, Evelia bukan malu-malu amat, tapi dia masih menjaga jarak. Sementara Calix sudah menerima perasaannya juga tidak menuntut lebih. Cavin menatap Luna serius. "Luna. Kamu mau juga?"

"Najis!"

.

.

.

Mereka kini sudah sampai di menara penyihir, Calix menggunakan kekuatannya untuk menjinakkan serigala dan membawa mereka kemari agar cepat sampai tujuan. Menara tinggi di tengah hutan terpencil. Mereka saling tatap sebelum Evelia mengetuk pintu menara.

"Halo. Selamat pagi."

Pintu belum juga dibuka, tidak menyerah Evelia kembali mengetuk hingga tiga kali. Ketika pintu terbuka, terlihat pria tua dengan janggut putih lebat, dahi mengerut, netranya yang berwarna hijau transparan terlihat tidak bersahabat menatap tidak suka.

"Kalian salah alamat anak muda. Silakan pergi."

Baru saja pintu hendak ditutup, Calix dengan sigap menahannya sebelum Evelia memasang senyum memelas, kembali meluncurkan sandiwaranya. "Bukankah Anda adalah Tuan Avin Hajirly? Anda adalah penyihir yang melindungi Kerajaan Eden pada pemerintahan dua raja sebelumnya. Kami yakin tidak salah tempat."

Dengan kesal penyihir itu mengapungkan mereka semua dan menjatuhkannya dengan kasar ke rerumputan halaman. "Aku tidak lagi berhubungan dengan Kerajaan sialan itu. Jadi jangan harap aku membantu kalian. Pergilah." Jelas sekali tidak ramah, mereka kembali melayang dengan kekuatan sihir seolah ingin diterbangkan pergi jauh-jauh.

Aduh, repot sekali. Evelia mulai panik begitu juga dengan Luna. Belum mulai saja sudah gagal, tidak disangka kali ini Cavin mengambil inisiatif. Pemuda tampan itu berteriak dengan seruan kesal. "Saya adalah anak dari raja brengsek saat ini yang anda kutuk! Biarkan saya meminta penjelasan dari Anda yang telah mengutuk kesialan pada saya seumur hidup!"

Penyihir yang mendengar seruan Cavin kembali menjatuhkan mereka semua. Dengan ragu sembari mengelus janggutnya dia menatap Cavin tertawa remeh. "Hahaha, aku kira kau sudah mati. Masih hidup juga kau?" Mereka merasa perkataan itu keterlaluan-- hanya author yang boleh menistakan tokoh fiksinya, orang lain jangan.

"Bisa-bisanya Anda mengatakan hal itu. Padahal Anda sendiri bagian dari keluarga kerajaan yang dibuang, apa saya salah?" Penyihir itu menyorot Luna semakin terganggu, sebelum berhasil memberikan serangan, Calix terburu mengendalikan alam membuat akar tumbuh menarik pria tua itu hingga jatuh ke tanah.

Penyihir yang tidak senang merapalkan mantra membuat tubuh mereka semua kaku-- tidak bisa bergerak. Tatapannya tajam, penyihir tidak suka masa lalunya dibahas-bahas, mengepalkan tangannya perlahan, tanpa pandang bulu dia ingin menyingkirkan mereka semua untuk dilenyapkan.

Evelia panik, jelas saja orang tua tempramental, wajah emosi lagi-lagi menunjukkan kebencian. Jika begini mereka semua akan mati! "Tunggu! Anda tidak bisa membunuh kami! Ada fakta yang harus kami sampaikan pada Anda yang selama ini Anda cari! Ini semua tentang putri Anda, Alikha Hajirly!"

Penyihir yang mendengarnya terdiam, emosinya mereda kemudian memakai sihir dia menarik tubuh Evelia mendekat dan mengusap wajah gadis itu dengan tatapan serius. "Apa yang kau tahu? Katakan!" Evelia merasakan tubuhnya secara perlahan diikat kuat oleh sesuatu tak kasat mata. Ugh, orang tua ini tidak main-main, berburu waktu, perlahan juga jelas dia berbicara setengah sesak. "Putri yang Anda cintai sejujurnya masih hidup. Dia masih hidup sampai kini dan dia terjebak dalam cengkeraman raja bangsat itu!"

Penyihir tua tampak terkejut, untuk sesaat dia kehilangan kontrol dan membuat mereka semua bisa bernapas. "Katakan dengan lebih jelas.... Atau aku bunuh kalian semua!" Evelia tertawa kecil, melirik pria itu tajam, umpan sudah diberikan, kini dia yang harus memegang kendali. "Penyihir tua tukang ngamuk! Tidak malu kah jika Alikha mengetahui sifat buruk Anda saat ini? Memangnya Alikha tidak akan takut?"

Penyihir tua terlihat kesal, tapi perkataan gadis dengan surai pendek hitam serta netra samudera itu benar. Dengan perlahan dia menurunkan mereka semua dan membukakan pintu menara. Wajahnya masih tidak ramah seperti di awal. "Mari kita masuk. Aku butuh penjelasan lebih lanjut."

Bersambung...

13/04/2023

Stay Away From The Authors! [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang