Luna masih mengusap kepala Cavin ketika dirinya tersadar telah menyentuh pria. Padahal dirinya adalah jenis cewek yang anti pria, terlebih punya teman yang terkadang sifatnya seperti buaya betina dan pandai bersandiwara disukai semua orang. Membuat dia lebih tertutup karena semua acara sosial selalu diwakili temannya dalam percintaan bahkan pertemanan.
Dengan terburu dia mendorong kepala Cavin dan menarik diri menjauh segera memeluk dirinya sendiri. "Jangan coba-coba deketin aku walaupun kamu ganteng, oke? Itu gak bakal mempan." Cavin yang mendapatkan ekspresi itu menjadi sedih dan membuang wajahnya dengan ekspresi memelas. Sikapnya benar-benar seperti anak anjing yang ingin diperhatikan.
"Apaan sih? Aku cuman kaya gitu doang. Bukan berarti aku benci kamu. Emang pada dasarnya love language aku tuh, word of affirmation. Aku gak terlalu suka sentuhan fisik, apalagi kita kan gak terlalu deket." Luna berusaha menjelaskan kenapa dirinya tidak nyaman, tapi pria itu masih saja cemberut layaknya anak kecil. Sedikit gemas tapi nggak juga.
"Kamu tuh tokoh utama nggak guna," rutuk Luna, karena dia berpikir tokoh utama setidaknya akan lebih dewasa, tapi ternyata tidak. Dia lebih cocok mirip seperti anak anjing haus perhatian. Perkataan itu membuat Cavin sedih, padahal dia juga bersikap seperti ini karena itu Luna; satu-satunya orang yang terbebas dari kesialan.
"Aku tidak terlalu mengerti apa itu love language atau apa itu word of affirmation. Aku hanya senang ada orang yang bisa kuajak menghabiskan waktu bersama tanpa kekhawatiran seperti orang itu terkena sial."
Cavin berujar muram, netranya mengartikan banyak penolakan yang membuat hati Luna terenyuh untuk beberapa alasan. Memang benar, pria ini menyebalkan dan juga bodoh. Tapi, pria ini bukanlah anak yang jahat. Bahkan dia pun tahu kalau anak ini sangat menginginkan kehidupan normal. Dengan sedikit kesal Luna melirik Cavin dan menepuk tempat di sampingnya, oke, baiklah kita coba sedikit saja. Cavin yang mendapati kode itu langsung saja mengangguk senang segera duduk di samping Luna yang kini menyenderkan kepalanya di bahu pemuda itu. "Kalau segini, cukup, kan?"
Cavin mengangguk puas, senyumannya sangat manis meluluhkan sudut hati dingin Luna. Sebagaimana netra hijau transparan yang lembut, juga rambut pirang emas yang menawan. Kulitnya yang putih kemerahan sangat pantas dengan rupa layaknya malaikat seperti itu. "Tahu gak rahasia?"
"Apa?"
Luna terkekeh, setidaknya dia suka bagaimana Cavin selalu mau mendengarkan obrolan randomnya, melirik pria itu dia mulai kembali melanjutkan ucapannya. "Kamu punya kekuatan sihir. Kekuatannya besar lagi. Kamu aja yang gak sadar."
Cavin terlihat tidak percaya menatap gadis itu antusias. Dia tidak pernah berpikir memiliki kekuatan ajaib. Netranya berbinar cerah dengan senyuman lebar. "Benarkah?" Luna kembali tersenyum menggerakkan tubuhnya kecil. "Bener. Aku gak bohong."
Dengan takjub Cavin menatap tangannya, dia sangat ingin tahu bagaimana cara sihirnya bekerja. Lagi-lagi Cavin melirik Luna penasaran, dia ingin tahu lebih jauh. "Bagaimana caranya?" tanyanya penasaran. Pria itu merasa sangat senang dengan fakta dia memiliki kekuatan.
Dengan perlahan Luna berlutut di depan wajah Cavin. Tangan sang gadis menyentuh dahi tokoh utama novel, kini tubuh mereka sangat dekat-- Cavin merasa tegang sekaligus nyaman. Tepat di dahi mendekati anak rambut, Luna menekan tahi lalat yang tersembunyi milik Cavin dan merapalkan beberapa mantra hingga cahaya bersinar keluar dari tubuh pria itu.
"Coba kamu fokuskan energimu pada bebatuan berjajar di depan kita dan pikirkan api kecil yang menyala." Cavin menurut segera mengikuti instruksi Luna. Hingga api pun menyembur keluar dengan tidak stabil hampir melahap mereka sebelum akhirnya kembali dipadamkan. Ekspresi ceria dengan kekaguman tergambar jelas ketika senyuman lebar terpampang. "Ini menakjubkan!"
Luna tertawa menatap Cavin yang kini semakin bersemangat. Dengan lembut dia kembali berkata. "Sejujurnya, kekuatan kamu itu kuat pada sihir hitam. Kaya kutukan, pelet, santet dan lain-lain. Tapi, sebenarnya sihir kamu bisa stabil kalau kamu latih. Asalkan harus ada aku ya, kalau nggak nanti malah nyakitin orang."
Cavin mengangguk menurut, meremas tangannya kuat-kuat. Dia senang, akhirnya dia bisa melakukan hal yang bisa dibanggakan. Dia bisa berguna, bukan sekedar sial saja. "Berarti aku harus menempel denganmu?" Luna yang sedari tadi tertawa ikut tertular kesenangan Cavin mulai terdiam, senyumnya luntur digantikan dengan ekspresi waspada. "Aku gak suka dibuntutin, ya."
"Bercanda." Cavin tersenyum manis membuat Luna berdecak kesal, tidak bisa marah dengan ketampanan tingkat dewa. Hah.... Memang sungguh menguntungkan ya, punya wajah good looking. "Terus apalagi yang aku tidak tahu tentang diriku?" Luna memajukan bibirnya, kesal. Mengapa juga pria ini bertanya padanya tentang dirinya sendiri? Lagipula sekarang mereka sudah aman, lebih baik beristirahat. "Kenapa nanya gitu?"
"Kamu kan, Author dunia ini."
Luna tidak bisa membalas ucapan Cavin dan menepuk dahinya. Benar juga. Bagaimana dia bisa lupa akan hal itu? Dia menatap percikan air berpikir sebelum kembali bicara. Baiklah, dia akan memberitahukan hal-hal random seperti biasa. "Kamu tuh, sebenarnya gak pengen nurut aja sama perintah orang. Kamu tuh sebenernya pengen berontak, pengen keluar dari kekangan dan bebas. Kamu tuh, pengen banget jadi orang normal. Terus kamu juga benci sama orang tua kamu. Karena kamu pikir mereka ngebuang kamu. Dan selalu berharap kalau kamu emang terlahir di Keluarga Mckinzy."
"Kamu juga suka banget sama hewan imut. Cuman karena kamu laki-laki, kamu malu ngakuinnya. Kamu pengen punya adik kaya Calista dan Kakak kaya Alfie. Kamu juga suka banget makanan manis, tapi yang fresh kaya jus buah, puding, atau eskrim. Kamu suka banget musim gugur. Soalnya kamu suka diem-diem hujan-hujanan. Dan juga, kamu tuh punya hati yang tulus. Walau kebanyakan terkesan bodoh."
Cavin mendengarkan penjelasan Luna yang memiliki seratus persen kebenaran di dalamnya. Semua yang dikatakan gadis itu benar, mulai dari perasaannya yang liar, tentang apa yang diinginkannya, sesuatu yang dia suka. Walau dia agak kurang setuju dengan pernyataan terakhir, tapi terkadang dia merasa bersikap demikian. Sekarang Cavin yakin 100 % jika Luna adalah author. "Kalau kekurangan?"
Luna menatap langit-langit gua, semakin bersandar, matanya memberat, dia sudah kembali mengantuk. Sembari menyender pada bahu Cavin dia menjawab. "Terlalu baik, bego, implusif, gak perhitungan, perasa, gak pake logika, mentingin orang lain, keras kepala. Hoam..., juga, kamu gak bisa banget yang namanya loncat. Hehe, itu rahasia ya, kamu kurang banget kalau dalam hal loncat meloncat. Sama kamu tuh gak bisa masak, pasti selalu gagal." Luna tertawa kecil, matanya mulai terpejam sementara Cavin merasa sangat nyaman sekaligus asing dengan kedekatan ini.
"Apa yang kamu suka dari aku?"
"Hoam.., apa ya? Ganteng, lembut, pengertian, jago banget soal itu...,"
"Itu?"
"Luna?"
Cavin mendapati Luna sudah terpejam di sampingnya. Dengan perlahan dia mengambil ransel dan menemukan selimut tipis, setidaknya cukup menghalangi angin. Dia memposisikan Luna dengan nyaman di sampingnya dan menggunakan selimut itu bersama. "Terima kasih untuk hari ini, Author Luna."
Cavin tersenyum hangat, dia menidurkan Luna di lengannya. Tatapan pria itu terarah pada gadis di sampingnya yang kini tengah tertidur. Dia merasa jantungnya berdebar kencang, dia merasa aneh juga senang, ada sesuatu yang menggelitik di dalam dirinya. Tanpa sadar Cavin mengeratkan dekapannya, senyum kecil rekah. Matanya mulai ikut terpejam.
Sudahlah, itu tidak penting. Cavin lebih memilih menikmati masa ini, setidaknya dia bisa senang dan itu yang terpenting.
Bersambung...
12/04/2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Away From The Authors! [TERBIT]
FantasiComedy - Fantasy Sebagai seorang penulis, biasanya mereka akan mencintai semua tokoh yang dibuatnya, bahkan tokoh penjahat sekalipun. Alasannya cukup simpel, karena para karakter adalah anak-anak yang mereka ciptakan. Walau begitu dua author laknat...