(2021) 2. Nyatanya memang alpha

116 9 7
                                    

Tiap hari membosankan. Tapi kali ini sangat kelewatan. Sejak pagi berbagai media pemberitaan cuma membahas 1 pernikahan. Antara seorang laki-laki alpha anak mentri dengan perempuan omega anak pemilik perusahaan minyak.

"Mereka senang sekali menjadi pusat perhatian." gumamku yang baru keluar dari dalam kamar dan mendapati kakakku duduk menonton TV di ruang tengah.

Dia menoleh.

"Itu kalimat pertama yang keluar dari mulutmu setelah tidur seharian?" keluhnya.

Aku tidak tidur seharian. Meski tidak keluar dari kamar, aku sudah bangun sebelum matahari muncul. Hanya saja aku memang melewatkan sarapan dan makan siang. Makanya sekarang perutku lapar.

"Dimana ayah dan ibu?" tanyaku, sudah duduk di sampingnya.

"Ayah berlatih menembak. Kalau ibu... mungkin merawat tanaman di belakang. Mereka sangat aktif meski sudah tua. Tidak sepertimu."

"Aku tidak mau mendengar komentar itu darimu."

"Apa maksudmu?"

Tidak perlu dijelaskan pun dia sudah tahu. Duduk menonton TV padahal yang ditampilkan cuma acara pernikahan orang sudah pasti sangat tidak berguna.

"Ada makanan apa di rumah?" tanyaku.

"Biasanya kau langsung melihat sendiri."

"Ini hari libur. Biasanya banyak makanan kesukaan ayah yang dibuat. Aku tidak akan tahan mencium aromanya."

"Dan kau masih belagak menjadi beta."

"Diamlah."

"Kau benar, hari ini banyak makanan kesukaan ayah." Dia berdiri, "Aku akan kedapur untuk membuatkan makanan sesuai seleramu. Tapi jangan mematikan TV. Biarkan tetap bersuara agar aku tahu perkembangan berita."

Dia menyukai hal tak penting seperti kebiasaan beberapa orang di luar sana. Aku heran kenapa calon kakak ipar bersedia merencanakan pernikahan dengannya. Dia cuma perempuan yang mudah terbawa tren dan suasana. Tapi dia juga kakak yang baik, kurasa.

Sebuah pesan masuk pada ponselku begitu kakakku pergi menuju dapur. Segera kubaca. Dari Matius, teman kuliahku.

"Punya waktu untuk menemaniku minum?" tulisnya, "Aku sedang patah hati, Theo."

"Aku akan menemuimu kalau kau sabar menungguku selesai makan." jawabku.

"Berapa lama?"

"Entah. Sekarang kakakku baru mulai menyalakan kompor." Aku mendengar suaranya.

"Ha!? Kau memintaku menunggumu selesai makan padahal makananmu baru dihangatkan?"

Kalau cuma dihangatkan kakakku akan menggunakan mesin penghangat makanan, bukan perangkat untuk memasak.

"Baru akan dibuat, lebih tepatnya." ralatku yang langsung mendapat pesan suara setelahnya.

"Aku sedang patah hati, Theo! Aku butuh teman yang baik untuk menghiburku, bukan teman menyebalkan sepertimu!" Itulah yang diucapkannya padaku.

"Aku sudah melewatkan sarapan dan makan siang." batinku, "Kalau lagi-lagi menunda makan, ibu akan menyeretku ke rumah sakit untuk mendapatkan sekian pemeriksaan."

Tapi...

"Kak," panggilku pada kak Thia yang sibuk di dapur, "Apa tadi ibu sempat memanggilku?"

"Saat kau tidur?" Aku tidak tidur, "Ya. 11x sebelum sarapan. Dan 13x sebelum makan siang. Kau tahu kan apa artinya? Dia sudah menjadwalkan pertemuanmu dengan dokter untuk melihat kondisi lambungmu."

"Berlebihan."

"Mau bagaimana lagi kan? Kau anak lelaki satu-satunya. Ditambah lagi kau seorang alpha. Terlalu berharga untuk ditelantarkan."

Itulah yang tidak kusuka. Mendapat perhatian keluarga memang hal yang menyenangkan. Tapi jika didasari statusku sebagai seorang alpha, bukankan ketulusannya jadi kurang terasa? Bukan berarti aku tidak percaya kasih sayang orang tuaku, sebenarnya. Aku tahu tidak ada yang perlu diragukan. Hanya saja... tetap terasa kurang.

"Makanya aku lebih senang diakui sebagai beta." gumamku, pelan.

"Eh? Kau mengatakan apa? Aku kurang bisa mendengar yang barusan itu."

"Abaikan saja."

Percuma membahas apa yang kupikir dan kurasakan. Semua orang terlanjur beranggapan menjadi alpha merupakan keberuntungan.

***

Lagi-lagi, ada seorang omega dalam birahi tinggi. Kalau saja tidak ada beta di sampingnya, mungkin aku harus turun tangan mengantarnya ke rumah sakit atau setidaknya mengamankannya. Karena kalau dibiarkan, feromone yang ia keluarkan bisa menarik semua alpha di sekitarnya untuk berbuat macam-macam.

"Aku ingin mengeluhkan patah hatiku, tapi jadi sadar rendahnya masalahku." ucap Matius, menatap omega tadi yang sudah diantar keluar menuju taksi oleh beta yang bersamanya.

Kami berada di sebuah bar. Aku akrab dengan tempat semacam ini akibat teman-temanku yang sebagian besar menyukai alkohol.

"Kurasa aku bisa mengerti situasi yang dialami mantan pacarku." tambahnya.

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Patah hatiku berkaitan dengan status pacarku sebagai omega." Oh, "Dia dalam masa birahi tinggi. Karena lupa mengkonsumsi pil, dia menjadi seperti wanita barusan. Sialnya ada seorang alpha di dekatnya. Kau bisa menebak kan kelanjutannya?"

Tidak ada yang berhasil menyelamatkan mantan pacarnya. Alpha yang ikut mengalami birahi akibat pengaruh feromon yang dikeluarkan oleh omega akhirnya tidak bisa menahan diri. Bukan diperkosa atau pemerkosaan, yang terjadi hanya saling melampiaskan nafsu karena memang tidak bisa ditahan tanpa bantuan pihak lain.

"Dia hamil oleh laki-laki asing." ucapku enteng.

"Tsk. Mulutmu, Theo. Mudah sekali bagimu menyiram garam ke luka orang."

"Aku suka bicara apa adanya."

"Ya. Kau sudah seperti itu sejak pertama kali aku mengenalmu. Biasanya, kebiasaan berani semacam itu hanya dimiliki oleh seorang alpha. Tapi aku bisa mengerti. Kau memang beta, tapi wajah dan otakmu bisa membuatmu dimaafkan semua orang."

"Beta?" sahut seorang laki-laki yang entah sejak kapan berdiri di belakang kami.

"Apa kau mengenal kami?" tanya Matius padanya, yang sangat disayangkan tidak diperdulikan.

"Kau jelas-jelas seorang alpha." ucapnya padaku.

"Tidak. Bukan begitu." Matius meralatnya, "Wajahnya memang tampan. Tapi dia seorang beta."

"Dia seorang alpha bukan cuma dilihat dari wajahnya."

"Dari otaknya kan? Itu cuma-"

"Aku mengenal omega yang sudah diikat olehnya."

"Eh?"

Kupikir... aku tidak akan pernah bertemu orang ini lagi.

***

20:30 wib
26 Oktober 2021
reo

BondingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang