10. Ya sudahlah [end]

60 4 0
                                    

Hal pasti yang kutahu dari Luki adalah dia tidak bisa memainkan satu pun alat musik. Tidak mempelajarinya. Tapi dia cukup senang menyanyi dengan suara sumbangnya.

Baiklah, dia seorang alpha. Seharusnya sempurna. Nyatanya tidak juga. Dia memiliki bakat seni, tapi pada seni lukis saja. Selebihnya sebaiknya tidak melibatkannya.

Sekarang dia bersama teman-temannya. Terhitung sebagai teman-temanku juga. 3 orang laki-laki. Mereka duduk di taman. Bernyanyi tak karuan sampai akhirnya aku datang merebut gitar yang tengah dipetik asal oleh Luki.

"Belajar dulu baru tampil di depan umum." Saranku yang sudah masuk kedalam gerombolan mereka. Duduk, memeriksa senar gitar.

"Mentang-mentang bisa main gitar."

"Mau menyanyikan lagu apa? Biar kuiringi."

"Hip Hip Hura Hura."

Aku tahu Luki asal menyebutnya. Mana mungkin dia ingin menyanyikan lagu itu. Terlalu lawas. Bukan seleranya. Lagipula sangat tidak sesuai dengan tampilan rambutnya yang tercukur habis. Kutebak akibat patah hati.

"Pupus saja. Lebih cocok untuk nasibmu." Aku mulai memainkan gitar.

"Theo!"

"Aku tak mengerti apa yang kurasa." Justru aku yang menyanyi, "Rindu yang tak pernah begitu hebatnya. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu. Meski kau takkan pernah tahu."

"Jangan meledekku!"

"Aku persembahkan hidupku untukmu. Telah aku relakan hatiku padamu. Namun kau masih bisu, diam seribu bahasa. Dan hati kecilku bicara."

"BARU KUSADARI." 3 orang teman kami malah ikut menyanyi, "CINTAKU BERTEPUK SEBELAH TANGAN." Aku tertawa sambil terus memainkan gitar, "KAU BUAT REMUK S'LURUH HATIKU."

Tawaku semakin menjadi-jadi sampai akhirnya tidak sanggup lagi meneruskan permainan gitar. Dan tentu saja Luki sangat kesal.

"Diam kalian semua!" tegas Luki, "Aku tidak sedang patah hati."

Anggap saja iya. Tapi sekarang aku hanya ingin mengabadikan aibnya, kepala tak berambut yang baru pertama kali ditunjukkannya. Jadi kupotret dia dengan ponselku.

"Theo!"

"Untuk kenang-kenangan. Setelah patah hatimu berakhir tidak mungkin kau menggunduli kepalamu lagi." Dia terbiasa dengan rambut panjang di bawah dagu.

"Kubilang aku tidak patah hati, Theo."

"Lalu?"

"Aku hanya sedang menguji ketampananku." Ha? "Ternyata aku tetap tampan meski tanpa rambut panjang."

Sudahlah, terserah dia saja. Tidak mungkin juga kukatakan pada yang lain kalau aku mendengar penolakan Gabriel di belakang gedung utara. Bukan urusanku juga. Aku cuma senang menikmati aksi patah hatinya yang lucu mengenaskan.

***

Puas meledek Luki pun sebenarnya aku juga pantas ditertawakan. Karena Nicholas masih melakukan kebiasaan lama. Mengurung diri di dalam kamar mandi tiap malam. Akhirnya kuhubungi Gabriel sebagai teman sesama alpha yang sudah mengikat pasangan. Untuk memastikan sesuatu yang mungkin diketahuinya. Tapi sebelumnya tentu saja aku akan membahas kelucuan Luki terlebih dahulu

"Kau bisa mengenali foto siapa ini?" Kukirim foto Luki melalui WA.

"Luki." Jawab Gabriel dengan cepatnya.

Sepertinya dia biasa-biasa saja. Padahal baru membuat Luki patah hati.

"Whoaa... kau masih bisa mengenalinya."

BondingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang