Aku setengah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Setelah obrolan dengan Nicholas, kami berpisah dan aku kembali menemui Matius di dalam bar. Sesudah itu tentu saja aku kembali ke rumah. Kupikir aku akan langsung beristirahat jika sudah sampai di dalam kamar. Tapi sebelum itu kulakukan, aku justru bertemu sekali lagi dengan Nicholas di depan gerbang. Ya, di depan gerbang. Yang artinya kami bisa-bisanya pulang ke rumah yang sama.
"Nikolas... akan tinggal di sini?" tanyaku pada ayah setelah kondisi hening beberapa saat.
Kulirik Nicholas yang duduk di sampingku. Di hadapan kami terdapat ayah dan ibu. Kakak diam di dapur tapi tetap bisa mendengar apapun dari ruang tengah ini.
"Ya." jawab ayah, "Dulu kalian dipisah karena masih anak-anak. Apalagi saat itu kau sangat terguncang, Theo."
"Lalu sekarang?"
"Kau sudah dewasa. Kau perlu bertanggung jawab atas apa yang kau lakukan. Karena sengaja atau tidak, dampak perbuatanmu tetap ada."
Itukah yang harus kulakukan? Bertanggung jawab?
"Dengan cara apa?" tanyaku.
"Tunggu dulu." ucap Nicholas, memotong omonganku, "Aku tidak merasa Theo bersalah. Jadi kupikir tanggung jawab itu tidak ada. Aku setuju kemari hanya untuk bertemu dengannya."
Dia tidak perlu membelaku. Aku sendiri tahu apa kesalahanku. Cara bertanggung jawabnya saja yang aku tidak tahu.
"Sekarang sudah sangat malam kan?" Ibu menengahi, "Kalian tidurlah. Besok masih harus kuliah."
"Tapi..." ucapku, gagal kuselesaikan.
"Kalian baru bertemu setelah sekian lama. Tidur akan membuat perasaan kalian lebih tenang. Tentang tanggung jawab atau apapun itu, bisa dibahas besok."
"Aku mengerti."
Kuputuskan untuk menurut. Aku setuju dengan pendapat ibu. Bicara sekarang juga tidak mungkin menyelesaikan masalah.
***
Tidak menyelesaikan masalah. Bicara sekarang juga tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi kalau diam saja... bukankah juga menambah masalah?
"Eh... ibumu bilang aku bisa tidur di kamar ini." jelas Nicholas dengan ragu.
"Sekamar denganku?" tanyaku.
"... Apa ada kamar lain lagi?"
Tidak ada. Rumah ini terdiri dari 3 kamar tidur. 1 ditempati ayah dan ibu. 1 lagi ditempati kakakku. Yang terakhir, tentu saja olehku.
"Aku tidak keberatan berbagi kamar denganmu." jelasku yang langsung disusul pernyataan super cepat dari Nicholas.
"Tapi aku sangat keberatan sekamar denganmu!" tegasnya meski dengan wajah yang tampak malu, "Aku... aku ini milikmu."
"Apa maksudmu?"
Dia semakin tampak malu. Terlihat dari kedua matanya yang tak fokus dan warna wajah yang lebih memerah lebih dari sebelumnya.
"Apa sampai sekarang kau masih tidak tahu banyak tentang hubungan alpha dan omega?"
"Hubungan... yang bagaimana?" Sepertinya aku memang tidak tahu.
"Ya Tuhan." Dia menarik napas panjang, "Setelah diikat, birahi seorang omega tidak akan mempengaruhi alpha yang bukan pengikatnya. Tapi sebagai gantinya, dia tidak akan bisa menolak pesona pengikatnya."
"Eh?"
"Aku tidak akan bisa menolak pesonamu, Theo!"
Tidak akan bisa menolak pesonaku?
"...Apa kau masih tidak mengerti setelah kujelaskan?" tebaknya.
Kuanggukkan kepalaku. Beberapa kali.
"Aku ingin kau menjamahku."
Men... apa!?
"Kau bercanda kan?" tanyaku, mulai panik.
"Apa aku terlihat bercanda di matamu?"
Tidak. Tidak sedikit pun. Justru sebaliknya. Bahkan, aku merasa dia sedang tampak sangat sensual.
"Aku... bisa melihat nafsumu."
"Ini di luar kendaliku, Theo. Sungguh."
***
Kupikir tubuhku sudah menjadi batu. Aku terlalu terkejut dengan kejadian beberapa waktu lalu. Nicholas tidak bisa menenangkan diri. Dia seperti orang dalam pengaruh obat perangsang. Untungnya sebagai omega dia bukan dalam karakter agresif. Itu sebabnya setelah rasa terkejutku mereda, aku bisa mengambil tindakan. Cepat-cepat kubantu dia pergi ke kamar mandi. Melepas seluruh pakaiannya dan memintanya berada di bawah guyuran air sampai nafsu birahinya menghilang.
"Kau merasa baikan?" tanyaku dari balik pintu.
Tubuhku membelakanginya. Aku tidak ingin melihatnya yang tidak berpakaian, meski sudah melihat sebelumnya.
"Ya." jawabnya, "Kau bisa meninggalkanku. Aku akan mendinginkan diri beberapa menit lagi."
"..."
"Kubilang kau bisa meninggalkanku, Theo."
"Dan kau akan tetap di sini sampai pagi. Iya kan?"
Kurasa tebakanku benar. Dia akan memilih tetap di sini untuk menghindariku.
"Hey." panggilnya, "Memangnya, sampai sejauh mana kau ingin dijamah?"
"Aku tidak akan memberitahumu."
"Karena kau ingin sampai-"
"Theo!"
Sepertinya dia benar-benar tidak akan menjawab. Di saat yang sama, aku terlanjur menebak kemana-mana.
"Orang tuaku ingin aku bertanggung jawab." celotehku, "Aku masih memikirkan caranya. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku. Tapi kalau caranya adalah dengan menikahimu, sedikit pun aku tidak merasa keberatan."
"Meski kau tidak mencintaiku?"
"Kenapa jadi membahas cinta?"
"Aku meyakini bahwa sebuah pernikahan harus didasari perasaan saling mencintai. Jika tidak, salah 1 atau keduanya tidak akan merasa bahagia."
"Apa kau tidak mencintaiku?"
"Aku bernafsu padamu, Theo." Terlihat jelas, "Setengahnya karena alasan kau adalah alphaku."
"Dan masih ada setengah alasan lagi?"
"Aku jatuh cinta padamu setelah 6 tahun terus memikirkanmu."
"Kau mencintaiku?" tanyaku sambil berbalik, menatapnya yang tampak dalam kondisi sama seperti sebelumnya. Tidak, bukan sama. Justru lebih. Dia terlihat lebih bernafsu dibanding sebelum kuajak kemari.
"Tinggalkan aku sendiri." Kalimat itu mengingatkanku pada masa lalu, "Pergi dari sini, Theo. Cepatlah, kumohon."
Kami... hanya mengulang kejadian yang sama.
***
22:58 wib
26 Oktober 2021
reo
KAMU SEDANG MEMBACA
Bonding
Romance[revisi] Theo dianggap sebagai beta yang memiliki rupa seorang alpha. Padahal dia memang benar-benar alpha. Anggapan itu berasal dari dia yang tidak terpengaruh feromon omega. *cerita ABO pertama yang kutulis pada tahun 2021 *ini sudah versi tulisa...