2. Nyatanya memang alpha

71 8 0
                                    

Terima kasih pada Tuhan akhirnya aku sembuh dari flu. Rasanya lega sekali. Tidak ada pusing, hidung buntu, atau kesakitam sekujur badan lagi. Aku bisa kembali berkegiatan tanpa hambatan yang menyebalkan.

"Kau mau berangkat kuliah?" Tanya kakak perempuanku, Thia.

"Ya." Jawabku yang baru keluar dari dalam kamar sambil menggantungkan ransel di bahu kiriku.

"Memangnya sudah sembuh?"

"Kakak bisa lihat sendiri kan? Hidungku tidak merah lagi."

"Syukurlah. Kau tahu kenapa kemarin flumu bertahan cukup lama? Karena terlalu sering keluar malam. Kau main terus dengan teman-temanmu."

Aku tahu. Aku tertular salah 1 temanku. Saat gejalanya masih ringan aku tetap ikut main selama berhari-hari. Akhirnya makin parah. Istirahat saja tidak cukup. Harus minum obat dan mengatur apa yang boleh kumakan. Untungnya sekarang bukan sekadar mendingan melainkan sembuh total.

"Sebenarnya ibu ingin menegurmu. Tapi takut dianggap terlalu cerewet. Makanya sekarang aku yang memberitahumu."

"Ya." Aku tahu kesalahanku.

"Menurutku kau harus memilah-milah lagi siapa teman mainmu. Yang sering mengajak ke bar lebih baik kau jauhi."

"Masalahnya semua temanku mengajak kesana. Kalau mereka kujauhi siapa lagi temanku?"

"Semua apanya? Yang paling sering mengajakmu kan Luki. Dan siapa itu yang rambutnya warna-warni? Hendra? Rendra?"

"Candra."

"Ah, iya. Candra. Dia yang paling bandel di antara semua teman-temanmu. Diajak ibadah juga tidak pernah mau."

Kenapa sepertinya kak Thia tahu banyak tentang teman-temanku. Bahkan sampai menyangkut ibadah.

"Lebih baik kau main dengan Gabriel." Dia juga tahu tentang Gabriel? "Setahuku dia tidak bermasalah. Keluarganya juga punya bisnis besar. Kalau kau dekat dengan teman yang seperti dia, jalan di masa depanmu akan lancar."

"Dia tidak suka main, kak. Anak rumahan."

"Dan kenapa kau tidak jadi anak rumahan juga?" Ha? "Padahal dulu kau suka main boneka denganku. Kenapa sekarang jadi suka keluyuran?"

Itu kan masa lalu. Dia hanya lebih tua 2 tahun dariku. Itu sebabnya sewaktu kecil dia jadi teman mainku. Dia yang menentukan permainan apa yang akan kami mainkan. Kalau tidak, siapa juga yang mau ikut main boneka dengannya. Aku kan lebih suka olahraga atau kegiatan yang menguras tenaga lainnya.

***

Selesai dengan ceramah kak Thia, aku pun pergi ke kampus. Sesampainya di kelas yang akan kuikuti, aku langsung melihat kemesraan Luki dengan Ayu. Pasangan alpha-omega itu berdiri sebelahan dengan posisi lengan si alpha dipeluk omega erat-erat hingga menempel ke dada. Mereka ngobrol berdua sambil tersenyum dan tertawa. Sungguh pemandangan pagi yang luar biasa.

Tidak jauh dari mereka ada Gabriel. Duduk tenang sendirian dengan kedua telinga tersumpal earohone. Aku langsung menghampirinya. Bukan karena saran kak Thia, melainkan dari lama pun aku sudah cukup akrab dengannya. Meski tentu saja ada batas-batasnya.

"Kau tidak cemburu pacarmu bermesraan dengan Ayu?" tanyaku yang mulai duduk di sampingnya.

Dia menoleh padaku setelah melepas earphone. Aku pun tersenyum, nyaris tertawa akibat basa basiku sendiri.

"Pacarku tidak kenal Ayu, setahuku." Ha?

Tunggu-tunggu. Dia bilang pacarnya tidak kenal Ayu? Padahal jelas sekali sekarang Luki sedang bersama perempuan itu. Tapi sebenarnya Luki memang tidak berpacaran dengan Gabriel. Aku saja yang terkadang memasang-masangkan mereka. Dan dengan omongan Gabriel yang menegaskan pacarnya tidak mengenal Ayu... bukankah itu artinya ada orang lain selain Luki yang bisa disebut sebagai pacarnya?

BondingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang