5. Tempat cerita

32 6 0
                                    

Aku senang Nicholas tidak lagi menghindar. Tiap hari kami bertemu di kampus sesuai keinginanku. Tapi yang bisa kulakukan hanya memberi sapaan hai karena kecanggunganku. Dia pun menjawab dengan sapaan yang sama. Tidak pernah lebih dari itu.



Rasanya tidak puas, tentu saja. Aku ingin obrolan panjang dan pertemuan yang berlangsung lama. Sialnya aku tidak tahu cara memulainya.



"Kenapa semakin lama aku semakin kesulitan bersikap padanya?" Batinku sambil menatap jauh dari jendela kelas.



"Masih saja suka melamun." Omongan Luki membuyarkan pikiranku.



Dia baru datang, sepertinya. Duduk di sebelah kananku setelah melepas ransel lalu meletakkannya di samping kursi



"Masalahmu belum teratasi?"



"Begitulah." Jawabku, malas membahasnya.



"Tawaranku masih berlaku. Kau boleh cerita."



"Tidak. Terima kasih."



"Kenapa? Kau pikir aku bukan pendengar yang baik? Atau tidak akan bisa memberi saran yang tepat?"



Bukan begitu. Aku hanya tidak mau berbagi cerita dengannya. Tidak ingin saja. Mungkin memang ada alasannya, tapi aku sendiri kurang paham alasanku apa. Yang pasti Luki bukan teman yang akan kuandalkan saat bermasalah.



"Rumah tanggamu saja sudah rumit. Tidak perlu ditambah masalahku."



"Rumah tangga. Kau pikir aku sudah menikah?" Dia menggerutu, tidak seperti biasanya.



"Tumben kau tidak mengakui Ayu sebagai istrimu."



"Memang bukan istriku kan?"



"Tapi biasanya kau santai-santai saja saat dia disebut sebagai istrimu. Malah, cukup kau nikmati juga."



"Aku mulai berpikir itu salah." Ha? "Karena reaksi Gabriel tidak seperti harapanku."



"Kau ingin dia cemburu tapi nyatanya malah mengabaikanmu?"



"Ya. Kelihatannya begitu."



"Apa kau lupa Gabriel tidak punya daya juang? Dia tidak suka persaingan. Tidak suka mengejar.



Kalau kau menyukainya, dekati dia. Tunjukkan tanda-tanda cintamu padanya. Bujuk agar dia mau menerima. Bukan malah memancing reaksinya.



Dia introvert, Luki. Tipe yang harus didatangi."



"Gabriel itu introvert?"



Kenapa masih ditanyakan lagi?



"Maksudku, ya. Dia tidak terlihat sebagai ekstrovert karena susah diajak main. Hobinya cuma bermalas-malasan di rumah. Tapi dia juga punya banyak teman dari berbagai angkatan. Kemampuan bicara di depan umumnya luar biasa, malah. Dia selalu berhasil menjabarkan tugasnya dengan sempurna. Jadi, dimana sisi introvertnya?"



"Anggap saja dia ambivert."



"Haruskah?"



"Daripada kau pusing dia golongan mana."



"Benar juga." Bodoh, "Tapi Theo, berarti aku tidak bisa mendapatkannya cuma dengan memancing reaksinya?"



"Ya."



"Aku harus tegas menyatakan perasaanku padanya?"



"Tentu saja."



"Bagaimana kalau dia tidak percaya?"

BondingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang