Bagaimana ya? Akan kuakui kalau aku memiliki sifat dasar pemarah dan tak sabaran. Aku jauh dari kata telaten. Itu sebabnya aku hampir melakukan protes pada Nichokas untuk kesekian kali.
Dia selalu mengurung diri di kamar mandi, tiap malam. Baru akan kembali untuk tidur di sampingku jika aku sudah terlelap. Alasannya, karena dia tidak ingin macam-macam padaku. Tidak mau menyentuh tubuhku. Padahal, kalau pun kami sampai bergulung ribut di atas kasur tidak masalah buatku. Begitu juga dengan keluargaku. Karena dia adalah omegaku.
Tapi... entahlah. Aku masih mencoba memakluminya. Termasuk saat dia hanya mengucap hai tiap kali kami bertemu di lingkungan kampus.
"Itu ucapan hai yang ketiga kali hari ini." Ucapku setelah mendengar sapaannya saat kami berpapasan di lorong.
Dia batal melanjutkan langkah kakinya. Mungkin karena dia tidak sedang bersama siapa-siapa jadi kali ini bersedia melakukan interaksi lebih lama.
"Ada kuliah lagi setelah ini?" tanyaku, "Maaf aku belum hafal jadwalmu."
"Tidak ada. Baru ada lagi nanti jam 1 siang."
"Berarti waktumu luang kan?"
"... Ya."
Jawabannya terucap agak lama. Tapi tidak masalah. Masih hitungan detik. Dan di detik selanjutnya, kuraih pergelangan tangannya.
"Kalau begitu ikut denganku."
"Kemana?"
"Tempat sepi."
"Eh?"
"Aku ingin berduaan denganmu. Syukur-syukur kalau bisa sedikit macam-macam denganmu."
"Apa maksudmu, Theo!?"
Maksudku sesuai dengan semua omonganku. Tidak kurang dari itu. Kalau lebih aku malah setuju.
***
Karena sudah kuputuskan, tentu saja kulakukan. Aku menarik Nicholas hingga kami tiba di halaman belakang gedung utara. Area yang hampir tidak pernah didatangi siapa-siapa karena tidak ada sisi menariknya.
Kusudutkan Nicholas ke dinding. Tangan kananku memagarinya sementara yang kiri ingin menyentuh entah kemana. Ada keinginan untuk membelai rambutnya. Juga mengelus pipinya. Tapi aku masih bingung memilih melakukan salah 1 dari kedua hal itu atau langsung mencium bibirnya. Jujur saja aku sangat bernafsu padanya. Karena biar bagaimana pun aku alphanya yang tiap malam dianggurkan sendirian. Lalu saat pikiranku masih menimbang-nimbang, ternyata gerakan yang kulakukan justru mengendus tiap bagian lehernya yang kubarengi dengan menjilatinya.
Nicholas mengerang, pelan. Suaranya terdengar seksi. Sangat memikat. Membuatku ingin melakukan lebih. Memang sedang kulakukan. Tangan kiriku yang semula tak tahu harus berbuat apa sekarang mulai menggerayangi punggungnya, meraba setelah masuk dari celah bawah bajunya.
Aku benar-benar menikmatinya. Memang ini yang kumau sejak lama. Tapi sialnya, suara keras itu membuyarkan semuanya. Tampaknya Luki sedang marah.
"Aku mencintaimu, Gabriel!" bentak Luki, "Kau sudah tahu perasaanku tapi selalu mengabaikan."
"Tenanglah."
"Mana mungkin aku bisa tenang!?"
Pertengkaran masalah cinta. Itu membuatku ingat kalau kapan hari Gabriel mengaku sudah menandai mate-nya. Berarti tidak ada harapan lagi untuk Luki. Sebagai teman yang sering mendengar curahan hatinya, aku merasa kasihan. Tapi mau bagaimana lagi kalau Gabriel memang tidak ditakdirkan sebagai pasangannya.
"Selama ini kuharap kau jadi milikku! Aku-"
Omongan Luki sepertinya masih akan panjang. Karena kupikir tidak baik menguping pemicaraan-meski tak sengaja, kuputuskan pergi dengan Nicholas sebelum keberadaan kami disadari.
***
Lalu di sinilah kami. Di lorong kampus dan merasa aneh begini. Masalahnya sebelum mendengar keributan Luki dengan Gabriel kami sedang bermesraan. Maksudku, mulai berbuat macam-macam. Tapi sekarang... sudahlah.
"Tadi itu... teman-temanmu kan?" tanya Nicholas padaku, berusaha mengurangi ketegangan.
Kuanggukkan kepalaku.
"2 alpha paling populer di kampus selama 3 tahun terakhir." Jelasku.
"Mereka terlibat masalah yang rumit."
"Sepertinya begitu."
Aku lumayan tahu alurnya.
"Kau mungkin akan terkait." Eh? "Biasanya orang yang memiliki masalah percintaan akan cerita pada teman dekatnya. Bukankah kau dekat dengan mereka berdua?"
"Lumayan."
Sebenarnya aku lebih dekat dengan Luki. Karena dia lebih gampang bercerita tentang dirinya. Juga karena sempat keluyuran bersama dengan teman-teman lainnya. Gabriel berbeda. Dia anak rumahan yang cuma bisa ditemui saat muncul di kampus. Interaksi kami tidak banyak. Tapi akhir-akhir ada hal baru yang kusadari darinya. Meski dia tidak terbiasa mencurahkan isi hatinya, sebenarnya dia orang yang bisa membahas apapun dengan santai-santai saja. Seperti saat dia menjawab kalau dirinya memiliki pacar yang lebih tua darinya. Walau begitu, tentu banyak hal yang dirahasiakan olehnya.
"Aku baru tahu kalau alpha bisa tertarik pada sesamanya." Gumam Nicholas, "Kalau pada beta masih tidak mengejutkan. Karena selera orang kan ada saja. Mungkin memang lebih menyukai sosok yang tidak menonjol. Kalau pada sesama alpha... apa tidak akan berbenturan?"
"Karena sama kerasnya ya?" Aku ikut bergumam.
Kemampuan bawaan yang jauh di atas rata-rata, kebiasaan menang, dan lain sebagainya. Mungkin semua itu yang membuat kepribadian kami menjadi keras. Untuk itulah dibutuhkan omega sebagai penyeimbang. Tapi kalau sebagai alpha Luki menyukai Gabriel yang merupakan sesamanya, menurutku tidak salah juga, hanya jika Gabriel tidak bertemu dan menandai mate-nya. Sekarang dia perlu merelakannya.
***
11:55 wib
30 Desember 2023
reoKadang aku merasa Theo cuma narator yang sedang menceritakan kisah Luki dan Gabriel. Seolah dia bukan tokoh utama karena porsi kemunculan 2 temannya itu terlalu banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bonding
Romance[revisi] Theo dianggap sebagai beta yang memiliki rupa seorang alpha. Padahal dia memang benar-benar alpha. Anggapan itu berasal dari dia yang tidak terpengaruh feromon omega. *cerita ABO pertama yang kutulis pada tahun 2021 *ini sudah versi tulisa...