8. Gisela

43 5 2
                                    

Ini bukan situasi yang kusukai. Aku sedang berada di toko buku sepulang kuliah. Bersama Nicholas. Dia butuh beberapa judul buku impor yang katanya sudah dipesan dan datang hari ini. Itu sebabnya kutemani dia kemari. Sebelum mengambil pesanannya, dia ingin berkeliling terlebih dahulu. Melihat-lihat kalau sekiranya ada buku atau benda lain yang perlu dibeli.

Kubiarkan dia berkeliling sendiri sementara aku diam di depan dinding yang memajang berbagai jenis gitar. Lalu perempuan itu datang.

"Ingin membeli gitar baru, Theo?" sapanya padaku.

Aku menoleh padanya yang berdiri di sebelah kananku. Dia Gisela, mantan pacarku. Terakhir kami bertemu sudah beberapa bulan yang lalu.

"Tidak. Hanya melihat-lihat."

"Tapi kau masih senang bermain gitar kan?"

"Tidak lagi."

"Benarkah?" Dia melebarkan kedua matanya, "Ada hobi baru?"

"Tidak ada waktu untuk hobi baru. Kuliahku kan sudah semester tua."

"Benar juga. Makanya tidak punya waktu untuk pacaran kan?"

Kalau soal itu... aku tidak ingin menjawabnya. Hubungan kami baik-baik saja, sebenarnya. Tapi aku memutuskan hubungan kami secara sepihak tanpa memberi penjelasan. Cuma kutegaskan kalau aku sudah tidak ingin lagi berpacaran. Mungkin dia pikir alasannya adalah kesibukanku sebagai mahasiswa. Aku ingin fokus kuliah. Padahal, yang benar saja. Kuliahku cukup padat, tapi waktu luang tetap ada. Buktinya aku sering keluyuran dengan teman-temanku tiap malam sebelum Nicholas muncul lagi dalam hidupku.

Aku tidak tahan berpacaran dengannya. Itulah alasan yang sebenarnya. Bagiku dia terlalu manja dengan lagak yang... begitulah. Mungkin orang lain tidak akan melihat kemanjaannya. Karena sehari-hari dia tergolong mandiri. Hanya saja, di mataku dia sering sekali memancing perhatian.

Dia sering melewatkan sarapan padahal kondisi lambungnya tidak baik. Sudah tidak sarapan pun makan siangnya telat. Tidak jarang makan sehari sekali yang dilakukan menjelang tengah malam. Parahnya lagi, jenis makanannya memicu kenaikan asam lambung. Aku pernah menasehatinya. Sekali, dua kali. Awalnya dia mendengarkan. Menurut. Tapi selanjutnya malah menjadi-jadi. Saat sakitnya kambuh, bukannya kasihan aku justru menyimpan rasa kesal. Dia ingin kuberi perhatian. Ingin kembali diingatkan. Sayangnya tidak bisa kulakukan. Aku sudah bosan.

Itu perkara kecil yang terus terjadi hingga aku tidak tahan lagi. Tapi masih ada yang lain. Ketidak nyambungannya ketika ngobrol berdua. Awalnya aku maklum dengan tingkat kecerdasannya sebagai beta. Biar bagaimana pun kemampuan tiap orang memang berbeda. Hanya saja, maklum saja tidak cukup untuk bertahan sebagai pacarnya. Lama-lama aku lelah mengimbanginya.

Tentu saja aku tidak menyalahkannya. Sudah lumrah bagi perempuan untuk bermanja-manja pada pacarnya. Aku saja yang tidak suka. Bukan berarti aku sungguhan tidak bisa memanjakan. Bisa, tentu saja. Tapi hanya jika aku menginginkannya. Tidak perlu dipancing. Biar kulakukan secara alami. Jadi bersikaplah biasa-biasa saja. Justru kalau biasa saja keinginan untuk memanjakan itu ada.

Sudahlah. Aku tahu akulah yang salah. Kami tidak cocok. Itu saja. Lagipula aku memiliki Nicholas. Meski saat itu dia entah berada dimana, tidak benar juga kalau aku menduakannya. Muncul rasa tak nyaman saat melakukannya. Jadi, sebenarnya itulah alasan terbesarku mengakhiri hubungan dengan Gisela.

"Aku juga tidak kepikiran untuk pacaran lagi." Gumamnya.

Aku mencoba tertawa, pelan. Untuk mencairkan suasana yang kurasa terlalu beku.

"Trauma gara-gara aku?" tebakku.

Dia menggelengkan kepalanya.

"Aku belum bisa berhenti mencintaimu." Duh, "Padahal kau sangat menyebalkan. Tidak perhatian."

BondingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang