3. Permintaan maaf

52 8 0
                                    

Sekian hari berlalu sejak pertemuanku dengan Nicholas di toilet kafe. Dia tidak muncul lagi. Entah dimana keberadaannya sekarang. Aku ingin menghubunginya tapi tidak tahu caranya. Jadi cuma bisa kacau sendiri.



"Kau susah berkonsentrasi akhir-akhir ini, Theo." Ucap Luki padaku.



Kami berada di dalam kelas kosong. Bertiga. Aku, Luki, dan Gabriel. Ada tugas kelompok yang harus kami kerjakan bersama. Baru selesai sedikit saja. Akulah penghambatnya.



"Ada masalah yang mengganggumu?" Tambahnya, "Kalau iya kau bisa cerita pada kami."



"Aku hanya sedang kepikiran sesuatu. Tapi maaf, kurasa aku tidak bisa berbagi tentang itu."



"Ya, itu hakmu."



"Kalau butuh waktu menyendiri tidak apa-apa." Jelas Gabriel padaku, "Biar aku dan Luki yang mengerjakan tugas."



"Tidak bisa begitu kan? Aku bagian dari kelompok."



"Justru karena bagian dari kelompok makanya kami harus mengerti keadaanmu. Harus memaklumi." Luki mendekat padaku, mulai berbisik, "Biarkan aku berduaan dengan Gabriel. Jarang-jarang bisa begini. Kenapa kau tidak mengerti, Theo?"



Ternyata dia hanya mencari kesempatan. Tapi memang benar, jarang mereka bisa berduaan. Luki terlalu sering ditempeli Ayu. Sementara Gabriel suka tiba-tiba menghilang entah kemana. Padahal dulu tidak begitu. Di awal kuliah mereka hampir tidak pernah terpisah. Dimana ada Gabriel, di situlah Luki berada. Karena Luki memang selalu menemuinya. Mendatangi dimana saja. Lalu berlama-lama ngobrol dengannya.



Baiklah, aku akan membantunya. Akan kuberi kesempatan mereka berduaan.



"Kurasa aku memang harus mengandalkan kalian." Ucapku, memutuskan, "Tapi jangan benar-benar mengerjakan seluruhnya. Tolong sisakan bagianku. Akan kukerjakan di akhir."



"Ya. Jernihkan pikiranmu lebih dulu." Suruh Luki seolah dia sangat peduli padaku.



"Kalau begitu, boleh aku pergi?"



"Tentu-tentu. Kau memang harus pergi menenangkan diri. Iya kan, Gabriel?"



"Terserah saja."



"Nah, Gabriel juga setuju. Cepatlah."



Sialan. Terlihat sekali niat aslinya. Aku jadi mulai tak enak pada Gabriel yang menjadi sasaran. Tapi kalau kupikir ulang, sepertinya tidak masalah. Karena tidak mungkin Luki macam-macam padanya. Dia tulus mencintainya kan? Jadi pasti akan baik padanya.



"Apa benar tidak apa-apa?" batinku.



Membantu Luki sama halnya dengan mengancam keberlangsungan hubungan Gabriel dengan pacarnya yang entah siapa. Kalau itu kulakukan artinya aku berkelakuan layaknya setan. Apa kubatalkan saja?



"Kubilang cepatlah, Theo. Kenapa kau lamban sekali?" keluh Luki, "Sana pergi biar kami bisa segera mengerjakan tugas."



Semakin terlihat saja keasliannya. Tapi ya sudahlah. Di sini pun aku tidak berguna. Malah bisa merusak suasana. Sebaiknya aku memang pergi saja. Perkara hubungan Gabriel dengan pacarnya, itu tergantung dari keteguhan hatinya. Dia bisa memilih setia meski mungkin masih tanpa cinta. Atau beralih pada Luki kalau memang terpikat olehnya. Aku tidak punya waktu untuk memusingkannya.



***



Akhirnya aku menyendiri di parkiran. Duduk di dalam mobil dengan pertimbangan akan pulang atau pergi ke tempat lain yang bisa menenangkan. Beberapa menit kulakukan tetap saja aku hanya kebingungan. Cuma bisa diam. Hingga ingatan tentang kejadian lama itu terputar jelas di dalam kepalaku.

BondingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang