1. Alpha

115 7 3
                                    

Kepalaku pusing sejak pagi. Sepertinya gejala flu. Meski begitu aku tetap memaksakan diri ke kampus karena ada kuis yang harus kuikuti. Melewatkannya cuma akan mengurangi nilai rata-rata yang nantinya membuatku perlu mengulang mata kuliah. Selain boros tenaga akan boros uang juga. Itu sebabnya selama tubuhku belum benar-benar tumbang lebih baik tetap ke kampus.



Rasanya semakin pusing saja.



Aku sudah selesai mengikuti kuis. Nilai langsung diumumkan seusai tanya jawab dengan dosen yang berlangsung kurang dari 15 menit. Aku mendapat 85. Lumayan untuk orang yang sedang kesakitan. Setidaknya dengan nilai itu aku lolos dari tugas tambahan. Dengan perasaan lega aku pun keluar dari kelas, bersamaan dengan beberapa mahasiswa gelombamg berikutnya yang masuk untuk mengikuti kuis juga.



Sekarang aku berdiri di balkon. Menyandarkan punggung pada pagar pembatas agak jauh dari sekian mahasiswa lain yang membentuk gerombolan-gerombolan kecil. Sebagian dari mereka sama denganku, sudah selesai mengikuti kuis. Sementara sebagian lagi masih menunggu giliran sambil belajar atau sekadar ngobrol tak penting.



Kepalaku benar-benar pusing.



Tidak sepertiku yang sedang mengasingkan diri, si populer Luki justru menikmati kerumunan penggemarnya. Perempuan dan laki-laki. Wajar saja pemandangan itu terjadi. Karena dia alpha. Sosok sempurna manusia yang penggambaran umumnya adalah berkharisma.



Ya, di dunia ini ada yang namanya alpha. Selain itu ada juga omega. Dan yang terakhir beta. Pembagian golongan itu berlangsung sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu setelah jatuhnya meteor yang disusul radiasi aneh yang entahlah. Aku kurang paham detailnya saking banyaknya berita dengan versi yang berbeda. Yang pasti, penggolongan itu terasa bagai kasta.



Beta adalah si biasa-biasa saja. Tidak memiliki kelebihan baik dari segi tampilan fisik, kemampuan, dan lain sebagainya. Sementara omega, kelebihannya tentu saja sensualitasnya. Sangat tinggi. Luar biasa menggoda. Tapi dengan otak dan kekuatan fisik yang hanya sedikit di atas rata-rata. Lalu alpha. Seperti yang kusebut sebelumnya, mereka merupakan sosok sempurna.



"Kenapa kau menyendiri di pojokan?" tanya Luki padaku.



Dia masih di tengah gerombolannya saat bertanya. Tapi berlanjut meninggalkan mereka. Menghampiriku.



"Sudah ikut kuis?" tambahnya.



"Ya. Gelombang pertama."



"Kau selalu tidak suka menunda-nunda."



Ditunda juga untuk apa? Dengan kondisi kepala seperti ini semakin cepat menyelesaikan sesuatu maka semakin cepat juga aku memiliki waktu untuk beristirahat.



"Ngomong-ngomong wajahmu pucat." Mungkin Luki mengkhawatirkanku. Karena bisa dibilang dia termasuk teman yang cukup dekat denganku. "Sakit?"



"Gejala flu." Jawabku, "Semalam susah tidur. Jadinya semakin parah."



"Kenapa susah tidur? Memikirkan pacarmu?"



"Pacar yang mana? Aku kan tidak punya."



Dia tertawa.



"Kukira diam-diam kau memiliki pacar. Soalnya kau cukup sibuk beberapa hari terakhir. Tidak ikut main."



Pusing inilah yang membuatku terkesan sibuk. Karena aku lebih memilih beristirahat di rumah dibanding pergi main dengan teman-temanku. Sialnya sampai hari ini belum sembuh.



"Ah, dia datang." Luki mengalihkan perhatiannya. Dia tersenyum menatap seorang laki-laki yang baru memasuki area kampus. Gabriel, seorang alpha sama seperti dirinya. Populer juga, tentu saja. Tapi di level berbeda. Karena jika Luki sekadar sering dikerumuni, Gabriel sudah sampai dipuja dan disembah dalam hati.

BondingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang