"Kakak gak setuju!" - Si ganteng wajah blasteran menolak tegas.
"Abang juga nggak!" - Si ganteng paling tinggi menimpali.
Keduanya lantas menatap si ganteng lain berwajah kalem dengan tatap penuh ancaman - Awas kalau sampek gak kompak!
"Mas juga nggak setuju!"
Si blasteran dan si tinggi kompak mengangguk puas begitu si paling kalem mengeluarkan pendapat.
Lelaki paruh baya di kursi utama memijat kepala. Sedangkan Wanita cantik di sampingnya hanya mampu mengulum senyum sambil mengusap pelan lengan suaminya.
"Dek, gimana? Kakak-kakak kamu nggak setuju semua, tuh."
Entitas paling muda di ruangan itu menoleh pada sang ibu. Berkedip pelan,
"Ya, nggak apa-apa." Jawabnya cuek lalu kembali menikmati ciki yang dia makan, "Kan, aku yang mau ngekos. Bukan Mas, Abang, sama Kakak."
"Yo gak bisa gitu, dong!" - Tiga pemuda ganteng kompak protes.
"Loh, kenapa gak bisa?" Si Adek mengerutkan dahi tak paham.
Si kalem - Kita panggil aja Mas - menghela nafas. Menatap si paling kecil serius.
"Ngekos itu berat, loh, Dek. Kamu harus bisa mandiri. Apa-apa sendiri. Bangun sendiri, cari makan sendiri, nyuci baju sendiri, nyiapin keperluan kuliah sendiri. Kamu bisa, ta?" Jelasnya hati-hati.
Si paling kecil - Adek - mengerjap. Lalu dengan yakin mengangguk.
"Bisa, kok. Kan nanti belajar."
Dengkusan terdengar dari si blasteran - Panggil aja Kakak.
"Nanti disana kalo males makannya kumat, pasti ujung-ujungnya nggak makan. Belum lagi kalo makan sembarangan, bisa sakit nanti. Nggak! Pokoknya Kakak nggak setuju kamu ngekos!" Omelnya.
Si bontot cuma angkat bahu, cuek. Lanjut makan ciki sambil nonton Doraemon di TV.
Si paling tinggi - nah, ini si Abang - berdecak, "Dek, kalau di ajak diskusi itu fokus dulu coba." Ucapnya mencoba sabar.
Si bontot ikut berdecak. Tak suka dia acara nontonnya terganggu. Tapi tak ayal mulai mematikan TV dan fokus pada ketiga kakaknya - meski dengan bibir manyun.
"Apa, sih? Apa?"
"Mas, Abang, sama Kakak nggak setuju kamu mau ngekos." Mas mengulangi keberatan mereka.
"Lagian kenapa, sih, pakai ngekos segala? Rumah kita, loh, dekat sama kampusmu. Setengah jam juga nyampek. Kalau kamu males nyetir sendiri, nanti Kakak anterin." Si Kakak kembali ngomel.
"Nanti ngekos, kalau ada apa-apa gimana? Mau minta tolong siapa kamu?" Abang ikut-ikutan.
Adek menghela nafas pelan. Susah memang menghadapi ketiga kakaknya ini.
Mata polosnya beralih pada Papi-Mami yang masih diam memperhatikan adu argumen keempat jagoannya.
"Papi sama Mami kasih ijin Adek ngekos, kan?" Tanyanya penuh harap.
Papi diam. Menatap empat putranya bergantian. Satu memberi tatapan layaknya anak kucing, sedangkan yang tiga menatapnya seperti harimau.
"Kalau adek mau, nggak apa-apa."
"PAPI!!!" Nah, kan. Yang tiga langsung protes.
Mami tertawa pelan. Lucu sekali melihat ketiga putranya yang terlalu protektif pada si bungsu.
"Lagipula nggak ada salahnya juga, loh. Biar Adek bisa belajar mandiri. Nggak semua-semuanya kalian bantuin." Mami mencoba memberi pengertian.
"Tapi, Mi. Si bontot tuh kalo nggak dijagain, terus nanti kenapa-kenapa, yo opo?" Si Kakak masih ngotot sama pendapatnya.
"Dia aja masih susah bangun pagi sendiri." Abang mengompori.
"Aku beneran nggak bisa bayangin Adek ngekos sendirian." Mas menghela nafas, ikut memijit pelipisnya.
Si Adek yang dibicarakan menautkan alis. Kok ini para abangnya jadi buka aib dia?
"Pokoknya Adek mau ngekos! Titik!" Finalnya.
"Enggak!"- Mas.
"No way!" - Abang.
"Skip!" - Kakak.
"Au, ah! Gak ada yang sayang sama Adek!"- Adek.
🌎🌊🔥🌪️ToBeContinued🌪️🔥🌊🌎
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kos 🏡
Teen Fiction"Adek mau ngekos!" -Adek. "Gak boleh." -Mas. "No way!" - Abang. "Skip!" -Kakak. "Au ah! Semuanya jahat sama adek!!" - Adek T^T . . Tentang anak bungsu yang pengen mandiri. Tentang tiga kakak yang posesif. Tentang drama anak kos yang--- Ah, sudahlah!