"Nah, ini kamarnya!"
Ibu setengah baya berwajah ramah membuka pintu kamar bernomor 105. Menampakkan ruangan 4x5 meter bercat putih. Didalamnya ada ranjang single, lemari 2 pintu, meja belajar, dan satu pintu di pojok yang mungkin adalah kamar mandi, juga ada AC.
Aiden mengerjap. Menelisik seluruh penjuru ruangan. Alisnya bertaut
"Mi, kok mirip kamarnya si Mbak di rumah, yo." Bisiknya di telinga Maminya.
"Hush! Ngawur!" Si Mami menepuk pelan lengannya, memperingatkan.
"Kamar ini sudah ada kamar mandi dalamnya. Tapi, di luar juga ada kamar mandi bersama. Ada di dekat dapur." Ibu kos - panggil saja Bu Ami - masih menjelaskan.
"Oh, ada dapurnya juga, ya?" Mami bertanya antusias.
"Iya, ada dapur bersama. Kadang anak-anak sini seneng masak bareng-bareng pas libur." Bu Ami menjelaskan diselingi tawa.
"Waah, bagus itu. Tuh, Dek. Nanti bisa minta ajarin masak sama temen-temen di sini." Mami beralih pada Aiden yang hanya mengangguk-angguk. Entah serius mendengarkan, atau sekedar biar Mami nggak cerewet.
"Ada ruang cuci dan jemur baju di lantai atas. Mesin cuci juga ada, tapi cuma satu. Jadi, pakainya nanti gantian, ya."
"Aku tak ke laundry aja ya, Mi?"
"Lha, kok malah laundry ki gimana to? Katane mau belajar mandiri?" Si Mami ngomel.
Bu Ami terkekeh mendengar ucapan polos Aiden. Nyatanya, sekali lihat dia langsung tahu remaja di hadapannya ini adalah anak yang lahir dengan sendok emas di mulutnya. Nggak pernah hidup susah. Jadi, ya, maklum saja.
"Di sekitaran kos sini banyak jasa laundry, kok. Mas Aiden bisa ke sana kalau emang gak mau nyuci sendiri. Cuma, biasanya anak kos lebih suka nyuci sendiri. Bisa hemat uang." Bu Ami sabar menjelaskan.
"Nanti minta ajarin nyuci baju sama Mbak di rumah, Dek. Biar adek bisa coba nyuci baju sendiri, yo."
Aiden cuma mengangguk. Biar gak panjang urusannya.
"Oiya, boleh bawa kendaraan. Ada tempat parkirnya, yang di depan tadi. Tapi, cuma buat motor sama sepeda, ya. Nggak boleh bawa mobil. Soalnya makan tempat. Kasihan nanti yang lainnya nggak kebagian parkir." Bu Ami menginformasikan.
Mami mengangguk paham. Beralih pada putra bungsunya.
"Gimana, Dek? Kamu mau kos di sini ta? Sreg ndak? Apa mau coba cari-cari lagi?"
Aiden kembali menatap sekeliling kamar. Nggak seluas dan sebagus kamarnya di rumah. Tapi, lumayan, lah. Setidaknya kos ini juga lebih bagus dari beberapa kos-kosan yang dia lihat sebelumnya. Lebih bersih, rapi, dan terlihat terawat. Gak jauh juga dari kampus. Tinggal keluar gang, belok dikit, sampai. Lagian, dia juga capek kalau harus nyari-nyari lagi.
"Ambil ini aja, deh, Mi. Capek aku kalau mau nyari-nyari lagi." Mulai kumat rewelnya kalau capek.
Mami menghela nafas pelan. Mengusap rambut anak bungsunya pelan.
"Yawes. Mami mau urus sewanya dulu sama Bu Ami. Kamu mau ikut apa nunggu di sini?"
"Aku tak nunggu sini aja."
Aiden duduk-duduk di atas ranjang kamar. Tak seempuk ranjangnya di rumah. Tapi, not bad lah. Nggak buruk-buruk amat. Dia bisa coba tinggal dulu di sini. Kalau emang gak nyaman, tinggal minta pindah ke Maminya nanti.
"Eh, ada anak baru, ya?"
Atensi Aiden beralih pada pintu kamar yang terbuka. Ada dua cowok berdiri di sana. Sama-sama tinggi, mungkin setinggi Mas Bumi. Yang satu berkulit putih berwajah kalem. Satunya berkulit sawo matang berwajah agak judes. Tapi, keduanya ganteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kos 🏡
Teen Fiction"Adek mau ngekos!" -Adek. "Gak boleh." -Mas. "No way!" - Abang. "Skip!" -Kakak. "Au ah! Semuanya jahat sama adek!!" - Adek T^T . . Tentang anak bungsu yang pengen mandiri. Tentang tiga kakak yang posesif. Tentang drama anak kos yang--- Ah, sudahlah!