"Iki kamarnya nggak ada yang lebih gede dari ini ta, Mi?"
Bumi memindai kamar kos Aiden. Mengernyit begitu melihat kamar yang bahkan tidak mencapai sepertiga luas kamar adiknya di rumah.
"Kamar kos ukuran segini itu wes gede, Mas." Mami menyahuti. Menata baju-baju Aiden ke dalam lemari.
Aiden menatap Masnya yang membantu Mami menata sepatu-sepatunya di rak sepatu.
"Mas." Panggilnya sambil mengunyah keripik kentang.
"Kenapa, Dek?"
"Kamar'e Mas Bumi pas di Amerika lebih gede dari ini?" Tanyanya penasaran. Bumi memang pernah tinggal di Amerika beberapa tahun pas menempuh pendidikan magister dan doktornya.
Bumi terkekeh. Duduk di kursi belajar begitu sepatu di rak sudah beres.
"Nggak juga. Tapi, emang lebih gede dari ini."
"Kok aku nggak inget, ya?" Aiden mengingat-ingat.
"Lha kamu kapan diajak jenguk Mas Bumi, malah ngelayap main sama Abang sama Kak Bri gitu, loh. Gak pernah mau diajak ke apartemennya Masmu." Mami ikut menyahut.
Aiden nyengir. Iya juga, sih.
"Ini kos baru, ya? Kok sepi banget." Bumi kembali berkomentar.
"Kata Bu Ami kemarin lagi banyak yang pulang kampung. Liburan semester soalnya. Paling tinggal beberapa yang masih stay di kos." Jelas Mami. Mendudukkan diri di samping Aiden di atas ranjang.
"Oh, Adek kemarin kenalan sama dua anak kos sini, Mi." Aiden ingat dengan kenalan barunya kemarin.
"Oiya? Kapan? Kok Mami nggak tahu?"
"Itu loh, pas Mami lagi ngurus sewa kos."
"Siapa, Dek?" Bumi menatap Aiden serius.
"Namanya Mas Vano sama Mas Zico. Semester 6 katanya. Kamar 101 sama 104." Cerita Aiden.
"Baik ndak orangnya?" Mami penasaran.
"Baik kayaknya. Ramah mereka sama Adek." Meskipun Zico terlihat agak serem eheehe.
"Syukur kalau gitu." Mami mengelus rambut bungsunya sayang. Menatapnya serius, "Dek, sekarang Adek udah ngekos. Gak tinggal bareng Mami, Papi, Mas, Abang, sama Kakak. Harus bisa mandiri, ya. Nggak apa-apa kalo gak langsung bisa, tapi harus mau belajar. Terus, yang akur juga sama temen-temen di kos, ya."
Mami memberi nasehat. Agak tidak rela sebenarnya melepas Aiden untuk kos. Bungsunya itu yang paling manja diantara keempat putranya. Dari kecil terbiasa apa-apa ada yang bantu. Paling dimanja sama kakak-kakaknya. Agak sangsi mau melepasnya hidup sendiri begini. Tapi, mau gimana. Aiden ngeyel. Pengen nyoba ngekos biar bisa belajar mandiri katanya.
Aiden mengangguk, "Iya, Mi."
"Kalau ada yang resek, bilang ke Mas. Biar Mas urus nanti." Bumi berucap serius.
"Iya."
"Kalo nggak kerasan, bilang. Kamu nanti balik ke rumah aja, nggak usah ngekos-ngekos." Lanjutnya. Masih gak rela melepas bontot kesayangan keluarga itu ngekos.
Aiden berdecak, menatap malas Masnya, "Doa'ne Mas, loh, jelek!"
Mami tertawa. Ah, pasti rumah jadi sepi kalau nggak ada bungsu kesayangannya.
"Dek, mau jalan-jalan keluar dulu? Beli camilan? Nanti bisa dibagi ke temen-temen kos sekalian kenalan." Ajak Mami yang diangguki semangat oleh Aiden.
"Mau, Mi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kos 🏡
Teen Fiction"Adek mau ngekos!" -Adek. "Gak boleh." -Mas. "No way!" - Abang. "Skip!" -Kakak. "Au ah! Semuanya jahat sama adek!!" - Adek T^T . . Tentang anak bungsu yang pengen mandiri. Tentang tiga kakak yang posesif. Tentang drama anak kos yang--- Ah, sudahlah!