Di Bawah Awan Abu-Abu

16 2 0
                                    

Pada satu masa,
aku pernah percaya,
bahwa aku bisa menjangkaumu yang jauh di ujung sana.

Memang sulit.
Aku tersandung dahan, terbakar matahari, dan bahkan terhempas hujan.

Ketika sampai di tembok tinggi yang kau bangun, aku masih yakin untuk terus maju.

Aku memanjat, mengabaikan seluruh sendi tubuh yang memaksa diistirahatkan.

Tak perlu berpikir dua kali untuk terjun dari tembok itu, kembali berlari ke arah pintu yang kukira akan kau buka saat diketuk.

Entah sudah berapa lama, tapi rasanya pintu itu justru menjauh.

Napasku semakin tersenggal, langkahku tertatih, kesadaranku hampir hilang, lalu aku terduduk di atas alas penuh duri.

Sebagian yang kulihat mulai menggelap.

Aku hampir menyerah.

Benar-benar hampir menyerah.

Lalu sepersekian detik sebelum semua berubah hitam, pintu itu terbuka, menampilkan sosokmu yang memandangku tepat di mata.

Aku tidak peduli apapun lagi, memaksa bangkit, lalu tersenyum penuh harapan untuk terus berusaha menggapaimu kembali.

Beberapa detik tertahan.

Senyumku luruh saat kutahu kau menutup pintu itu untuk kesekian kali, lalu seketika di hadapanku terbentuk tembok baru yang lebih kokoh dan tinggi.

Tiba-tiba aku terjatuh dalam lubang, kesadaranku menghilang.
.
.
.
.
.
Siklus itu berulang.
Kukira, jika terus berusaha, aku bisa sampai di ujung sana.
Aku mencari jalan lain, tapi hasilnya nihil, energiku sudah terkuras habis.
Aku lelah.
.
.
.
.
.
Tolong, jika memang kau tidak ingin kujangkau, buka pintu itu untuk terakhir kalinya, katakan padaku secara jelas untuk berhenti sekarang juga, jangan hanya memberi tatap tanpa makna.
Buat aku percaya bahwa "kita" tidak akan pernah ada.

Rabu, 27 Oktober 2021 pukul 10.42 WIB
—dy

a.m. | p.m.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang