Adis meletakkan handuknya di gantungan, lalu dia duduk di meja belajarnya. Ia mengambil lagi surat dari Raka dan juga formulir rumah sakit miliknya. Dua tulisan tangan ini sangat berbeda, tulisan Samuel bahkan tidak ada kemiripan sama sekali dengan tulisan milik surat misterius itu. Sedangkan Raka, mulai dari cara dia menulis huruf kapital di setiap awal kalimat, sampai pada tanda bacanya pun sangatlah mirip.
Lalu kenapa Samuel mengaku kalau itu tulisan tangannya?
Kalaupun pengirim misterius ini adalah Raka, kenapa dia harus memberinya secara sembunyi-sembunyi?
Dia memijat keningnya pelan, Raka dan Samuel membuat dirinya makin pusing. Dia lalu mengambil sebuah foto dari laci, ia tersenyum melihat foto itu.
Seorang laki-laki yang mengenakan jersey futsal, sedang bertanding. Dia terlihat sangat lihai dalam memainkan bola, wajahnya yang sangat serius melihat bola futsal yang ada di kakinya, membuat penampilannya tampak sempurna.
Ia melihat foto lain, laki-laki itu membelakangi kamera. Terlihat nomor punggung 6 di belakang kostumnya, dan nama bertuliskan Caraka.
Raka masih tetap menempati hati Adis, walaupun belakangan ini agak terusik oleh kehadiran Samuel di hidupnya. Gadis itu masih belum mau menggantikan Raka dengan laki-laki lain. Tapi dia teringat kata-kata Zeta, kalau dia membebaskan dirinya untuk jatuh cinta, artinya dia juga membebaskan hatinya untuk terluka.
"Raka, kalau emang lo pengirimnya, kenapa harus sembunyi, sih?"
Adis berdecak, disatu sisi dia sebal dengan kado-kado misterius yang entah dari siapa, tapi disisi lain dia juga penasaran.
Satu ide terlintas di benaknya, dia mengambil ponselnya di kasur, lalu mengintip keluar kamar, memastikan bahwa mamanya masih belum pulang dari acara reuni. Setelah dirasa aman, dia duduk kembali ke meja belajarnya, lalu menelpon Samuel.
"Hai, Dis." Samuel terlihat ceria di seberang sana. Adis tersenyum, "Hai."
"Lo belum tidur? Maaf ya gue ganggu malem-malem." ucap Adis. Samuel menggeleng, "belum kok, gue baru aja beres makan malem. Jadi lo gak ganggu."
"Ada apa, Dis? Tumben banget video call gue?" tanya Samuel. Adis mengambil gantungan kunci yang dibelinya beberapa minggu lalu bersama Zeta, lalu menunjukkan benda itu pada Samuel.
"Gue mau tunjukin ini, bagus banget soalnya. Iya kan?" tanyanya. Samuel mengangguk sembari tersenyum.
"Jadi lo mau night talk sama gue, nih?" ucapnya sambil terkikik. Adis menggelengkan kepalanya, "ge-er banget lo."
"Iya deh, bagus kok."
"Makasih ya, udah beliin gue ini." Ucap Adis. Dia sengaja menjebak Samuel, kalau memang laki-laki itu hanya mengaku-ngaku saja, dia pasti akan menjawab iya.
Samuel mengerutkan keningnya, "Bukannya itu lo belinya sama Zeta ya?"
Hah? Bagaimana dia bisa tahu?
"Hah?"
"Iya, itu lo belinya bareng Zeta kan?" tanya Samuel lagi. Adis diam sejenak, apa dia pernah menceritakan barang ini pada Samuel? Sepertinya belum. Atau Zeta yang bercerita pada laki-laki itu?
"Kok lo tahu sih? Kan gue beli ini dari lama, sebelum lo pindah ke sini." Ucap Adis kikuk. Samuel hanya tersenyum, "Dis, I gotta go. I'll talk to you later. Bye."
Sambungan telpon pun terputus, kini tersisa Adis yang bingung. Kenapa laki-laki itu bisa tahu soal gantungan kunci ini? Dia juga tahu kalau Adis membeli barang ini dengan Zeta. Padahal, mereka belum saling kenal waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remaja dan Lukanya [END]
Teen FictionTentang enam remaja yang berusaha mencari jati dirinya, tetapi masing-masing mempunyai luka yang masih belum tuntas. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Tentang gadis be...