Sambungan telepon terhubung. Lyly menghela nafas, dia harus menyampaikan hal ini pada laki-laki itu. Dia diam sejenak, lalu melihat benda di tangannya.
"Positif."
Dua garis merah yang ada di indikator benda itu menjelaskan semuanya. Dia bukan sedang sakit biasa seperti demam, atau flu. Penyebab dia mual-mual dan lemas belakangan ini, karena dia sedang mengandung.
Lyly sudah menduga akan hal ini, maka dari itu dia ogah di bawa ke klinik untuk memeriksa keadaannya. Hal yang membuat dia bingung sekarang adalah bagaimana caranya menutupi ini semua dari kedua orangtuanya.
Di seberang telepon, pria itu menghembuskan nafasnya.
"Kamu mau pertahanin atau enggak?"
Lyly bingung, dia tidak tega untuk menggugurkan kandungan ini. Tapi masa depannya akan hancur jika dia mempertahankannya.
Lyly sudah melewati batasnya.
"Bingung. Gimana kalau orang tua aku tahu?" tanyanya. Dia bimbang dengan pilihan yang harus di ambil, apakah dia harus mempertahankan bayi yang tak bersalah ini?
"Ya udah, gugurin aja." Putus laki-laki itu. Lyly menggigit bibirnya, ada perasaan tak rela ketika laki-laki itu menyuruhnya menggugurkan kandungan ini.
"Kasihan." Ucapnya pelan.
"Terus maunya gimana?"
"Emang, kamu mau tanggung jawab?" tanya Lyly pelan.
"Enggak juga. Dari awal kita cuma mau senang-senang aja, kan?" jawab laki-laki itu enteng. Lyly mengerutkan keningnya. Bukannya laki-laki itu berjanji padanya untuk menanggung semua yang akan terjadi? Dia memaksa Lyly untuk melakukannya dan berjanji bahwa semua baik-baik saja. Sekarang, dia menghempaskan Lyly begitu saja?
"Kok gitu? Ini semua juga karena ulah kamu, kan?" ucapnya mulai tak terima. Dia ingin menuntut kewajiban laki-laki ini untuk bertanggung jawab. Kalau saja malam itu dia tidak memaksa Lyly, semua ini tidak akan terjadi.
"Harusnya waktu itu kamu minum pil KB, supaya gak kejadian kayak gini."
Mata gadis itu berkaca-kaca, dia benar-benar dibuang oleh laki-laki ini? Brengsek. Dia melanggar janjinya. Padahal, dia kira, laki-laki itu adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan tidak akan meninggalkannya.
"Aku hamil juga karena kamu yang gak mau pakai pengaman!" ucapnya lantang. Dia menangis.
Adis mendengar semua percakapan Lyly dan seseorang di telpon itu, dia terkejut bukan main ketika mengetahui adiknya hamil diluar nikah, dan tidak tahu siapa ayahnya. Lyly, adik kecilnya itu, hamil?
"Ly..."
Lyly terkesiap, dia mematikan sambungan teleponnya. Lalu ia berbalik, menatap Adis yang berdiri di depan pintu kamarnya. Gadis itu menatap dirinya nanar. Gawat, apa Adis mendengar semuanya?
"Lo hamil?" tanya Adis dengan suara sangat pelan, dia tak sanggup menanyakan hal itu pada Lyly. Dia berharap, ini semua hanya mimpi buruknya. Lyly memang sering bertingkah menyebalkan, dan sering mengejeknya. Tapi untuk hal ini, dia yakin adiknya itu tak akan macam-macam.
"Kalau masuk tuh ketuk pintu dulu!" sebal Lyly. Adis melihat benda kecil yang digenggam oleh Lyly. Ia langsung mengambil benda itu dari tangan Lyly. Dia melihat testpack dengan dua garis merah yang tercetak jelas disana. Jadi, ini semua benar?
"Ini apa?" tanya Adis pelan. Lyly bungkam. Dia tidak punya alibi apa-apa sekarang. Lyly menunduk, enggan untuk menjawab pertanyaan sang kakak.
"JAWAB GUE, LY!" bentak Adis. Dia tak menyangka, adik kecilnya yang ia kira lugu dan polos, bisa melakukan hal se-ekstrem ini. Kalau orang tuanya tahu, Lyly bisa dimarahi habis-habisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remaja dan Lukanya [END]
Teen FictionTentang enam remaja yang berusaha mencari jati dirinya, tetapi masing-masing mempunyai luka yang masih belum tuntas. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Tentang gadis be...