14. Jatuh, Lagi.

5.7K 547 35
                                    

Renjun melangkahkan kaki nya memasuki ruangan gelap yang familiar bagi dirinya. Melewati beberapa pria bertubuh kekar yang menunduk ketika Renjun berjalan dihadapan mereka. Ketika pintu ruangan tersebut kembali tertutup, Renjun menyeringai, malam yang indah untuk menghabisi beberapa nyawa.

.
.
.

Pria bermarga Huang itu tampak emosi, memukuli beberapa perempuan yang hampir telanjang dihadapannya yang kini berlutut memohon ampun. Namun Renjun tidak perduli, dirinya belum puas.

"Huh dasar perempuan sialan, berani-beraninya menghina nana-ku." dengus Renjun kesal.

"R-renjun, kita minta maaf. Tolong jangan b-bunuh kami!" mohon salah satu perempuan, tapi lagi-lagi Renjun menulikan pendengaran nya.

Renjun tersenyum miring, ia menangkup wajah perempuan tersebut dengan salah satu tangan nya. "Lo pikir gue bakal maafin lo sama temen-temen lo gitu aja?"

Setelahnya Renjun menghempaskan wajah perempuan itu dengan kasar, lalu meludahi perempuan yang sedang meringis pelan. "Ga ada kata maaf buat gue, ngerti?"

Tubuh mereka semakin gemetar, tatapan tajam Renjun seolah-olah ingin membunuh secara perlahan.

Lalu setelahnya terdengar suara teriakan bersahut-sahutan dari para perempuan yang disiksa oleh Renjun. Darah yang mengotori seisi ruangan tak membuat Renjun merasa takut, justru dirinya semakin menggila, merasa senang ketika tubuh perempuan-perempuan itu terkoyak oleh pisau nya.

Dua perempuan ia sayat kulit nya menggunakan pisaunya, sedangkan tiga yang lainnya Renjun pukul menggunakan tongkat golf yang disediakan di ruangan itu. Tentu saja, Renjun sudah menyiapkan barang-barang yang akan ia pakai untuk kegiatan kotornya.

"R-renjun to-long ampuni k-ami"

Namun Renjun tetaplah Renjun yang tidak mengenal ampun, siapa yang berani mengusik dirinya, tidak akan pernah lepas dari tangan nya.

Renjun tertawa, menakut-nakuti 5 perempuan yang sudah mulai menyerah akan hidup mereka. Tawa Renjun kian mengeras kala melihat para perempuan itu mulai terbaring lemah, darah mereka terus mengalir dilantai ruangan yang menjadi tempat Renjun mengeksekusi para mangsa nya.

Renjun menarik perempuan-perempuan itu supaya berkumpul di satu tempat, lalu mengikat mereka dengan tali panjang yang sebelumnya sudah Renjun siapkan juga. Setelahnya Renjun berjalan menuju pojok ruangan, mengangkat ember yang berisi air keras.

"Selamat tinggal, bajingan."

byurr

Air itu Renjun semburkan ke para perempuan yang mulai kehilangan kesadarannya.

Renjun menyeringai puas. Setelah beberapa hari tidak menggunakan pisau kesayangan nya, kini ia kembali menciptakan luka-luka baru ditubuh manusia yang membuatnya terbakar emosi.

"Huhhh... Waktunya ke rumah nana."

.
.
.

"Ren!"

Setelah Renjun sampai di rumah sang kekasih, pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah Jaemin yang tampak sedang terkejut akan sesuatu. Lantas si pria dominan itu segera mendekat pada pujaan hati nya, Renjun duduk disamping Jaemin, diraihnya tangan si manis yang bergetar.

"Kenapa sayang?"

"Ren, Sena meninggal." ucap Jaemin dengan lirih. Matanya tampak berkaca-kaca, tangan nya juga tidak kunjung reda dari tremor nya.

Renjun tampak sedikit terkejut, namun ia segera bertanya pada Jaemin perihal alasan mengapa Sena bisa meninggal.

"A-aku gatau, tadi tiba-tiba bunda bilang k-kalau Sena meninggal. Kata bunda, ini semua gara-gara aku nolak nemenin Sena pergi ke mall kemarin." Jaemin tak kuasa menahan tangis nya, lagi-lagi dirinya dirundung rasa bersalah.

Renjun membawa Jaemin kedalam pelukannya, menenangkan kekasihnya yang lagi-lagi harus disalahkan oleh seseorang yang disebut 'Bunda'.

Renjun diam-diam menyeringai, ia tidak menyangka kalau obat yang ia taruh kedalam minuman Sena akan secepat ini bereaksi.

Ya walaupun memang Renjun awalnya ingin Sena cepat mati, namun melihat perempuan itu sedikit tersiksa karena rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya menjadi hiburan tersendiri bagi Renjun.

Tapi ada rasa tidak suka saat Renjun mendengar bahwa ibu dari kekasihnya malah menyalahkan kesayangannya itu. Padahal Jaemin hanya menolak menemani Sena untuk pergi berbelanja.

"Suttt, gapapa sayang. Bukan salah kamu, jangan dengerin bunda mu. Kamu ngga salah, Sena meninggal karena udah takdir nya dia." ujar Renjun sambil mengusap kepala Jaemin dengan lembut.

'Cih, takdir? Omong kosong.'

Ya, sebuah takdir dari seorang Huang Renjun.

.
.
.

"Ren, malam ini aku boleh nginep diapart kamu ngga?"

Setelah selesai acara pemakaman Sena, kedua remaja itu memilih untuk tinggal sebentar di cafe yang lumayan sepi. Sekedar berkunjung dan sedikit mengisi perut dengan makanan ringan dan juga minuman dingin.

"Pastinya boleh, sayang." Renjun mengelus punggung tangan Jaemin yang kini sedang ia genggam.

Keduanya duduk bersebelahan, di meja paling pojok dekat jendela, disamping mereka terpampang jelas bagaimana jalan raya di petang hari ini.

"Bunda ga bolehin aku pulang."

Lagi, semua karena sosok ibunda si manis.

"Gapapa, kamu bisa pulang ke rumah ku, atau ke apartemen aku, sayang. Kamu lebih aman kalau sama aku."

Tangan Renjun beralih merengkuh pinggang ramping sang kekasih, ia membawa kepala Jaemin untuk bersandar di bahu nya.

"Terimakasih Ren."

"With my pleasure, love."

Mau bagaimanapun Jaemin tidak bisa terlepas dari fakta bahwa Renjun lah yang selalu berada disisinya.

.
.
.

"Ren, tiba-tiba aku kepikiran sesuatu."

Kedua remaja itu sedang berbaring di ranjang luas milik pria bermarga Huang. Kedua nya memilih untuk menginap di apartemen Renjun saja, supaya terasa lebih nyaman.

Hingga pukul jam 12 malam, Renjun dan Jaemin masih terjaga. Pikiran si manis mulai berkelana kemana-mana.

"Apa?"

"Gimana kalau yang ada di posisi Sena itu aku?" Jaemin semakin masuk kedalam rengkuhan hangat kekasihnya, ia menenggelamkan kepala nya di ceruk leher Renjun. "Apa bunda bakal sesedih itu, sampai tega ngusir darah daging nya sendiri?"

"Kamu ga akan pernah jadi Sena, Na. Sena mati karena aku, dan kamu ga akan pernah aku lepasin."

"Ren."

"Kenapa sayang?"

"Kadang aku takut sama kamu." Renjun memaklumi ucapan Jaemin, pasti si manis masih belum terbiasa dengan sifat Renjun yang tidak memiliki rasa manusiawi pada orang-orang yang tidak dikenalnya. "Tapi, aku cuman punya kamu Ren."

"Ayah, Bunda, bahkan keluarga besar ku ga ada yang pernah sayang sama aku." Perlahan-lahan air mata si manis mulai mengalir. "Cuman kamu, yang sayang sama aku Ren."

Renjun menepuk-nepuk punggung sang kekasih dengan gerakan pelan, hidung nya dapat menghirup wangi shampo yang digunakan Jaemin dengan jelas, ah ia sangat menyukainya.

"Ren, kalau kamu ninggalin aku, aku bakal nyerah."

Renjun terkekeh gemas, ternyata si manis diam-diam menjadi budak cinta ya.

"Kalau gitu kamu ga akan pernah nyerah. Aku, Huang Renjun ga akan pernah ninggalin Na Jaemin." ucapan Renjun membuat Jamin tersipu malu, namun tidak hanya sampai disitu, Renjun masih memiliki beberapa kata untuk diucapkan. "Oh, segera jadi Huang Jaemin."

Ah sialan, psikopat gila ini membuat Jaemin semakin jatuh cinta.

.
.
.

to be continue...

hadeh mau cowo kyk renjun di book ini, tapi gausa psikopat juga😇💕

haio yang mau puasa harus tahan baca wp di akun ku yah, soalnya isinya dosa semua😋😋

Psycho [RenMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang