10

725 63 26
                                    

__________happy reading________


Pagi hari di kediaman Gerald terasa sedikit berbeda bagi Rin yang baru saja menginjakkan kaki di sana. Ia merasa canggung, kebingungan, dan merasa rikuh di depan keluarga Gerald.

Hal itu terlihat jelas ketika sarapan pagi dimulai hingga sarapan telah selesai pun, Rin hanya diam menyimak obrolan mereka tanpa ada niatan ingin menimpali. Hanya sesekali saja ia menjawab pertanyaan dari Kalina atau Gerald  mengenai hobi dan juga tempat favorit yang Rin kunjungi saat akhir pekan. Selebihnya, Rin hanya menyimak dan tersenyum tipis sebagai basa-basi semata.

Ketika sarapan telah usai, Rin berjalan hendak kembali ke paviliunnya. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat mendengar panggilan dari Kalina. Rin memutar badannya ke belakang, ia melihat Kalina dan juga Zen berdiri tak jauh darinya saat ini.

"Rin, kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa minta tolong Zen belikan, atau kamu juga bisa ngomong ke Tante. Jangan sungkan-sungkan ya, Rin?" Kalina berkata dengan tutur kata lembut khas wanita itu, Rin tersenyum dan mengangguk mengerti.

Kalina berjalan kembali untuk masuk ke dalam rumahnya, akan tetapi Zen dan juga Rin tetap mematung di sana tanpa ada yang ingin membuka suara terlebih dahulu. Zen sudah siap dengan setelan seragam sekolah yang membuat pemuda itu terlihat rapi juga tampan, dan hal itu membuat Rin merindukan masa-masa sekolahnya dahulu. Ia ingin sekali kembali sekolah dan belajar, juga bercengkrama bersama Liora atau Hana.

Tanpa mereka sadari, tatapan miris dari dua orang paruh baya sedang mengamati mereka sedari tadi. Tak adanya interaksi keduanya, atau dinginnya sikap kedua remaja itu membuat perasaan Gerald dan juga Kalina merasa sedikit kecewa. Bagaimanapun juga, Zen ataupun Rin harus ada yang mengalah dari ego masing-masing dan memulai sebuah hubungan yang baru bagi keduanya.

Akan tetapi, melihat interaksi mereka yang sangat dingin dan kaku, membuat kedua orang paruh baya itu menghembuskan napas lelah. Mereka tak bisa berbuat banyak untuk mendekatkan Zen dan Rin. Pasalnya, mereka memiliki jalan hidup sendiri yang tak bisa dipaksakan oleh kehendak orangtua.

"Kita harus sabar, Ma," ucap Gerald menenangkan sang istri yang tampak sedih. Lelaki itu merengkuh bahu istrinya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Lu butuh apa?" Tanya Zen memecah keheningan. Ia tak bisa menunggu sampai Rin membuka suara, bisa-bisa ia akan terlambat untuk pergi ke sekolah pagi ini.

Rin menundukkan kepalanya, ia merasa tak enak hati jika harus meminta sesuatu pada Zen. Alhasil, gadis itu hanya menggeleng pelan dan masuk ke dalam paviliunnya.

Zen melihat kepergian Rin, ia merasa kesal dengan sikap gadis itu yang sangat tertutup dan pendiam. Sifat pemalu Rin juga sedikit mengganggu Zen. Karena di mata pemuda itu, Rin akan terlihat seperti anak terlantar ketika sifat pemalunya kambuh di depan umum.

Zen tampak berpikir sejenak, ia sedari pagi sudah memperhatikan gerak-gerik Rin secara diam-diam tanpa diketahui oleh siapapun. Zen ingat bahwa Rin hanya memakan sedikit sekali makanannya, dan sejak awal gadis itu duduk untuk sarapan, pandangan mata si gadis hanya terfokus pada keranjang buah yang ada di meja makan. Ia seakan ingin memakan buah-buahan itu, namun tak berani untuk mengambilnya karena merasa segan atau malu.

Zen tersenyum tipis ketika sudah mengetahui apa yang diinginkan Rin, maka ia bisa berangkat sekolah dengan perasaan tenang.



***



Sorak sorai para siswi yang berkerumun di pinggir lapangan membuat Zen merasa kesal dan ingin sekali melempar mereka dengan bola basket yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya. Zen tidak suka suara melengking para siswi yang terdengar menusuk telinga, begitupun dengan tingkah mereka yang memalukan di mata Zen, membuat pemuda itu bedecih kesal dan mengumpat dalam hati.

Ketika Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang