12

206 19 6
                                    


Happy Reading~



Sejak pukul 5 pagi tadi Ambar sudah sibuk dengan rutinitas hariannya, memasak makanan untuk sarapan, membersihkan seluruh area rumah, juga mencuci beberapa helai pakaian miliknya dan juga Revan.

"Akhirnya selesai juga," ucap Ambar setelah menghembuskan napas lelahnya. Ia menyeka sedikit keringat yang menetes di dahinya, rasa lelah benar-benar membuat Ambar ingin segera meneguk kembali segelas es jeruk yang beberapa saat lalu sudah ia buat untuknya sendiri dan juga Revan.

"Oh iya, aku lupa membersihkan kamar Rin. Pasti anak itu belum bangun. Dia harus olahraga pagi ini!" Ambar segera membawa kembali sapu dan kemoceng yang beberapa menit lalu ia letakkan di meja ruang tengah. Wanita itu menuju kamar Rin dan berniat membangunkan si gadis.

"Rin, bangun! Olahraga dulu, Rin, Abang sudah menunggu." Ambar setengah berteriak dari balik pintu kamar Rin, wanita itu juga mengetuk pintu kamar tersebut beberapa kali.

Karena tidak ada sahutan dari dalam, Ambar segera membuka pintu tersebut dan mematung seketika disaat kesadarannya telah kembali.

Ambar menatap bingung ruangan yang kini perabotannya telah tertutup kain putih tersebut, air matanya menetes seketika saat ia menyadari bahwa putri tirinya telah ia usir dari rumah beberapa waktu lalu.

Ambar terduduk di lantai yang dingin dengan air mata yang menetes tiada henti, hatinya terasa sakit, dadanya sangat sesak ketika mengingat sosok gadis cantik yang setiap pagi selalu menyapanya di dapur ketika Ambar tengah menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya itu.

Ambar membenci Rin yang telah membuat suaminya meninggal, tetapi Ambar juga menyadari bahwa kehilangan Rin juga menjadi pukulan hebat dalam dirinya.

Hampir setiap hari Ambar selalu memikirkan nasib putrinya tersebut.

Di mana ia sekarang?

Apa Rin sudah makan?

Apa dia baik-baik saja?

Bagaimana dengan kandungannya?

Apa anak kecil itu bisa melewati masa-masa awal kehamilannya dengan baik?

Itulah yang menjadi pertanyaan Ambar setiap hari.

Meski begitu, Ambar tak lantas berniat mencari Rin, egonya yang tinggi mengalahkan rasa pedulinya pada Rin. Ambar tetap pada keegoisannya sama seperti dahulu.

Wanita paruh baya itu kembali berdiri, ia menyeka air matanya dan keluar dari kamar Rin. Ia harus terlihat tegar untuk anak lelakinya, ia tak ingin kesedihan kembali menguasai sang putra.


***

Rin merajut sebuah topi bayi di ruang tengah kediaman keluarga Gerald, terlihat pula Kalina yang tengah fokus pada majalah fashion-nya dan sesekali bertanya pendapat pada Rin tentang dress indah yang ia lihat.

"Kamu mau yang warna biru atau pink, Sayang?" Sekali lagi Kalina bertanya pada Rin tentang dress seperti apa yang wanita muda itu inginkan, dan lagi-lagi Rin menggeleng tanda bahwa ia menolak pemberian Kalina.

Kalina menghembuskan napas lelah, ia pun menutup kembali majalahnya dan berniat akan membawa Rin langsung ke toko baju saja untuk membelikan gadis itu beberapa helai pakaian.

"Siang, Tante!" Suara riang seorang pria seketika membuat Rin tercekat. Jarum rajut yang ia pegang detik itu juga jatuh ke lantai marmer yang dingin.

Jantung Rin berdegup kencang kala mendengar suara yang ia kenali berada di rumah ini. Rin menoleh ke belakang dan benar saja dugaannya bahwa Javier lah yang memanggil Kalina beberapa detik lalu. Ia juga melihat sosok Zen yang berjalan santai di sebelah pemuda itu bersama dengan David yang berada di belakang mereka.

Ketika Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang