11

189 16 1
                                    

Happy Reading ~




Makan malam terasa begitu hening, suasana canggung menyelimuti hati Rin. Apalagi semenjak makan malam dimulai, Zen terus saja memperhatikan Rin dan tanpa ragu menatap gadis itu selama beberapa detik bahkan beberapa menit lamanya.

Hal yang mungkin dianggap sepele oleh Zen, nyatanya berpengaruh besar pada Rin, terlihat gadis itu yang salah tingkah dan tampak gugup ketika menjawab beberapa pertanyaan dari Kalina.

Tak berapa lama, suasana mendadak berubah begitu hangat ketika Gerald mengajak Zen sedikit bercanda selepas makan malam itu. Mereka kini duduk bersama di ruang tengah dengan secangkir teh di depan mereka masing-masing. Zen sesekali tertawa, ia juga beberapa kali melihat ke arah Rin yang terlihat sedikit murung.

Pemuda itu memberikan kode kepada mamanya yang tengah asik bercengkrama dengan sang ayah, dan ketika menangkap maksud dari sang anak, Kalina segera mengalihkan fokusnya pada Rin yang tengah melamun sembari menatap cangkir tehnya.

"Oh iya, Rin, Tante baru saja membeli benang rajut yang cocok untuk membuat baju hangat bayi. Apa kamu mau melihat?" Kalina mengalihkan fokus Rin, gadis itu tampak antusias hingga melupakan kesedihannya. Seketika raut ceria di wajahnya kembali terukir, tak lupa juga tatapan antusias Rin yang memang memiliki minat pada hal-hal yang berhubungan dengan kerajinan tangan.

"Mau, Tante! Rin suka banget merajut." Rin menjawab dengan semangat. Ia juga tersenyum dan seolah melupakan hal yang membuat gadis itu bersedih beberapa menit lalu.

Kalina segera mengajak Rin mengambil benang rajut di kantong belanjaannya yang ia letakkan pada meja dapur, gadis itu mengikuti Kalina dengan perasaan senang seakan telah mendapatkan mainan baru.

Diam-diam Zen tersenyum, ia merasa lega karena gadis itu juga merasa bahagia dan tak murung lagi.

"Anak papa memang peka," ucap Gerald dengan tangannya yang menepuk bahu Zen. Sedangkan sang putra hanya salah tingkah hingga memutuskan untuk pergi dari sana.

***

Zen mengamati pergerakan Rin dari dalam rumahnya, dari dalam jendela kaca yang dilapisi tirai putih tipis itu, si pemuda melihat sosok gadis yang nampak ragu untuk meletakkan sebuah kertas kecil di meja kayu depan paviliunnya.

Dengan sabar Zen terus berada di sana, ia yakin bahwa Rin tengah menginginkan sesuatu hanya saja terlalu segan untuk meminta. Alhasil, gadis itu mengambil kembali kertas yang tadi sempat ia letakkan di meja. Zen menghembuskan napas lelah, ia menyayangkan sikap Rin yang terlihat sangat canggung.

Rin kembali masuk ke kamarnya dengan kertas kecil yang ikut serta ia bawa. Pemuda itu melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju paviliun, mengetuk pintu kayu itu tiga kali dan memanggil Rin dari luar.

"Rin," panggil Zen lirih. Ia tau Rin mendengarnya, hanya saja gadis itu tak menyahuti panggilan si pemuda, "Apa lu butuh sesuatu, Rin?"

Hening ... tak ada suara si gadis yang menyahuti Zen.

"Lu selipkan aja kertas itu dari bawah pintu, biar nanti gue beliin apa yang lu butuhkan," ucap Zen lagi.

Masih tetap hening, akan tetapi Zen masih tetap sabar menunggu Rin membuka suara meski rasanya mustahil, karena sampai menit ke lima pun tak ada suara dari dalam paviliun itu.

"Gue beliin benang rajut dan alat merajut, ya? Siapa tau lu mau isi waktu luang lu dengan merajut." Zen menebak sekenanya, lelaki itu ingat bahwa semalam Rin sangat antusias dengan benda-benda seperti itu, hanya saja Rin merasa segan pada Kalina sehingga menolak pemberian wanita tersebut.

Zen kemudian pergi dari sana, ia sudah terlambat pergi ke sekolah. Zen berpikir sepertinya besok harus lebih pagi lagi ia berangkat, karena menunggu jawaban dari Rin saja membutuhkan waktu lebih dari 15 menit. Sungguh, kesabaran Zen tengah diuji.

Ketika Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang