13

261 19 12
                                    



Happy reading~



Sore itu hujan turun dengan cukup deras, gemuruh petir bersahutan silih berganti diiringi dengan gemericik air yang mampu meredamkan suara tangisan seorang gadis yang tengah meringkuk dibalik selimut tebalnya.

Rin tidak tahu mengapa ia menangis begitu sendu dan terasa sangat sesak di dadanya hanya karena foto Hana dan juga Zen yang tengah bermesraan. Gadis itu belum menemukan jawabannya, akan tetapi Rin masih saja terisak pilu sejak siang tadi.

Gadis itu mengabaikan beberapa panggilan masuk dan juga pesan singkat dari Zen, pemuda tampan tersebut tidak menyerah menelpon Rin dan mengirim beberapa pesan permintaan maaf sekaligus penjelasan panjang lebar yang Zen tulis dalam pesan WhatsApp-nya.

Sedangkan di rumah utama keluarga Gerald, tampak Zen yang sedari tadi mondar-mandir di ruang tengah dengan ponsel yang tergenggam apik di tangannya. Sesekali ia mengirim pesan singkat apabila teleponnya tidak dijawab oleh Rin.

Ia ingin sekali mengunjungi kediaman Rin yang terletak di bagian belakang kediamannya, akan tetapi Zen mengurungkan niat tersebut lantaran tak ingin gadis itu ketakutan melihatnya.

"Cih!" Zen mendecih kesal lantaran ponsel Rin tiba-tiba saja mati, dan pesan WhatsApp-nya pun tidak tersampaikan pada gadis itu. Sepertinya Rin sengaja mematikan handphone-nya untuk menjauhi Zen sementara waktu.

"Kenapa, Zen?" David membuka suara, ia juga sama cemasnya dengan keadaan Rin saat ini. Sedangkan Kalina masih saja mendiamkan putranya tersebut karena masih kesal dengan perbuatannya Zen pada Rin.

Sebenarnya Kalina kesal dengan gadis yang berada di dalam foto tersebut, hanya saja Hana tidak berada di sini dan membuat Kalina tidak bisa menyampaikan emosinya pada gadis cantik itu. Oleh sebab itu, Zen lah yang terkena luapan emosi dari Kalina.

"Hp Rin mati." Zen menjawab dengan nada lirih. Pandangan matanya ia tujukan ke luar pintu kaca besar yang memperlihatkan kolam renang di rumahnya, hujan masih turun cukup deras dan entah kapan akan berhenti.

Tanpa ba-bi-bu lagi, Zen langsung berjalan keluar dari pintu kaca itu dan berlari menerobos hujan untuk bisa langsung menemui Rin di paviliunnya.

***

Beberapa kali Zen mengetuk pintu kayu rumah kecil itu, ia juga memanggil nama Rin meski tak ada sahutan dari dalam sana.

Dalam hati, Zen mengutuk perbuatan Hana yang telah merugikan dirinya dan membuat Rin menangis seperti ini, ia sangat membenci gadis itu. Zen menganggap bahwa Hana selalu membawa kesialan bagi dirinya, ditambah lagi sifat Hana yang berisik selalu membuat Zen merasa risih.

Pemuda itu mengusap wajahnya dengan sedikit kasar, ia merasa frustasi dengan situasi seperti ini. Zen tidak pernah mendekati wanita manapun sebelumnya, maka dari itu dirinya merasa bingung harus melakukan apa sekarang.

Hujan mulai berhenti dan digantikan dengan rintik gerimis kecil juga angin dingin yang berhembus dengan sedikit kencang, Zen merasa sedikit kedinginan berada di luar sejak kurang lebih setengah jam yang lalu.

Ia kembali bangkit dari tempat duduknya, mengetuk pintu bercat putih itu lagi berharap Rin akan menyahuti panggilannya kali ini.

Namun lagi dan lagi panggilan dari Zen hanya disahuti oleh hembusan angin yang begitu dingin menusuk tulang, meski begitu ia tak akan pergi dari sana sebelum Rin memaafkan kesalahannya.

"Rin, dengerin penjelasan aku dulu," ucap Zen lirih. Ia masih bersabar meski rasa dingin mulai menguasai tubuhnya.

"Iya, Kak." Kedua mata Zen terbuka lebar ketika mendengar suara yang begitu lembut terdengar menyahuti panggilannya dari dalam.

Ketika Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang