5

943 53 0
                                    

Rahasia memang tidak bisa selamanya menjadi sebuah rahasia, ada masanya sebuah rahasia itu terbongkar, cepat atau lambat seiring berjalannya waktu.

Kita tidak bisa terus berbohong, sekalipun berbohong demi kebaikan. Kita tidak bisa terus menyembunyikan sebuah kenyataan pahit yang jika terbongkar akan menjadi sebuah luka menganga di dalam hati.

Begitulah yang dialami oleh Rin ... kebohongan yang selama ini berusaha ia susun sedemikian rapi hanya untuk menyembunyikan sebuah rahasia menyakitkan, kini hanya tinggal menunggu waktu untuk semua orang mengetahui semua aibnya.

Tepat satu bulan sudah Rin terus menghindar jika ditanya perihal kesehatannya yang menurun, juga seringnya ia mengeluarkan isi lambungnya di dalam wastafel. Kini ia tak bisa lagi menyembunyikan aib dirinya ketika dua garis merah itu terpampang jelas pada benda kecil pipih yang kini ia genggam rapat dengan tangan gemetar.

Bagaimana mungkin ia bisa menyembunyikan perutnya yang semakin lama akan membesar seiring perkembangan si janin?

Rin juga tidak mungkin berkata jujur pada orangtuanya, sudah pasti mereka akan syok dan yang lebih parahnya lagi adalah, Rin akan diusir dari rumah karena sudah membuat malu mereka.

Belum lagi cemoohan para tetangga yang pasti akan semakin membuat Ibunya depresi dan menyalahkan Rin atas kejadian ini.

Rin, gadis itu terduduk dengan memeluk lututnya serta tubuh yang gemetar, ia takut sangat takut. Keringat dingin membasahi tubuhnya, air mata terus menetes tiada henti mengalir di pipi gadis itu.

Ia membuka tasnya dengan terburu-buru dan dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih ponselnya, mengirim sebuah pesan singkat kepada seseorang. Rin takut, sangat takut. Ia tidak bisa menghadapi semua masalah ini seorang diri, ia membutuhkan sandaran, ia membutuhkan penopang dan membutuhkan seseorang untuk bisa membantunya keluar dari permasalahan rumit ini.

'Abang, Rin hamil' Itulah pesan yg ia tulis untuk Revan, Abang yang selama ini selalu menguatkan dirinya dan tak pernah sekalipun berniat meninggalkannya.

'Adek di mana? Biar Abang jemput!' balasan pesan dari Revan ia terima, Rin dengan cepat mengirim alamat mall yang ia kunjungi bersama Liora.

'Mall Bahari' tulisnya.

'Otw' Revan membalas pesannya dengan cepat. Ia tahu kalau sekarang pasti lelaki itu tengah panik dan sama bingungnya seperti Rin. Sebetulnya, Rin tak enak jika harus terus merepotkan Revan dalam segala hal. Namun, ia tak lagi memiliki tempat bersandar dan mengadu selain pada Kakaknya itu.


***

Sepuluh menit kemudian Revan datang menjemput Rin dengan napas tersengal, keringat lelaki itu tampak sedikit membasahi kaos putih yang ia kenakan di balik kemejanya yang tak terkancing. Rin menghampiri Kakaknya di depan mall, gadis itu celingukan mencari mobil milik Revan.

"Abang lari?" tanya Rin pada Revan yang kini masih mengatur napas, Rin memberikan sebotol air mineral pada Revan dan mengelap keringat lelaki itu dengan tisu yang ada di dalam tasnya.

"Iya, Dek, mobil Abang kejebak macet dari tadi, ada tabrakan yang korbannya masih berusaha dievakuasi," jawab Revan setelah meneguk air mineral tersebut, "ayo kita pulang."

"Enggak, Bang," tolak Rin ketakutan. Ia takut jika nanti Ibunya akan marah besar dan Ayahnya akan memukulnya.

"Jangan takut, ada Abang yang akan terus jagain kamu. Abang akan lindungi Rin kalau nanti Papa sama Mama marah." Revan mengusap puncak kepala Rin dengan lembut. Kemudian ia meraih tangan kecil Adiknya dan membawa gadis itu keluar dari pelataran mall.

Revan memberhentikan taksi yang kebetulan tengah lewat di depan mereka. Rin duduk dengan gelisah, ia menggigiti kuku jarinya syarat akan kecemasan yang menyelimuti hati gadis itu.

Ketika Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang